Pentingnya Niat Dalam Aktivitas Kita (Syarah Hadis Arbain Nomor 01)
Tulisan ini merupakan terjemahan Syarah hadis Arba'in An-Nawawi yang ditulis oleh Jamal Ahmed Badi. Buku tersebut terbit dengan judul Sharh Arba'een an Nawawi : Commentary Of Forty Hadiths Of an-Nawawi. Terjemahan ini merupakan upaya pemilik blog untuk melatih keterampilan menerjemah, tidak untuk dikomersilkan
Hadis 1
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin, Abu Hafs
Umar bin Al-Khattab, radiyallahu anhu, bahwasanya beliau berkata : Saya
mendengar Rasulullah Saw bersabda “Segala amal perbuatan tergantung niyatnya.
Dan setiap manusia akan mendapatkan sesuatu dari yang diniatkannya tersebut.
Maka, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
dinilai sebagai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang
berhijrah untuk dunia yang dicintainya atau kepada perempuan yang dinikahinya,
maka hijrahnya adalah untuk keduanya. (Al-Bukhari & Muslim)
LatarBelakang
Hadis ini diucapkan oleh Nabi Saw saat ada
seseorang yang berhijrah dari makkah ke Madinah demi perempuan yang dinikahinya
dan bukan untuk Islam. Hadis ini dinilai sebagai hadis yang paling baik dalam
Islam.
Imam as-Syafi’I berkata : hadis ini adalah
sepertiga ajaran Islam. Ia mampu menghasilkan 70 pembahasan dalam kajian fiqih.
Imam Ahmad (dengan merujuk kepada pendapat Imam
Syafi’i) berkata : Islam dibangun dari 3 hal dasar (kesemuanya berasal dari
hadis yang terangkum dalam Arbain) :
1.
Hadis 1 : Yang sedang kita bahas ini
2.
Hadis 5 : hadis “Barangsiapa melakukan amal
ibadah dalam Islam yang tidak ada dalam ajaran kami (ajaran quran dan
hadis-penj) maka amal tersebut akan ditolak.
3.
Hadis 6 : Hadis “Sesungguhnya yang halal itu
jelas dan yang haram itu jelas dan di antara keduanya ada hal yang syubhat dan
banyak orang terjerumus di dalamnya…”
Tiga hadis ini disepakati oleh
Bukhari dan Muslim.
Hadis-hadis ini bisa dipahami sebagai 3
kriteria yang menjadi sarana evaluasi dan sebagai motivasi ibadah harian
seorang muslim :
1.
Hadis 1 : Untuk mengevaluasi dan menyikapi
bagian internal diri (manajemen hati)
2.
Hadis 5 : Untuk mengevaluasi dan menyikapi
bagian eksternal diri (ekspresi badaniah)
3.
Hadis 6 : Untuk mengevaluasi dan menyikapi
bidang muamalat (interaksi dengan lingkungan social)
Niat memiliki dua makna :
1.
Niat sebelum ibadah
2.
Kerelaan/Kesediaan
Pelajaran
Nabi Muhammad Saw, memulai hadis dengan redaksi
“Segala sesuatu tergantung amalnya” dan memberikan 3 contoh. Ini merupakan
metodologi yang dipakai oleh Nabi Muhammad Saw. Contoh-contoh yang ada dalam
hadis membantu mengilustrasikan prinsip-prinsip yang mudah dipahami seorang
muslim dan (dengan hal tersebut) mereka mampu mengaplikasikan prinsip terrsebut
di situasi serupa.
Tiga contoh tersebut terdiri dari niat bagus
(hijrah demi Allah dan Rasulullah Saw) dan dua niat buruk (hijrah karena dunia
dank arena mengejar perempuan yang dinikahi).
Hadis di atas menekankan nilai ikhlas
(ketulusan-beribadah kepada Allah semata, menjalankan perbuatan untuk Alah di
manapun ia berada tanpa pengecualian). Ikhlas adalah salah satu penyebab
diterimanya ibadah di sisi Allah. Di sisi yang lain, amal perbuatan kita harus
sesuai dengan Syariah, hal ini sebagiamana dimaksud dalam hadis ke-5.
Dari syahadah kita bisa memahami
beberapa hal :
1.
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah” ini adalah bentuk keikhlasan-memastikan bahwa kita melakukan segala
sesuatu samata-mata karena Allah Swt
2.
“Saya bersaksik bahwa Muhammad adalah utusan
Allah”-Sunnah adalah manifestasi al-Qur’an. Nabi Muhammad Saw, panutan kita,
merupakan teladan terbaik yang harus kita ikuti. Mengikuti Sunnah Muhammad
dalam ibadah kita, akhlaq dan muamalat merupakan sebuah upaya memastikan bahwa
apa yang kita lakukan bersesuaian dengan syariat.
Jadi, syahadat menunjukkan kepada kita sebuah
pelajaran bahwa jika amalan kita ingin diterima Allah Swt adalah harus : a) Dilakukan
semata karena Allag karena Dialah satu-satunya yang patut disembah, 2) Dilakukan
sesuai dengan syariah
###
Untuk menerapkan keikhlasan, kita harus
menghindari (avoid) syirik (menyekutukan Allah, kasus ketidaktulusan
beribadah). Imam Harawi berkata bahwa akar dari ketidaktulusan (Syirik) adalah
hawa nafsu. Untuk itu, ibadah tidak akan maksimal dikarenakan hawa nafsu.
