Rabu, 04 Agustus 2021

Pengertian Islam, Iman dan Ihsan Serta Adab Mencari Pengetahuan (Syarah Hadis Arbain Nomor 02)

 

Tulisan ini merupakan terjemahan Syarah hadis Arba'in An-Nawawi yang ditulis oleh Jamal Ahmed Badi. Buku tersebut terbit dengan judul Sharh Arba'een an Nawawi : Commentary Of Forty Hadiths Of an-Nawawi. Terjemahan ini merupakan upaya pemilik blog untuk melatih keterampilan menerjemah, tidak untuk dikomersilkan 

HADIS 2

Dari sahabat Umar radiyallahu anhu, ia berkata :

“Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Saw, datang (appeared) seorang laki-laki mengenakan (dressed) pakaian yang sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak ada jejak (trace) bahwa ia sedang melakukan perjalanan, dan tidak ada dari kami yang mengenalnya.

Dia duduk (sat down) dekat (close) dengan Nabi Saw, meletakkan (rested) lututnya berhadapan dengan paha (thigh) Nabi dan berkata, ‘Wahai Muhammad, beritahu aku tentang Islam.’ Nabi menjawab, ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kamu menunaikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah, jika kamu mampu melaksanakannya.’ Seorang tersebut berkata, ‘Kamu benar wahai Muhammad’

Kita semua terheran (astonished) dengan prilakunya yang bertanya tapi kemudian membenarkannya, tapi kemudian ia melanjutkan pertanyannya, ‘Wahai Muhammad, beritahu saya tentang Iman (faith)’, Nabi menjawab, ‘Yakni kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Kiamat, dan Takdir (fate), baik itu yang baik atau buruk. Dia menjawab, ‘Kamu benar wahai Muhammad’

Kemudian ia berkata lagi, ‘Beritahu saya tentang Ihsan’, Nabi Muhammad menjawab, ‘Yakni kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, seandainya kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Dia berkata lagi, ‘Beritahu saya tentang kiamat’, Rasulullah Saw menjawab, ‘Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya’, ia bertanya lagi, ‘Baik, coba beritahu tanda-tanda kiamat’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Yakni seorang pembantu (slave) melahirkan majikannya (mistress), engkau juga akan mendapati seorang bertelanjang kaki (barefoot), telanjang, miskin (destitute) dan berstatus penggembala domba di mana di antara mereka berlomba memegahkan (lofty) bangunan. Kemudian orang tersebut beranjak pergi.

Saya terdiam sejenak, dan Rasulullah Saw berkata, “Wahai Umar, tahukah kamu siapa tadi yang bertanya?’ Saya menjawab, “Allah dan Rasulullah Saw lebih paham’, Rasulullah Saw menjawab, “Itu tadi adalah Jibril. Dia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)

###

Latarbelakang

Imam Muslim berkata, “Menjelang akhr hayatnya, Abdullah bin Umar (putra Umar bin al-Khattab) diberitahu oleh dua orang bahwa telah lahir sekte baru di Irak. Mereka dinamai Qadariyah dan mereka menolak (denied) adanya takdir. Maka Abdullah bin Umar membacakan hadis ini yang menegaskan bahwa Qadar merupakan salah satu pilar iman untuk menyangkal (refute) kesalahpahaman ajaran sekte tersebut.

###

Pelajaran

Hadis ini mengajar beberapa etika dalam mencari ilmu :

1.       Kita harus dalam keadaan bersih dan mengenakan pakaian bersih

2.       Kita harus duduk dengan sopan (properly) dan dekat (closer) dengan pembicara/guru

3.       Menanyakan sebuah pertanyaan untuk pemahaman yang lebih baik

4.       Mencari ilmu dari sumber yang otoritatif

 

Salah Satu metode mencari ilmu pengetahuan adalah dengan bertanya pertanyaan :

1.       Pertanyaan yang diajukan haruslah bermakna dan berbobot – pertanyaan harus bernilai (valuable) intelektual dan bagus

2.       Pertanyaan bagus yang dilancarkan untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus bernilai sebuah pengajaran. Yaitu mereka yang Ketika bertanya, ia sembari belajar dari jawaban orang lain, maka sebenarnya ia juga sedang mengajarkan yang lain

3.       Ketika Ibn Abbas, salah seorang sahabat terbaik, ditanya bagaimana ia bisa mendapatkan ilmu yang dimilikinya, ia menjawab, “Ini karena lidah yang selalu ingin tahu (beliau kerap menanyakan ilmu kepada siapapun, termasuk Rasulullah) dan perenungan hati yang dalam”

