Pengertian Islam, Iman dan Ihsan Serta Adab Mencari Pengetahuan (Syarah Hadis Arbain Nomor 02)
Tulisan ini merupakan terjemahan Syarah hadis Arba'in An-Nawawi yang ditulis oleh Jamal Ahmed Badi. Buku tersebut terbit dengan judul Sharh Arba'een an Nawawi : Commentary Of Forty Hadiths Of an-Nawawi. Terjemahan ini merupakan upaya pemilik blog untuk melatih keterampilan menerjemah, tidak untuk dikomersilkan
HADIS 2
Dari sahabat Umar radiyallahu anhu, ia
berkata :
“Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah
Saw, datang (appeared) seorang laki-laki mengenakan (dressed) pakaian yang
sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak ada jejak (trace) bahwa ia sedang
melakukan perjalanan, dan tidak ada dari kami yang mengenalnya.
Dia duduk (sat down) dekat (close) dengan Nabi
Saw, meletakkan (rested) lututnya berhadapan dengan paha (thigh) Nabi dan
berkata, ‘Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.’ Nabi menjawab, ‘Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah, kamu menunaikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan
dan melaksanakan haji ke Baitullah, jika kamu mampu melaksanakannya.’ Seorang
tersebut berkata, ‘Kamu benar wahai Muhammad’
Kita semua terheran (astonished) dengan
prilakunya yang bertanya tapi kemudian membenarkannya, tapi kemudian ia
melanjutkan pertanyannya, ‘Wahai Muhammad, beritahu saya tentang Iman (faith)’,
Nabi menjawab, ‘Yakni kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-Nya,
Rasul-Nya, Hari Kiamat, dan Takdir (fate), baik itu yang baik atau buruk. Dia
menjawab, ‘Kamu benar wahai Muhammad’
Kemudian ia berkata lagi, ‘Beritahu saya
tentang Ihsan’, Nabi Muhammad menjawab, ‘Yakni kamu beribadah kepada Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, seandainya kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu’. Dia berkata lagi, ‘Beritahu saya tentang kiamat’,
Rasulullah Saw menjawab, ‘Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang
bertanya’, ia bertanya lagi, ‘Baik, coba beritahu tanda-tanda kiamat’
Rasulullah Saw menjawab, ‘Yakni seorang pembantu (slave) melahirkan majikannya
(mistress), engkau juga akan mendapati seorang bertelanjang kaki (barefoot),
telanjang, miskin (destitute) dan berstatus penggembala domba di mana di antara
mereka berlomba memegahkan (lofty) bangunan. Kemudian orang tersebut beranjak
pergi.
Saya terdiam sejenak, dan Rasulullah Saw
berkata, “Wahai Umar, tahukah kamu siapa tadi yang bertanya?’ Saya menjawab,
“Allah dan Rasulullah Saw lebih paham’, Rasulullah Saw menjawab, “Itu tadi
adalah Jibril. Dia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR.
Muslim)
###
Latarbelakang
Imam Muslim berkata, “Menjelang akhr hayatnya,
Abdullah bin Umar (putra Umar bin al-Khattab) diberitahu oleh dua orang bahwa
telah lahir sekte baru di Irak. Mereka dinamai Qadariyah dan mereka menolak
(denied) adanya takdir. Maka Abdullah bin Umar membacakan hadis ini yang
menegaskan bahwa Qadar merupakan salah satu pilar iman untuk menyangkal
(refute) kesalahpahaman ajaran sekte tersebut.
###
Pelajaran
Hadis ini mengajar beberapa etika dalam mencari
ilmu :
1.
Kita harus dalam keadaan bersih dan mengenakan
pakaian bersih
2.
Kita harus duduk dengan sopan (properly) dan
dekat (closer) dengan pembicara/guru
3.
Menanyakan sebuah pertanyaan untuk pemahaman
yang lebih baik
4.
Mencari ilmu dari sumber yang otoritatif
Salah Satu metode mencari ilmu pengetahuan
adalah dengan bertanya pertanyaan :
1.
