Refleksi Buku Matinya Kepakaran Karya Tom Nichols
Refleksi Buku Matinya Kepakaran Karya Tom Nichols
Hari ini, Senin 05 Juli 2021, saya berkesempatan
menuntaskan target harian saya dengan membaca buku Tom Nichols yang berjudul
Matinya Kepakaran (terjemahan dari The Death Of Expertise). Bab yang saya nikmati
adalah bab 3 dan sebagian bab 4, yang masing-masing berjudul “Sebagai
Pelanggan, Mahasiswa Selalu Benar” dan “Tersesat di Mesin Pencari”. Tulisan
yang mmebentang dari halaman 85 hingga 135.
“Sebagai Pelanggan, Mahasiswa Selalu Benar”
berisi analisis kritis penulis terhadap kondisi Pendidikan di Amerika. Bahwa
dalam beberapa kasus Pendidikan di beberapa perguruan tinggi, dan jika
dibiarkan ini akan menular kepada institusi lain, ditemukan bahwa beberapa kampus
menjadikan mahasiswa sebagai pelanggan yang sudah lunas ‘membayar’ uang kampus
dan memiliki otoritas untuk mengatur system Pendidikan di dalamnya. Mahasiswa
diibaratkan sebagai pembeli dan pelanggan atas sebuah produk, dan, sebagaimana
status pelanggan pada industry perbelanjaan, mereka berhak menilai,
mengevaluasi bahkan mengatur gerai perbelanjaan tersebut.
Akibatnya, lanjut Tom Nichols, kampus
kehilangan otoritas tertingginya sebagai penentu kebijakan di institusi
perguruan tinggi. Kebijakan kampus yang dirancang ‘tidak nyaman’ bagi
mahasiswa, lewat serangkaian tirakat dan perjuangan menuntaskan tugas yang
harus dilaluinya, diprotes oleh ‘pelanggan’ karena dinilai memberatkan mereka.
Walhasil, kampus, dalam pandangan Tom Nichols, dituntut untuk setidaknya
menjadi paket liburan mahasiswa dengan bungkus ilmiah. Hal ini jelas tidak
efektif, mengingat hasil yang akan dituai nanti tidak Tangguh dan professional,
hal ini jika dilihat dari prosesnya yang kurang daya banting.
Selain itu, Tom Nichols juga
mengkritik bahwa akibat kuasa otoritas mahasiswa sebagai pelanggan industri
pendidikan perguruan tinggi dan karena faktor kedekatan mahasiswa dengan dosen,
ditemukan kesan kekurangtakziman mahasiswa kepada sang guru. Tom mencontohkan
bahwa ada dosen bercerita bahwa ada mahasiswanya yang meminta sang dosen untuk
segera memeriksa surelnya yang berisi laporan tugas dengan redaksi yang bernada
memerintah. Selain itu, ada kasus mahasiswa yang jarang sekali masuk kelas namun
dengan beraninya meminta salinan materi pelajaran kepada sang guru.
Itulah yang diktirik oleh Tom. Kampus, alih-alih memberikan nilai pendidikan kepada mahasiswa saat melangsungkan proses belajarnya di peguruan tinggi, malah hanya menjalankan aktivitas-aktivitas yang tidak berkaitan dengan visi kampus sebagai institusi pendidikan. Tom, sebagai dosen, juga menyoroti kasus rutinan evaluasi yang dilakukan kampus terhadap kinerja para dosen. Menurutnya, evaluasi yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai penikmat jasa pendidikan kampus, haruslah esensial dan profesional. Evaluasi tidak menyasar karakter kepribadian dosen, melainkan kepada gagasan-gagasan dan retorika sistem yang dibawakan oleh dosen saat menyampaikan perkuliahan di kampus. Kemudian, sebagai wakil dari akademisi (btw, doi pernah mendapatkan penghargaan di Naval War College dan Harvard Extension School), mengajak kepada seluruh otoritas akdemik perguruan tinggi agar tidak memudahkan memberikan nilai A kepada mahasiswa, hal ini berdampak pada inflasi nilai dan lahirnya sifat memanjakan mahasiswa, yang jelas dampaknya ada pada kualitas produk alumni yang kurang tahan banting.
Selanjutnya, dalam bab “Tersesat
di Mesin Pencari”, Tom Nichols menyinggung perihal internet dan kaitannya
dengan matinya kepakaran. Dalam kata pembukanya, Tom menyebutkan bahwa jika ada
pihak yang paling bertanggungjawab atas matinya kepakaran, tidak lain dia
adalah internet.
Dalam analisisnya, Tom mengakui
kecerdasan internet bagi peradaban dunia. Kecanggihan yang ditawarkan internet
jelas sangat menguntungkan para pelajar. Bahkan Tom menganalogikan jerihpayahnya
mengunjung perpustakaan mencari refrensi pada tahun 1980-an dengan kondisi zaman
sekarang yang jika ingin mencari refrensi hanya cukup berkutat di depan gadget
saja.
Internet, dalam kaitanya dengan
kemampuannya menghadirkan data informasi dengan sangat cepat, justeru kadang menjerumuskan
seseorang pada kebodohan. Banjir informasi di internet tak ubahnya artileri
yang dilancarkan kepada kita pengguna internet, butuh kearifan memadai untuk
mengatur derasnya terjangan amunisi tersebut.
Selain itu, yang memiriskan, urai
Tom, dengan bermodalkan internet, seseorang sudah mengklaim sebagai ahli. Bermodal
Googling beberapa menit soal perang dunia II, ia sudah berani berdebat dengan
pakar sejarah perihal apakah keterlibatan Amerika dalam perang dunia II
benar-benar menentukan kemenangan kubu sekutu (ini contoh dari saya sendiri,
hehe). Padahal, meminjam bahasa Tom, internet mengizinkan satu miliar bunga
mekar, namun sebagian besarnya berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para
penulis blog (semoga tidak blog ini), teori konspirasi orang-orang aneh, hingga
penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.
-----------------------------------------------------------------------------------
LIST KUTIPAN MENARIK
DI BUKU YANG SAYA BACA
Soal otoritas kampus yang melemah
: 88
Soal bahwa kuliah itu harus
berusahpayah : 92, 114, 120-121, 126
Soal contoh ketidakberadaban
mahasiswa terhadap dosen, cerita Surel dan Etika berguru : 105
Soal bahwa dosen harus berhari2
terhadap inflasi : 116
Soal Evaluasi guru haruslah professional, tidak
seperti sedang mengevaluasi menu restoran : 118
Soal terseat di Mesin Pencari : 127, 128-129
Soal Pakar dan tidak hanya terpisah beberapa klik
saja, di internet : 130-131
Soal Hakikat penelitian adalah bersusah payah
: 134
“Yang menyakiti anda adalah bukan yang anda
ketahui, melainkan yang anda pikir anda ketahui namun salah”
Perpustakaan Mahad Darus-Sunnah, Senin 05 Juli 2021
0 komentar:
Posting Komentar