4.       Dalam banyak hadis, Rasulullah Saw sering mengawalinya dengan pertanyaan sebelum beliau menyebarkan ilmunya. Menanyakan pertanyaan (dalam kaitannya dengan proses pengajaran) menuntut persiapan otak/hati untuk menerima ilmu pengetahuan- pertanda agar bersiap untuk menyerap dan menerima pelajaran. Dalam hadis ini, Jibril yang bertindak sebagai penanya, menampakkan apresiasi yang bagus dan dorongan yang kuat untk bertanya, hal ini khususnya karena ia semangat menerima pengetahuan yang banyak

5.       Dalam al-Qur’an sendiri terdapat 1.200 pertanyaan, dalam tema yang beragam, yang berguna untuk memancing (provoke) otak pembaca dan memaksa mereka untuk menghadirkan (indulge) pikiran dan kesadarannya saat membaca al-Qur’an

###

Segenap sarjana berpandangan bahwa qadar bisa disikapi menjadi dua tingkatan :

1.       Kita memercayai bahwa Allah, dengan sifat ke-MahaTahu-an-Nya, mengetahui semua ciptaan-Nya dan apa yang terjadi pada semuanya bahkan sebelum semuanya diciptakan. Allah mencatat secara rinci ini semua dalam Al-Lauh al-Mahfuzh- tempat penyimpanan memori (preserved tablet)

2.       Kita memercayai bahwa semua yang terjadi di semesta ini telah Allah tetapkan, entah itu takdir baik atau buruk

Dalam menciptakan takdir semesta ini, Allah mempertimbang kesediaan (willingness) kemampuan (ability) kita dalam menunaikan takdir kita. Jadi kita hanya diperintah untuk melaksanakan yang kita mampu saja. Bagaimanapun, kita bertanggungjawab (responsible) atas semua pilihan yang kita ambil

###

Miskonsepsi Terkait Qadar

Banyak muslim percaya bahwa apa yang tengah berjalan dalam kehidupan mereka adalah disebabkan oleh takdir yang sudah ditulis di Al-Lauh al-Mahfudz – mereka mencampuradukkan antara hubungan sebab akibat dengan asosisi pilihan. Yang benar adalah bahwa apa yang kita lakukan itu berkaitan dengan asosiasi pilihan yang kita buat (assocation), bukan karena hal tersebut disebabkan oleh apa yang telah tertulis di Lauh al-Mahfuz (causation). Apa yang kita lakukan di dunia ini bukan karena kita ‘dipaksa-digerakkan’ atas apa yang tertulis di Lauh al-Mahfuz. Allah, dengan sifat Ke-Mahatahuan-Nya memang sudah mengetahui apa yang kita lakukan di dunia ini.

Dia bisa saja dengan mudahnya bisa mengarahkan orang-orang baik ke surga dan orang-orang jahat ke neraka. Akan tetapi Allah itu adil (Just), Dia menciptakan kita manusia untuk menguji jalan mana yang akan kita tempuh. Bahwa ternyata apa yang kita lakukan itu sejalan dengan yang tertulis di Lauh al-Mahfuz, itu bukan karena disebabkan karena memang telah tertulis demikian – Apa yang kita lakukan ini adalah berdasarkan kesediaan dan kemampuan kita dan kita akan bertanggungjawab atas pilihan yang kita ambil

Jika melihat kepada fenomena pemberian hidayah (guidance) dan penyesatan (misguidance), hidayah merupakan rahmat (gift) dari Allah. Ini (hidayah) adalah yang Allah takdirkan untuk kita sehingga kita mampu membedakan (distinguish) yang mana kebenaran dan mana yang kebatilan untuk keyakinan kita. Allah-lah yang melengkapi kita dengan fitrah – kemampuan asasi menyukai hal yang baik dan membenci hal yang buruk, dan Allah-lah yang mengirimkan kepada kitab Rasul untuk membimbing kita, yang membawa kita kepada pencapain konsepsi (hidayah islam). Maka, diberikannya kepada kita hidayah, ini merupakan karunia (bounty) dari Allah Swt.

Akan tetapi jika yang datang adalah kesesatan, maka itu datangnya karena kita sendiri. Jika kita melakukan hal buruk, itu datang dari kehendak dan kemampuan kita melakukan hal tersebut.

Mereka yang berpaling dari hidayah, itu karena mereka menginginkan hal tersebut, mereka tidak memilih mau untuk dibimbing (guded). Mereka sesat (misguidance) karena mereka arogan dan menolak (refuse) untuk mendengarkan

Firman Allah : Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. (Shaff : 5)

Namun (nevertheless), mereka yang tidak mendapati pengiriman Rasul Islam atau tidak menerima risalah (has not reached them), maka dihukumi tidak sempurna menerima risalah kenabian. Mereka disebut juga sebagai Ahlul Fatrah, mereka akan dihakimi namun tidak dihukum, sekalipun mereka melakukan kesalahan (misguidance).