Pertanyaan yang diajukan haruslah bermakna dan
berbobot – pertanyaan harus bernilai (valuable) intelektual dan bagus
2.
Pertanyaan bagus yang dilancarkan untuk
mendapatkan hasil yang lebih bagus bernilai sebuah pengajaran. Yaitu mereka
yang Ketika bertanya, ia sembari belajar dari jawaban orang lain, maka sebenarnya ia juga sedang mengajarkan yang lain
3.
Ketika Ibn Abbas, salah seorang sahabat terbaik, ditanya bagaimana ia bisa
mendapatkan ilmu yang dimilikinya, ia menjawab, “Ini karena lidah yang selalu
ingin tahu (beliau kerap menanyakan ilmu kepada siapapun, termasuk Rasulullah)
dan perenungan hati yang dalam”
4.
Dalam banyak hadis, Rasulullah Saw sering mengawalinya dengan pertanyaan
sebelum beliau menyebarkan ilmunya. Menanyakan pertanyaan (dalam kaitannya
dengan proses pengajaran) menuntut persiapan otak/hati untuk menerima ilmu
pengetahuan- pertanda agar bersiap untuk menyerap dan menerima pelajaran. Dalam
hadis ini, Jibril yang bertindak sebagai penanya, menampakkan apresiasi yang
bagus dan dorongan yang kuat untk bertanya, hal ini khususnya karena ia
semangat menerima pengetahuan yang banyak
5.
Dalam al-Qur’an sendiri terdapat 1.200 pertanyaan, dalam tema yang beragam,
yang berguna untuk memancing (provoke) otak pembaca dan memaksa mereka untuk
menghadirkan (indulge) pikiran dan kesadarannya saat membaca al-Qur’an
###
Segenap sarjana berpandangan bahwa qadar bisa
disikapi menjadi dua tingkatan :
1.
Kita memercayai bahwa Allah, dengan sifat
ke-MahaTahu-an-Nya, mengetahui semua ciptaan-Nya dan apa yang terjadi pada semuanya bahkan sebelum
semuanya diciptakan. Allah mencatat secara rinci ini semua dalam Al-Lauh
al-Mahfuzh- tempat penyimpanan memori (preserved tablet)
2.
Kita memercayai bahwa semua yang terjadi di semesta ini telah Allah
tetapkan, entah itu takdir baik atau buruk
Dalam menciptakan takdir semesta ini, Allah
mempertimbang kesediaan (willingness) kemampuan (ability) kita dalam menunaikan
takdir kita. Jadi kita hanya diperintah untuk melaksanakan yang kita mampu
saja. Bagaimanapun, kita bertanggungjawab (responsible) atas semua pilihan yang
kita ambil
###
Miskonsepsi Terkait Qadar
Banyak muslim percaya bahwa apa yang tengah berjalan dalam kehidupan mereka
adalah disebabkan oleh takdir yang sudah ditulis di Al-Lauh al-Mahfudz – mereka
mencampuradukkan antara hubungan sebab akibat dengan asosisi pilihan. Yang
benar adalah bahwa apa yang kita lakukan itu berkaitan dengan asosiasi pilihan
yang kita buat (assocation), bukan karena hal tersebut disebabkan oleh apa yang
telah tertulis di Lauh al-Mahfuz (causation). Apa yang kita lakukan di dunia
ini bukan karena kita ‘dipaksa-digerakkan’ atas apa yang tertulis di Lauh
al-Mahfuz. Allah, dengan sifat Ke-Mahatahuan-Nya memang sudah mengetahui apa
yang kita lakukan di dunia ini.
