Rabu, 30 Juni 2021

Juni 30, 2021 - No comments

PESONA BARAT

 Refleksi Kemunduran Islam Lewat Buku Islam dan Otoritarianisme

Berawal dari sebuah bacaan menarik yang menemani saya semasa isolasi mandiri di wisma Covid Darus-Sunnah, buku Islam, Otoritarianisme dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru, guru besar kajian keislaman di San Diego University, bayang-bayang mengenai kedigdayaan kebudayaan intelektual islam berkelebat dalam benak.

Buku dengan sampul berwarna hijau tersebut berjumlah hampi 500 halaman, dengan sajian refrensi yang begitu kaya dari penulisnya. Mengulas sejarah Islam dari masa ke masa berikut sebab-sebab kemundurannya, Ahmet T Kuru mencoba menarasikan hubungan ulama dan pemerintahan dalam dinamika sejarah Islam. Mulai dari hubungan yang menguntungkan hingga hubungan persekutuan antara dua kelompok tersebut yang sifatnya merugikan.

Lewat buku tersebut, Ahmet T Kuru ingin menyampaikan bahwa yang menyebabkan Islam mundur adalah persekutuan ulama-negara yang tidak konstruktif. Persekutuan ulama dan negara melahirkan persekongkokolan yang tidak sehat untuk kehidupan peradaban, hal ini ditandai dengan lahirnya ulama hampa independensi, fatwa yang mudah dibeli untuk kepentingan negara, kebijakan negara yang culas namun dibungkus dengan perkataan ulama sehingga tampil memukau, pertentangan perkembangan ilmuan dengan ajaran-ajaran agama yang dipecundangi hingga penghancuran-penghancuran observatorium pengetahuan akibat intrik politik tertentu dalam tubuh umat muslim.

Hari ini saya mendapat giliran baca dari halaman 275 hinggq 325 (total 50 halaman) dan kebetulan membahas tulisan dengan judul besar TESIS KEMUNDURAN, LAGI. Melanjutkan bahasan Ghazali dan Tesis Kemunduran, bahasan ini secara khusus mengulas lebih dalam bukti kekhalifahan muslim saat itu  (Usmani di Turki, Mughal di India dan Shahavi di Iran) tidak mampu mengapresiasi mahalnya pengetahuan. Hal ini dikontraskan dengan pembahasan mengenai kebangkitan Eropa Barat. Secara umum bacaan saya hari ini mengulas transformasi kearifan Usmani kepada kemajuan Eropa Barat.

Potret yang paling miris adalah saat observatorium penelitian di Turki dihancurkan oleh kekhalifahan akibat intrik politik tertentu, kemudian ada ilmuwan Bernama Piri Reis (pakar navigasi) yang tidak dihargai bahkan berujung dengan vonis kematian, padahal ia merupakan konsultan kesayangan raja Eropa. Contoh lainnya lagi adalah soal polemic legalitas pembedahan mayat, di barat saat itu diperbolehkan (setelah gereja dan negara tak mampu menyentuh independensi ilmuwan lewat pelembagaan universitas yang tengah menguat), sedang di timur (dengan larangan dari agamawan yang dibantu negara, lewat kontrol madrasah-madrasah negeri) membedah mayat adalah hal yang dilarang. Hiks. Penguatan di bidang militer tidak dibarengi dengan penguatan dalam bidang intelektual, yang dalam hal ini dibuktikan dengan limpahan pemerintahan terhadap filsafat, kerja sains dan gairah penelitian. Itu yang hilang di timur pada masa Usmani (1299-1922) dan itu yang bertumbuhkembang di barat, khususnya Eropa. Dampaknya adalah kemajuan barat dalam berbagai bidang hingga saat ini.

Masih akan menjadi bacaan yang menarik untuk menemani isolasi di wisma covid ini.

 

Refleksi Obrolan Soal Pesona Kultur Pendidikan di Barat

Senyampang dengan ketertarikan saya dengan pembahasan kebangkitan barat lewat buku Ahmet T Kuru, sahabat seruangan saya, Yofi, membuka diskusi menarik tentang pesona kultur pendidikan di barat. Dalam analisisnya, Yofi menarasikan bahwa belajar di perguruan tinggi di barat memiliki banyak sekali keistimewaan. Selain kultur sosial barat yang secara umum menghargai keilmuan, fasilitas yang didapat di sana dari segi sarana pendidikan juga tidak main-main, pelajar benar-benar diperhatikan oleh pihak kampus. Gairah intelektual yang menyala-nyala, ruh skeptisme yang mewarnai kerja penelitian, sikap sesama pelajar yang humble, dan lain sebagainya, itulah yang menjadikan kesempatan berkuliah di barat adalah hal yang sangat seksi dan memukau. Tradisi intelektual barat yang begitu hidup adalah cerminan bagaimana menyalanya kajian islam era Abasiyah dahulu. 

Tongkat peradaban bergilir, jatah untuk menjadi negara adigdaya juga silih berganti. Tak dipungkiri, barat kini adalah puncak peradaban, puncak perkembangan teknologi dan intelektual, tempat di mana kesibukan yang konstruktif berlangsung sepanjang hari. Tidak ada salahnya jika kita menambatkan hati ke barat, khususnya dalam bidang pilihan pendidikan. Semoga kesampaian menimba ilmu di puncak peradaban, ujar Yofi mengajak saya. Semoga.

01 Juli 2021, Wisma Covid Darus-Sunnah Ciputat

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top