###

Ini adalah beberapa hal yang bisa kita sikapi terkait ketetapan Qadar. Misalnya :

1.       Sakit yang kita alami adalah qadar/takdir. Akan tetapi kita, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi, diharuskan mencari obat untuk menyembuhkan penyakit. Mencari obat untuk penyembuhan juga merupakan qadar. Maka, satu qadar bisa diatasi (dealt) dengan melaksanakan qadar yang lain

2.       Jika hal apes terjadi pada kita, seperti kehilangan pekerjaan, kita jangan hanya mengatakan itu qadar saja tanpa bertindak apa-apa. Kita harus mencari pekerjaan yang lain, konsekuensi untuk mencari qadar yang lain.

Dikisahkan, bahwa suatu hari Umar bin al-Khattab tengah berjalan bersama segerombolan sahabat saat ia menjadi khalifah. Mereka tiba di suatu kota di mana kota tersebut dijangkiti wabah kolera. Umar bertanya kepada kawanan tersebut, apakah mereka lanjut jalan menuju kota tersebut atau kembali ke Madinah. Mayoritas para sahabat mengatakan bahwa mereka menginginkan kembali ke Madinah, akan tetapi sebagian mereka memilih untuk melanjutkan perjalanan.

Kemudian, salah seorang sahabat Nabi mengucapkan sebuah hadis, “Jika kamu mendengar bahwa ada suatu negara yang tengah diserang wabah, jangan kamu bepergian ke sana.” Kemudian Umar memutuskan untuk kembali ke Madinah. Dan seorang sahabat (yang kemungkinan dari kelompok yang memilih melanjutkan perjalanan) bertanya kepada Umar ‘apakah (dengan inisiatifnya ia kembali ke Madinah tersebut) merupakan bentuk pelarian dari Qadar?’ Umar menjawab bahwa ia hanya pindah dari satu qadar (takdir) ke qadar yang lain.

Maka, setiap engkau mengalami sebuah masalah, tantangan atau kesulitan yang memungkinkan untuk kita hilangkan, maka atasi dan tuntaskan atau minimalisir, ini yang mesti kita lakukan. Beberapa sarjana seperti Imam al-Jilani menggunakan kata ‘mengatasi takdir (qadar)’ dalam menanggapi permasalahan ini.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda, “Cintailah segala hal yang bermanfaat buatmu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah ceroboh.” Hadis ini menyiratkan (implies) bahwa kita harus melakukan sebuah upaya. Konsep yang benar dalam menyikpadi qadar : bertanggungjawab atas semua yang kita lakukan

Sebagai misal : apabila kita berkendara secara ceroboh dan menyebbakan sebuah kecelekaan di mana salah seorang kehilangan nyawa atau menderita, kita tidak bisa secara sederhana mengatakan bahwa itu qadar, dengan menyalahgunakan konsep qadar untuk menjustfikasi kesalahan kita. Kecelakaan tersebut memang merupakan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Akan tetapi kita bertanggungjawab atas kematian seseorang tersebut akibat kelakuan yang kita perbuah (our willingness and ability). Itulah mengapa pengadilan akan memvonis kita bersalah (guilty))). Jika qadar bisa kita salahgunakan, maka setiap criminal yang terjadi tidak akan dihukum – karena perampok (thief) akan mengklaim bahwa pencurian (stealing) yang dilakukan tersebut didasari oleh takdir (qadar)!

###

Mereka yang kerap menyalahkan takdir adalah orang yang tidak bertanggungjawab. Mereka memperalat kata takdir hanya untuk menjustifikasi kegagalannya. Pengertian yang benar mengenai qadar adalah sebagai berikut : jika seseorang sudah mengerahkan (exerts) energi terbaiknya untuk memenuhi (fulfil) kewajiban (obligation) akan tetapi mendapati kejadian yang tidak dapat dihindari (unavoidable circumstance), hal tersebut di luar kontrolnya, dia tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut- makai ia dimungkinkan untuk diampuni (excused).  Sebagai contoh, seorang siswa yang telah belajar sungguh-sungguh untuk ujian akan tetapi saat tiba waktu ujian dia sakit dan lemah atau tidak mampu menghadiri ujian, hal tersebut layak untuk disebut dengan qadar/takdir dan hal tersebut adalah kehendak Allah Swt

Jika dikaitkan dengan kewajiban beragama, hal tersebut berlaku sama. Kita tidak bisa menyalah (blame) qadar untuk perbuatan dosa yang kita lakukan atau saat kita tidak menunaikan kewajiban muslim. Kita harus menyadari bahwa hal tersebut adalah tanggungjawab kita. Kita mungkin saat itu tengah berada pada status iman yang lema, yakni saat melakukan dosa atau meninggalkan kewajiban. Islam adalah agama yang memberikan kita ruang untuk bertobat dan menginstropeksi diri Kembali menuju jalan yang baik.