Dia bisa saja dengan mudahnya bisa mengarahkan orang-orang baik ke surga
dan orang-orang jahat ke neraka. Akan tetapi Allah itu adil (Just), Dia
menciptakan kita manusia untuk menguji jalan mana yang akan kita tempuh. Bahwa
ternyata apa yang kita lakukan itu sejalan dengan yang tertulis di Lauh
al-Mahfuz, itu bukan karena disebabkan karena memang telah tertulis demikian –
Apa yang kita lakukan ini adalah berdasarkan kesediaan dan kemampuan kita dan
kita akan bertanggungjawab atas pilihan yang kita ambil
Jika melihat kepada fenomena pemberian hidayah (guidance) dan penyesatan
(misguidance), hidayah merupakan rahmat (gift) dari Allah. Ini (hidayah) adalah
yang Allah takdirkan untuk kita sehingga kita mampu membedakan (distinguish)
yang mana kebenaran dan mana yang kebatilan untuk keyakinan kita. Allah-lah
yang melengkapi kita dengan fitrah – kemampuan asasi menyukai hal yang baik dan
membenci hal yang buruk, dan Allah-lah yang mengirimkan kepada kitab Rasul
untuk membimbing kita, yang membawa kita kepada pencapain konsepsi (hidayah
islam). Maka, diberikannya kepada kita hidayah, ini merupakan karunia (bounty)
dari Allah Swt.
Akan tetapi jika yang datang adalah kesesatan, maka itu datangnya karena
kita sendiri. Jika kita melakukan hal buruk, itu datang dari kehendak dan
kemampuan kita melakukan hal tersebut.
Mereka yang berpaling dari hidayah, itu karena mereka menginginkan hal
tersebut, mereka tidak memilih mau untuk dibimbing (guded). Mereka sesat
(misguidance) karena mereka arogan dan menolak (refuse) untuk mendengarkan
Firman Allah : Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran),
Allah memalingkan hati mereka. (Shaff : 5)
Namun (nevertheless), mereka yang tidak mendapati pengiriman Rasul Islam
atau tidak menerima risalah (has not reached them), maka dihukumi tidak
sempurna menerima risalah kenabian. Mereka disebut juga sebagai Ahlul Fatrah,
mereka akan dihakimi namun tidak dihukum, sekalipun mereka melakukan kesalahan
(misguidance).
###
Ini adalah beberapa hal yang bisa kita sikapi terkait ketetapan Qadar.
Misalnya :
1.
Sakit yang
kita alami adalah qadar/takdir. Akan tetapi kita, sebagaimana diperintahkan
oleh Nabi, diharuskan mencari obat untuk menyembuhkan penyakit. Mencari obat
untuk penyembuhan juga merupakan qadar. Maka, satu qadar bisa diatasi (dealt)
dengan melaksanakan qadar yang lain
2.
Jika hal
apes terjadi pada kita, seperti kehilangan pekerjaan, kita jangan hanya mengatakan
itu qadar saja tanpa bertindak apa-apa. Kita harus mencari pekerjaan yang lain,
konsekuensi untuk mencari qadar yang lain.
Dikisahkan, bahwa suatu hari Umar bin al-Khattab tengah berjalan bersama
segerombolan sahabat saat ia menjadi khalifah. Mereka tiba di suatu kota di
mana kota tersebut dijangkiti wabah kolera. Umar bertanya kepada kawanan
tersebut, apakah mereka lanjut jalan menuju kota tersebut atau kembali ke
Madinah. Mayoritas para sahabat mengatakan bahwa mereka menginginkan kembali ke
Madinah, akan tetapi sebagian mereka memilih untuk melanjutkan perjalanan.
Kemudian, salah seorang sahabat Nabi mengucapkan sebuah hadis, “Jika kamu
mendengar bahwa ada suatu negara yang tengah diserang wabah, jangan kamu
bepergian ke sana.” Kemudian Umar memutuskan untuk kembali ke Madinah. Dan
seorang sahabat (yang kemungkinan dari kelompok yang memilih melanjutkan
perjalanan) bertanya kepada Umar ‘apakah (dengan inisiatifnya ia kembali ke
Madinah tersebut) merupakan bentuk pelarian dari Qadar?’ Umar menjawab bahwa ia
hanya pindah dari satu qadar (takdir) ke qadar yang lain.
