PENGHABISAN BUKU AHMET T KURU
PENGHABISAN BUKU AHMET T KURU
(Akhir Menikmati Rekonstruksi Sejarah Ala Ahmet
T Kuru)
Refleksi Bacaan Buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan, hal. 378-411
Abad ke-18 dan 19 adalah abad di mana beberapa
kekhalifahan Islam mulai menggenjot upaya westernisasi. Sejumlah pemikir Islam mulai
belajar ke barat dan meniru sistem yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh
tersebut di antaranya adalah Sayed Khan (India), RIfaah at-Tahtawi (Mesir),
Muhammad Abduh (Mesir), Nizar Kemal (Turki) dan Jamaluddin al-Afghani (Afghanistan).
Keseluruhnya belajar di barat dan berupaya menawarkan gagasan alternatif-kritis
terhadap negeri yang didiaminya. Keragaman spesialisasi yang diperjuangkan
setiap tokohnya serta kurangnya dukungan dari pemerintah membuat perubahan-perubahan
tidak berjalan baik.
Ahmet Kuru menjelaskan bahwa
kondisi sosioekonomi Muslim tak akan mampu mengejar barat lantaran 5 hal :
1. Kendati ilmuwan indepnden bermunculan dan ulama berhasil dipinggirkan,
namun penguasa dan birokrat yang kurang sehat mengisi kekosongan tersebut,
menghambat laju peradaban.
2. Penguasa-penguasa muslim yang otoriter tetap menguasai ekonomi
tanpa mendorong akumulasi modal swasta atau kebangkitan borjuasi/intelektual
pribumi
3. Reformasi pendidikan yang sifatnya elitis, hanya menyentuh kalangan
elit saja. Tidak sebagaimana jepang yang memulai reformasi pendidikan dari
kalangan bawah
4. Upaya westernisasi dihadang perlawanan berlatar politik dan
agama. Masih ada sejumlah politikus dan agamawan yang mencoba upaya
westernisasi
5. Penjajajan bangsa Eropa terhadap dunia muslim terbukti sangat
menghambat upaya memajukan dunia muslim. (387-392)
Ada dua faktor kegemilangan yang
digapai oleh umat muslim pada abad 8-11, sebagaimana hal tersebut juga didapat
oleh bangsa Eropa hingga sekarang, yakni hadirnya nuansa intelektual yang
kreatif dan pedagang yang berpengaruh (396). Ahmet menambahkan bahwa Eropa
Barat mulai mengalami transformasi multidimensional dan bertahap pada abad ke-11,
khususnya dalam tiga hal. Pertama, pemisahan antara gereja katolik dan
kekuasaan raja dilembagakan, karena keduanya terbukti tidak mampu saling
menundukkan. Kedua, relasi kelas mulai berubah, dengan pedagang yang semakin
berpengaruh. Ketiga, universitas-universitas mulai didirikan, sehingga menjaga
basis institusional bagi perkembangan intelektual. Relasi kelas yang baru
akhirnya mnejadi sumber pencapaian ekonomi dan intelektual selama Renaisans dan
era-era setelahnya. (397-399)
Di bagian akhir, Ahmet membuat
sebuah kesimpulan menyeluruh dari apa yang ditulisnya sejak halaman pertama
dalam bukunya tersebut.
“Kerjasama yang terjalin erat
antara ulama dan negara menjamin monopoli agama bagi ulama dan memberikan legitimasi
agama kepada negara. Ulama telah menghalangi penafsiran-penafsiran alternatif
terhadap Islam, sementara negara telah memanfaatkan agama untuk membenarkan
tindakan keras terhdap lawan politik.” (403)
Dalam bahasan terakhir bukunya,
Ahmet membuat bab Rekomendasi atas narasi-narasi yang dia sampaikan dalam
bukunya mengenai keterpurukan Islam akibat pesekutuan Ulama dan Negara.
Ahmet menulis,
“Saya tidak membantah bahwa
kolonialisme dan imperialisme barat telah menghancurkan lembaga-lembaga lokal
dan mengeksploitasi sumber daya alam di banyak negara muslim. Namun, fokus ke
dampak negatif yang disebabkan oleh negara-negara barat telah mengalihkan perhatian
Muslim dari kegagalan-kegagalan mereka sendiri dan reformasi pemikiran,
kebijakan, dan lembaga mereka. Pandangan anti-barat atau tarik-menarik antara
aktor-aktor Islam dari kalangan sekuler tidak akan membantu Muslim mengatasi
masalah. Memang, kedia belah pihak harus menyelesaikan masalah-masalah
antiintelektualisme dan kontrol negara atas ekonomi.
Masalah yang dihadapi umat muslim
bukanlah bersumber dari Islam, melainkan teori tertentu yang dianggap islami.
Di sepanjang buku ini saya menunjukkan bahwa teori dan praktik persekutuan
ulama-negara, yang diilhami oleh gagasan Sasaniyah tentang hubungan
agama-negara, telah menjadi sumber berbagai kritis di dunia muslim.” (408-409)
Ahmet melanjutkan sebuah
rekomendasi yang menjadi akhir dari tulisannya di buku Islam, Otoritarianisme
dan Ketertinggalan. Berikut cuplikannya,
“Analisis historis saya mungkin
tampak deterministik dan pesimistik; kenyataannya tidak demikian. Dengan
menjelaskan persekutuan ulama-negara sebagai konstruksi abad ke-11, analisis
saya telah mengindikasikan kemungkinan perubahan dan kelogisan optimisme.
Analisis saya telah mengungkap ketidakakuratan historis dalam memandangan
persekutuan ulama-negara sebagai sesuatu yang esensial di teks-teks Islam atau
sesuatu yang permanan dalam sejarah islam. Persepsi kontemporer tentang Islam
sebagai agama yang pasti menolak pemisahan agama-negara tidak benar.
Oleh karena itu, Muslim dapat
merancang ulang hubungan antara agama dan negara dengan cara yang dapat mempromosikan
kreativitas intelektual dan ekonomi. Lagipula, analisis saya sudah
memperlihatkan adanya dasar sejarah untuk reformasi semacam itu. Dari abad ke-8
hingga ke-10, para ulama umumnya didanai oleh perdagangan dan menghindari
pekerjaan sebagai abdi negara. Selama periode itu, masyarakat Muslim
menghasilkan ahli-ahli terhebat yang menguasai berbagai bidang dan
pedagang-pedagang yang berpengaruh. Analisis kritis terhadap sejarah Islam
dapat berkontribusi dalam membangun hubungan Islam dan negara yang baru,
konstruktif dan progresif kini.
Untuk menyelesaikan masalah-masalah
kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan, serta mengejar tingkat
perkembangan Barat, Muslim harus membangun sistem kompetitif dan meritokratis.
Itu membutuhkan reformasi sosioekonomi dan politik mendasar, dengan dimensi
ideologi dan kelembagaan. Maka, Muslim memerlukan kaum intelektual yang kreatif
dan borjuasi independen, yang dapat mengimbangi kekuasaan otoritas ulama dan negara.
” (410-411)
Wisma Covid
Darus-Sunnah, 03 Juli 2021
0 komentar:
Posting Komentar