###

Pada hadis di atas, Rasulullah Saw mendefinisikan Islam sebagai lima pilar yang merupakan Gerakan lahiriah, iman sebagai asosiasi keyakinan-membahas wilayah hati, dan al-Ihsan sebagai level tertinggi yang bisa dicapai.

Akan tetapi, dua definisi pertama (iman dan islam) mampu untuk dipertukarkan antara satu dan lainnya – kadang-kadang Islam dipakai untuk menggambarkan hal batiniah sedankan iman bermakna amalan lahiriah. Ada beberapa hadis nabi Muhammad Saw yang menyebutkan bahwa ada lebih dari 70 cabang iman (yang di antara cabang tersebut ada amalan yang bersifat lahiriah, penj)

Jika kata Islam dipakai untuk internal kita, maka yang dimaksud adalah kesemuanya-Al-Islam, Al-Iman dan al-Ihsan. Serupa, Ketika kata iman dipakai, itu artinya mencakup keislaman, keimanan dan keihsanan. Nabi Muhammad Saw menyebutkan akhir hadis tersebut dengan ungkapan bahwa agama kita (islam) terdiri dari tiga hal tersebut (iman, islam dan ihsan)

###

Jika iman kita lemah itu memangaruhi keislaman kita. Sebagaimana dikatakan Abu Hanifa : Meksipun Iman dan Islam berbeda, tapi iman memburuhkan aplikasi (islam)

Beberapa sarjana mengatakan bahwa muslim lebih unggul disbanding kafir, mu’min lebih unggul disbanding muslim dan muhsin lebih unggul ketimbang mukmin

###

Ihsan (level tertinggi dari keimanan di mana seseorang beribadah seakan melihat-Nya dan apabila tidak melihat-Nya maka Dia melihat kita) ini adalah adalah terkait dengan ketakutan pemuliaan kita kepada-Nya. Hal in akan membimbing kita untuk melakukan ibadah terbaik-kita berharap bisa tulus dalam beribadah. Jadi, al-Ihsan juga soal reaksi terbaik dari hati. Sikap yang dilahirkan dari Ihsan : mencintai Allah, takut kepada Allah, meminta pertolongan kepada Allah, berharap kepada Allah karena ia telah memberikan kepada kita belas kasih sayang dan hidayah, kita memercayai akan kemuliaan Allah.

###

Ketika Jibril alayhissalam menanyakan Nabi Saw tentang hari kiamat (the day of judgment), Nabi Muhammad mengatakan bahwa Jibril lebih tahu tentang jawaban tersebut. Ini adalah contoh yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw, di mana seseorang dengan luasnya (vast) keilmuan beliau, beliau tidak menguasasi semua ilmu pengetahuan, dan beliau mengakuinya (admit)

Imma Malik suatu Ketika ditanya dengan 40 pertanyaan dan banyak dari pertanyaan tersebut dijawab, “saya tidak tahu-Allah lebih mengetahuinya”. Orang tersebut terkejut dengan reaksi Imam Malik yang tidak mampu menjawab pertanaan. Melihat reaksi tersebut, Imam Malik memberitahukankepada orang tersebut, alasan mengapa ia ditanyai dengan sjeumlah pertanyaan namun tidak mampu menjawabnya. Imam Malik tidak, lewat jawaban ketidaktahuannya tersebut, ingin agar ia tidak memberi jawaban yang salah. Maka, jika kita selaku pendidik atau sarjana, kita harus memiliki keberanian (courage) untuk mengetahui ketidaktahuan tersebut. Kita harus tidak menjawab pertanyaan jika khwatir kita akan memberikan informasi yang keliru.

###

Tanda-tanda akhirat disebutkan dalam hadis tersebut dengan tanda-tanda kecil, dengan satu yang besar. Kita percaya bahwa akan tanda-tanda ini, akan tetapi kita jangan terlalu dibuat pusing olehnya-kita jangan sampai terlalu kepikiran kira-kira kapan terjadinya (occur) tanda-tanda tersebut. Sejatinya, yang perlu kita waspadai adalah kematian yang buruk, dan kita harus senantiasa menghindari (steer away) dari hal tersebut.

###

Kesimpulan

Hadis ini membahas segala hal tentang Islam : lima pilar agama islam, keyakinan keimanan (termasuk di dalamnya iman kepada qadar), anjuran mencapai level iman tertinggi yakni ihsan, dan adab dalam mencari ilmu dan memberikan ilmu.

Tag : Hadis,Translate Training, Arbain Nawawi, Jamal Ahmad Badi

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top