Jumat, 02 Juli 2021

Juli 02, 2021 - No comments

PENGHABISAN BUKU AHMET T KURU

 


PENGHABISAN BUKU AHMET T KURU

(Akhir Menikmati Rekonstruksi Sejarah Ala Ahmet T Kuru)

Refleksi Bacaan Buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan, hal. 378-411

Abad ke-18 dan 19 adalah abad di mana beberapa kekhalifahan Islam mulai menggenjot upaya westernisasi. Sejumlah pemikir Islam mulai belajar ke barat dan meniru sistem yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Sayed Khan (India), RIfaah at-Tahtawi (Mesir), Muhammad Abduh (Mesir), Nizar Kemal (Turki) dan Jamaluddin al-Afghani (Afghanistan). Keseluruhnya belajar di barat dan berupaya menawarkan gagasan alternatif-kritis terhadap negeri yang didiaminya. Keragaman spesialisasi yang diperjuangkan setiap tokohnya serta kurangnya dukungan dari pemerintah membuat perubahan-perubahan tidak berjalan baik.

Ahmet Kuru menjelaskan bahwa kondisi sosioekonomi Muslim tak akan mampu mengejar barat lantaran 5 hal :

1.  Kendati ilmuwan indepnden bermunculan dan ulama berhasil dipinggirkan, namun penguasa dan birokrat yang kurang sehat mengisi kekosongan tersebut, menghambat laju peradaban.

2.     Penguasa-penguasa muslim yang otoriter tetap menguasai ekonomi tanpa mendorong akumulasi modal swasta atau kebangkitan borjuasi/intelektual pribumi

3.  Reformasi pendidikan yang sifatnya elitis, hanya menyentuh kalangan elit saja. Tidak sebagaimana jepang yang memulai reformasi pendidikan dari kalangan bawah

4.       Upaya westernisasi dihadang perlawanan berlatar politik dan agama. Masih ada sejumlah politikus dan agamawan yang mencoba upaya westernisasi

5.       Penjajajan bangsa Eropa terhadap dunia muslim terbukti sangat menghambat upaya memajukan dunia muslim. (387-392)

Ada dua faktor kegemilangan yang digapai oleh umat muslim pada abad 8-11, sebagaimana hal tersebut juga didapat oleh bangsa Eropa hingga sekarang, yakni hadirnya nuansa intelektual yang kreatif dan pedagang yang berpengaruh (396). Ahmet menambahkan bahwa Eropa Barat mulai mengalami transformasi multidimensional dan bertahap pada abad ke-11, khususnya dalam tiga hal. Pertama, pemisahan antara gereja katolik dan kekuasaan raja dilembagakan, karena keduanya terbukti tidak mampu saling menundukkan. Kedua, relasi kelas mulai berubah, dengan pedagang yang semakin berpengaruh. Ketiga, universitas-universitas mulai didirikan, sehingga menjaga basis institusional bagi perkembangan intelektual. Relasi kelas yang baru akhirnya mnejadi sumber pencapaian ekonomi dan intelektual selama Renaisans dan era-era setelahnya. (397-399)

Di bagian akhir, Ahmet membuat sebuah kesimpulan menyeluruh dari apa yang ditulisnya sejak halaman pertama dalam bukunya tersebut.

“Kerjasama yang terjalin erat antara ulama dan negara menjamin monopoli agama bagi ulama dan memberikan legitimasi agama kepada negara. Ulama telah menghalangi penafsiran-penafsiran alternatif terhadap Islam, sementara negara telah memanfaatkan agama untuk membenarkan tindakan keras terhdap lawan politik.” (403)

Dalam bahasan terakhir bukunya, Ahmet membuat bab Rekomendasi atas narasi-narasi yang dia sampaikan dalam bukunya mengenai keterpurukan Islam akibat pesekutuan Ulama dan Negara.

Ahmet menulis,

“Saya tidak membantah bahwa kolonialisme dan imperialisme barat telah menghancurkan lembaga-lembaga lokal dan mengeksploitasi sumber daya alam di banyak negara muslim. Namun, fokus ke dampak negatif yang disebabkan oleh negara-negara barat telah mengalihkan perhatian Muslim dari kegagalan-kegagalan mereka sendiri dan reformasi pemikiran, kebijakan, dan lembaga mereka. Pandangan anti-barat atau tarik-menarik antara aktor-aktor Islam dari kalangan sekuler tidak akan membantu Muslim mengatasi masalah. Memang, kedia belah pihak harus menyelesaikan masalah-masalah antiintelektualisme dan kontrol negara atas ekonomi.

Masalah yang dihadapi umat muslim bukanlah bersumber dari Islam, melainkan teori tertentu yang dianggap islami. Di sepanjang buku ini saya menunjukkan bahwa teori dan praktik persekutuan ulama-negara, yang diilhami oleh gagasan Sasaniyah tentang hubungan agama-negara, telah menjadi sumber berbagai kritis di dunia muslim.” (408-409)

Ahmet melanjutkan sebuah rekomendasi yang menjadi akhir dari tulisannya di buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan. Berikut cuplikannya,

“Analisis historis saya mungkin tampak deterministik dan pesimistik; kenyataannya tidak demikian. Dengan menjelaskan persekutuan ulama-negara sebagai konstruksi abad ke-11, analisis saya telah mengindikasikan kemungkinan perubahan dan kelogisan optimisme. Analisis saya telah mengungkap ketidakakuratan historis dalam memandangan persekutuan ulama-negara sebagai sesuatu yang esensial di teks-teks Islam atau sesuatu yang permanan dalam sejarah islam. Persepsi kontemporer tentang Islam sebagai agama yang pasti menolak pemisahan agama-negara tidak benar.

Oleh karena itu, Muslim dapat merancang ulang hubungan antara agama dan negara dengan cara yang dapat mempromosikan kreativitas intelektual dan ekonomi. Lagipula, analisis saya sudah memperlihatkan adanya dasar sejarah untuk reformasi semacam itu. Dari abad ke-8 hingga ke-10, para ulama umumnya didanai oleh perdagangan dan menghindari pekerjaan sebagai abdi negara. Selama periode itu, masyarakat Muslim menghasilkan ahli-ahli terhebat yang menguasai berbagai bidang dan pedagang-pedagang yang berpengaruh. Analisis kritis terhadap sejarah Islam dapat berkontribusi dalam membangun hubungan Islam dan negara yang baru, konstruktif dan progresif kini.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan, serta mengejar tingkat perkembangan Barat, Muslim harus membangun sistem kompetitif dan meritokratis. Itu membutuhkan reformasi sosioekonomi dan politik mendasar, dengan dimensi ideologi dan kelembagaan. Maka, Muslim memerlukan kaum intelektual yang kreatif dan borjuasi independen, yang dapat mengimbangi kekuasaan otoritas ulama dan negara. ” (410-411)

 

Wisma Covid Darus-Sunnah, 03 Juli 2021


0 komentar:

Posting Komentar

Back to top