Maka, setiap engkau mengalami sebuah masalah, tantangan atau kesulitan yang
memungkinkan untuk kita hilangkan, maka atasi dan tuntaskan atau minimalisir, ini
yang mesti kita lakukan. Beberapa sarjana seperti Imam al-Jilani menggunakan
kata ‘mengatasi takdir (qadar)’ dalam menanggapi permasalahan ini.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Cintailah segala hal yang
bermanfaat buatmu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah ceroboh.” Hadis
ini menyiratkan (implies) bahwa kita harus melakukan sebuah upaya. Konsep yang
benar dalam menyikpadi qadar : bertanggungjawab atas semua yang kita lakukan
Sebagai misal : apabila kita berkendara secara ceroboh dan menyebbakan
sebuah kecelekaan di mana salah seorang kehilangan nyawa atau menderita, kita
tidak bisa secara sederhana mengatakan bahwa itu qadar, dengan menyalahgunakan
konsep qadar untuk menjustfikasi kesalahan kita.
Kecelakaan tersebut memang merupakan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah
Swt. Akan tetapi kita bertanggungjawab atas kematian seseorang tersebut akibat
kelakuan yang kita perbuah (our willingness and ability). Itulah mengapa
pengadilan akan memvonis kita bersalah (guilty))). Jika qadar bisa kita
salahgunakan, maka setiap criminal yang terjadi tidak akan dihukum – karena
perampok (thief) akan mengklaim bahwa pencurian (stealing) yang dilakukan
tersebut didasari oleh takdir (qadar)!
###
Mereka yang
kerap menyalahkan takdir adalah orang yang tidak bertanggungjawab. Mereka memperalat
kata takdir hanya untuk menjustifikasi kegagalannya. Pengertian yang benar
mengenai qadar adalah sebagai berikut : jika seseorang sudah mengerahkan
(exerts) energi terbaiknya untuk memenuhi (fulfil) kewajiban (obligation) akan
tetapi mendapati kejadian yang tidak dapat dihindari (unavoidable
circumstance), hal tersebut di luar kontrolnya, dia tidak mampu menunaikan
kewajiban tersebut- makai ia dimungkinkan untuk diampuni (excused). Sebagai contoh, seorang siswa yang telah
belajar sungguh-sungguh untuk ujian akan tetapi saat tiba waktu ujian dia sakit
dan lemah atau tidak mampu menghadiri ujian, hal tersebut layak untuk disebut
dengan qadar/takdir dan hal tersebut adalah kehendak Allah Swt
Jika dikaitkan
dengan kewajiban beragama, hal tersebut berlaku sama. Kita tidak bisa menyalah
(blame) qadar untuk perbuatan dosa yang kita lakukan atau saat kita tidak
menunaikan kewajiban muslim. Kita harus menyadari bahwa hal tersebut adalah
tanggungjawab kita. Kita mungkin saat itu tengah berada pada status iman yang
lema, yakni saat melakukan dosa atau meninggalkan kewajiban. Islam adalah agama
yang memberikan kita ruang untuk bertobat dan menginstropeksi diri Kembali menuju
jalan yang baik.
###
Pada hadis di
atas, Rasulullah Saw mendefinisikan Islam sebagai lima pilar yang merupakan Gerakan
lahiriah, iman sebagai asosiasi keyakinan-membahas wilayah hati, dan al-Ihsan
sebagai level tertinggi yang bisa dicapai.