Imam al-Harawi mengatakan bahwa hawa nafsu ada
7 macam :
1.
Nafsu untuk menciptakan kekaguman terhadap diri
sendiri dalam pandangan orang lain
2.
Nafsu untuk mencari sanjungan orang lain
3.
Nafsu untuk tidak menerima diirnya disalahkan
4.
Nafsu agar dipuji orang lain
5.
Nafsu untuk mencari kekayaan
6.
Nafsu mendapatkan perlayanan atau cinta dari
orang lain
7.
Nafsu untuk menolong orang lain
###
Beberapa jalan untuk menjadi ikhlas :
1.
Bersikap Adil. Semakin kita bersikap baik (good
deeds) dan mendekat kepada Allah Swt, semakin kita tulus dalam beribadah kepada
Allah Swt
2.
Sebelum melakukan ibadah, pertama kita harus
mencari ilmu atas apa yang akan kita kerjakan, yang mana amal ibadah kita akan
dibimbing oleh ilmu tersebut, maka dengan itu mereka bisa beribadah sesuai
dengan Syariah
3.
Jangan menampilkan kesaksian palsu-Jangan
menjadikan orang lain percaya bahwa apa yang kita lakukan itu baik, padahal
tidak
4.
Imam Ahmad berkata : Sebelum kamu melakukan
sesuatu, periksa niatmu. Tanyakan dalam dirimu sebelum melakukan sesuatu,
“Apakah saya melakukan ini karena Allah?”
###
Ibn al-Qayyim berkata : Apapun yang kita
lakukan pasti akan terdampak tiga hal
berbahaya (defect) berikut :
1.
Sadar bahwa segala perbuatan kita disaksikan oleh orang lain
2.
Mengharap balasan atas segala kebaikan yang kita lakukan
3.
Merasa puas atas amal ibadah yang kita lakukan
Contoh :
1.
Apabila kita menuju masjid untuk shalat pada awal waktu, datang sebelum
imam dan mencari shaf pertama, kita tidak usah bangga atas diri kita seraya
berpikir bahwa diri kita lebih baik ketimbang yang lain. Kita harusnya
bersyukur kepada Allah atas perkenannya mengizinkan kita shalat dan mampu
melakukan shalat tanpa kesulitan
2.
Setiap selesai shalat lazimnya kita menginstropeksi diri kita bahwa apa
yang kita lakukan sudah baik dan berharap besok bisa mendapatkan shalat yang
lebih baik lagi
###
Apa yang terjadi saat kita mengubah niyat saat berlangsungnya ibadah? Ibnu
Rajab mengatakan, menurut pendapat ulama, apabila kita telah melakukan niat
yang baik saat awal (melakukan ibadah semata karena Allah), kemudian di tengah
berubah maka hal tersebut diampuni, insyaallah. Bagaimanapun, jika niat di
akhir berbeda dengan yang di awal, seperti kita melakukan sesuatu kemudian niat
untuk selain Allah, maka kita harus bertaubat (repent).
###
Ada 4 hal yang berlawanan dengan ikhlas :
1.
Maksiat – Berbuat dosa, hal ini melemahkan keikhlasan kita
2.
Syirik – Meenyektukan Allah
3.
Riya – Melakukan ibadah dengan niatan untuk memperihatkan kepada orang
4.
Nifaq – Kemunafikan
Bahkan, akhirnya, kita harus selalu melakukan seusuatu dengan tidak
menyimpang dari niat keikhlasan. Dalam amalan yang kita laksanakan, harus
secara otomatis menghadirkan niat baik. Semisal, mencari ilmu pengetahuan,
menolong orang lain, melakukan dakwah, dsb.
###
Beberapa hukum/pembahasan fiqih yang disarikan
(derived) dari hadis di atas :
1.
Ketika seseorang bersumpah menggunakan kata
“demi Allah”, niat mereka yang sebenarnya bukan untuk bersumpah kepada Allah.
Mereka mengatakan hal tersebut secara spontan (simply) dan karena
tradisi-secara spontan (readily) keluar dari lidah mereka, Namun (hence), hal
tersebut tidak berbahaya (harmless). Bagaimanapun, seseorang muslim seharusnya
mengurangi kebiasaan tersebut.
2.
Jika seseorang mengambil sumpah (oath), maka
yang dinilai adalah niat mereka mengatakan sumpah tersebut
3.
Seseorang bisa memadukan niat antara beribadah
dengan tugasnya mengajar orang, kita melakukan ibadah karena Allah Swt akan
tetapi kita juga mampu mengaplikasikan niat tersebut saat kita sedang mengajar
orang lain. Contohnya adalah Ketika Nabi Muhammad Saw melakukan haji, beliau
melakukan hal tersebut murni karena Allah Swt sembari mengajari pengetahuan
kepada sahabat (the companions)
4.
Seseorang yang melakukan siding perceraian,
secara lisan atau pengadilan, itu yang dinilai nanti adalah niatannya
5.
Sesuatu yang kita anggap sebagai ghibah
(membicarakan keburukan orang dari belakang, kendati hal tersebut benar), itu
bisa bernilai sebagai senda gurau atau doa. Jika seseorang memang melakukan hal
tersebut hanya untuk membicarakan keburukannya, niatnya yang menentukan apakah
hal tersebut dinilai sebagai ghibah atau bukan
###
Kesimpulan
0 komentar:
Posting Komentar