Kamis, 01 Juli 2021

Juli 01, 2021 - No comments

PESONA AHMET T KURU

  Refleksi Bacaan 324-378 (54 halaman)

Jumat 02 Juli 2021 dan saya masih berada di ruang isolasi mandiri di wisma covid 19 pesantren Darus-Sunnah Ciputat. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selama masa isolasi ini kecuali berjemur diri, jajan dan membaca buku. Ketiganya bermanfaat sebagai varian kegiatan kami agar tidak jenuh.

Pagi ini saya berkesempatan melanjutkan bacaan buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru. Tepatnya dari halaman 324 sampai 378. Bahasan yang termuat di dalamnya adalah terkait kebangkitan eropa barat, penjelasan alternatif mengenai kemunduran dunia muslim, keruntuhan dunia muslim (kolonialisme barat abad 18 dan 19) dan ditutup dengan kajian mengenai dominasi barat terhadap dunia muslim

Abad 17-19 adalah abad di mana kekhalifahan Osmani tertatih-tatih bersaing dengan kemajuan barat. Rentang abad ini ditemukan berbagai penemuan, mulai dari mesin cetak, revolusi industri, dan revolusi teknologi di Eropa Barat. Respon kedua belah pihak, Osmani dan Eropa Barat, terhadap realitas ini sangatlah menentukan.  Data sejarah menunjukkan bahwa Eropa Barat yang kala itu tengah bergairah menyongsong peradaban, didukung dengan independensi ilmuwan atas cengkeraman pemerintah dan otoritas agama, mampu merseponnya dengan positif. Sedangkan umat muslim, yang saat itu tengah diliputi imbas persekutuan ulama-negara yang destruktif, meresponnya dengan negatif. Dampaknya adalah kemajuan untuk eropa Barat dan kemunduran untuk muslim.

Contoh yang paling menarik yang disampaikan Ahmet T Kuru adalah perihal penerimaan mesin cetak dari kalangan muslim. Saat mesin cetak ditemukan, pemerintah Osmani tidak langsung memakainya, alih-alih malah menolaknya dikarenakan beberapa alasan. Pertama adalah adanya instruksi langsung dari ulama terkat larangan memanfaatkan mesin cetak, hal ini diakibatkan khawatirnya masuk dominasi paham asing lewat kerja percetakan, sehingga mampu mengikis peran ulama. Kedua, karena di kalangan Osmani kelas borjuis tidak menjadi kelas berpengaruh di kalangan kekhalifahan, akibatnya tidak ada yang memodali pengadaan mesin cetak secara besar-besaran. Ketiga, tingkat literasi yang rendah, hal ini berimbas pada minimnya permintaan untuk pencetakan ulang buku-buku. Dan yang keempat, inilah yang terpenting, matinya gairah intelektual di kalangan Osmani. Hal ini sangat bisa disalahkan, karena pemerintahan (dan jajaran ulama di dalamnya) yang memiliki gairah intelektual yang tinggi akan merespon anugerah mesin cetak sebagai hal luar biasa yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Contohnya adalah dalam kasus penerjemahan al-Qur’an. Beberapa ulama merekomendasikan penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa Turki, namun tidak diindahkan oleh pemerintahan Osmani, akibatnya quran baru bisa diterjemahkan ke bahasa Turki saat tahun 1924, setahun setelah Republik Turki berdiri. Data statistik menyebutkan bahwa mesin cetak baru dipakai di Usmani pada tahun 1729, sedang Eropa Barat sudah lama sebelum itu. Akibatnya, data statistik menyebutkan bahwa sampai pada abad 18 jumlah buku yang dicetak di Usmani adalah 50.000 buku, terpaut jauh dengan Eropa Barat yang sudah mencapai satu juta buku. Masyaallah!

Data yang disajikan oleh Ahmet Kuru terkait perbandingan kultur intelektual di kesultanan Osmani dan Eropa Barat begitu detail dan mencengangkan. Betapa pehatian kita semua, terutama pemangku kebijakan negara, perihal mahalnya pengetahuan amatlah berdampak terhadap kemajuan bangsa/negeri kita. Semoga menginspirasi.

Selain itu, ajakan Yofi, sahabat sepercovidan saya, semakin giat membicarakan pesona melnajutkan perkuliahan di Barat. Aktivitas keseharian yang dijalani selalu dikaitkan dengan narasi kebaratan. Setiap membuka pintu ruang isolasi, yang mengarah ke rumah-rumah di sekitar Darus-Sunnah, diibaratkan seperti melihat padang luas yang penuh salju sebagaimana di daratan Eropa musim dingin. 


Wisma Covid Darus-Sunnah, 02 Juli 2021

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top