Akan tetapi, dua
definisi pertama (iman dan islam) mampu untuk dipertukarkan antara satu dan
lainnya – kadang-kadang Islam dipakai untuk menggambarkan hal batiniah sedankan
iman bermakna amalan lahiriah. Ada beberapa hadis nabi Muhammad Saw yang
menyebutkan bahwa ada lebih dari 70 cabang iman (yang di antara cabang tersebut
ada amalan yang bersifat lahiriah, penj)
Jika kata Islam
dipakai untuk internal kita, maka yang dimaksud adalah kesemuanya-Al-Islam,
Al-Iman dan al-Ihsan. Serupa, Ketika kata iman dipakai, itu artinya mencakup
keislaman, keimanan dan keihsanan. Nabi Muhammad Saw menyebutkan akhir hadis
tersebut dengan ungkapan bahwa agama kita (islam) terdiri dari tiga hal
tersebut (iman, islam dan ihsan)
###
Jika iman kita lemah itu memangaruhi keislaman
kita. Sebagaimana dikatakan Abu Hanifa : Meksipun Iman dan Islam berbeda, tapi
iman memburuhkan aplikasi (islam)
Beberapa sarjana mengatakan bahwa muslim lebih
unggul disbanding kafir, mu’min lebih unggul disbanding muslim dan muhsin lebih
unggul ketimbang mukmin
###
Ihsan (level tertinggi dari keimanan di mana
seseorang beribadah seakan melihat-Nya dan apabila tidak melihat-Nya maka Dia
melihat kita) ini adalah adalah terkait dengan ketakutan pemuliaan kita
kepada-Nya. Hal in akan membimbing kita untuk melakukan ibadah terbaik-kita berharap
bisa tulus dalam beribadah. Jadi, al-Ihsan juga soal reaksi terbaik dari hati.
Sikap yang dilahirkan dari Ihsan : mencintai Allah, takut kepada Allah, meminta
pertolongan kepada Allah, berharap kepada Allah karena ia telah memberikan
kepada kita belas kasih sayang dan hidayah, kita memercayai akan kemuliaan
Allah.
###
Ketika Jibril alayhissalam menanyakan
Nabi Saw tentang hari kiamat (the day of judgment), Nabi Muhammad mengatakan
bahwa Jibril lebih tahu tentang jawaban tersebut. Ini adalah contoh yang
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, di mana seseorang dengan luasnya (vast)
keilmuan beliau, beliau tidak menguasasi semua ilmu pengetahuan, dan beliau
mengakuinya (admit)
Imma Malik suatu Ketika ditanya dengan 40
pertanyaan dan banyak dari pertanyaan tersebut dijawab, “saya tidak tahu-Allah
lebih mengetahuinya”. Orang tersebut terkejut dengan reaksi Imam Malik yang tidak
mampu menjawab pertanaan. Melihat reaksi tersebut, Imam Malik
memberitahukankepada orang tersebut, alasan mengapa ia ditanyai dengan sjeumlah
pertanyaan namun tidak mampu menjawabnya. Imam Malik tidak, lewat jawaban
ketidaktahuannya tersebut, ingin agar ia tidak memberi jawaban yang salah.
Maka, jika kita selaku pendidik atau sarjana, kita harus memiliki keberanian
(courage) untuk mengetahui ketidaktahuan tersebut. Kita harus tidak menjawab
pertanyaan jika khwatir kita akan memberikan informasi yang keliru.
###
Tanda-tanda akhirat disebutkan dalam hadis
tersebut dengan tanda-tanda kecil, dengan satu yang besar. Kita percaya bahwa akan
tanda-tanda ini, akan tetapi kita jangan terlalu dibuat pusing olehnya-kita jangan
sampai terlalu kepikiran kira-kira kapan terjadinya (occur) tanda-tanda
tersebut. Sejatinya, yang perlu kita waspadai adalah kematian yang buruk, dan kita
harus senantiasa menghindari (steer away) dari hal tersebut.
###
Kesimpulan
Hadis ini membahas segala hal tentang Islam :
lima pilar agama islam, keyakinan keimanan (termasuk di dalamnya iman kepada
qadar), anjuran mencapai level iman tertinggi yakni ihsan, dan adab dalam mencari
ilmu dan memberikan ilmu.
Tag : Hadis,Translate Training, Arbain Nawawi, Jamal Ahmad Badi
0 komentar:
Posting Komentar