PESONA BARAT
Refleksi Kemunduran Islam Lewat Buku Islam dan Otoritarianisme
Berawal dari sebuah bacaan menarik yang
menemani saya semasa isolasi mandiri di wisma Covid Darus-Sunnah, buku Islam,
Otoritarianisme dan Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru, guru besar kajian
keislaman di San Diego University, bayang-bayang mengenai kedigdayaan
kebudayaan intelektual islam berkelebat dalam benak.
Buku dengan sampul berwarna hijau tersebut berjumlah
hampi 500 halaman, dengan sajian refrensi yang begitu kaya dari penulisnya.
Mengulas sejarah Islam dari masa ke masa berikut sebab-sebab kemundurannya,
Ahmet T Kuru mencoba menarasikan hubungan ulama dan pemerintahan dalam dinamika
sejarah Islam. Mulai dari hubungan yang menguntungkan hingga hubungan
persekutuan antara dua kelompok tersebut yang sifatnya merugikan.
Lewat buku tersebut, Ahmet T Kuru ingin
menyampaikan bahwa yang menyebabkan Islam mundur adalah persekutuan
ulama-negara yang tidak konstruktif. Persekutuan ulama dan negara melahirkan
persekongkokolan yang tidak sehat untuk kehidupan peradaban, hal ini ditandai
dengan lahirnya ulama hampa independensi, fatwa yang mudah dibeli untuk
kepentingan negara, kebijakan negara yang culas namun dibungkus dengan
perkataan ulama sehingga tampil memukau, pertentangan perkembangan ilmuan
dengan ajaran-ajaran agama yang dipecundangi hingga penghancuran-penghancuran
observatorium pengetahuan akibat intrik politik tertentu dalam tubuh umat
muslim.
Hari ini saya mendapat giliran baca dari
halaman 275 hinggq 325 (total 50 halaman) dan kebetulan membahas tulisan dengan
judul besar TESIS KEMUNDURAN, LAGI. Melanjutkan bahasan Ghazali dan Tesis
Kemunduran, bahasan ini secara khusus mengulas lebih dalam bukti kekhalifahan
muslim saat itu (Usmani di Turki, Mughal
di India dan Shahavi di Iran) tidak mampu mengapresiasi mahalnya pengetahuan.
Hal ini dikontraskan dengan pembahasan mengenai kebangkitan Eropa Barat. Secara
umum bacaan saya hari ini mengulas transformasi kearifan Usmani kepada kemajuan
Eropa Barat.
Potret yang paling miris adalah saat
observatorium penelitian di Turki dihancurkan oleh kekhalifahan akibat intrik
politik tertentu, kemudian ada ilmuwan Bernama Piri Reis (pakar navigasi) yang
tidak dihargai bahkan berujung dengan vonis kematian, padahal ia merupakan konsultan
kesayangan raja Eropa. Contoh lainnya lagi adalah soal polemic legalitas
pembedahan mayat, di barat saat itu diperbolehkan (setelah gereja dan
negara tak mampu menyentuh independensi ilmuwan lewat pelembagaan universitas
yang tengah menguat), sedang di timur (dengan larangan dari agamawan yang
dibantu negara, lewat kontrol madrasah-madrasah negeri) membedah mayat adalah
hal yang dilarang. Hiks. Penguatan
di bidang militer tidak dibarengi dengan penguatan dalam bidang intelektual,
yang dalam hal ini dibuktikan dengan limpahan pemerintahan terhadap filsafat, kerja
sains dan gairah penelitian. Itu yang hilang di timur pada masa Usmani
(1299-1922) dan itu yang bertumbuhkembang di barat, khususnya Eropa. Dampaknya
adalah kemajuan barat dalam berbagai bidang hingga saat ini.
Masih akan menjadi bacaan yang
menarik untuk menemani isolasi di wisma covid ini.
Refleksi Obrolan Soal Pesona Kultur Pendidikan
di Barat
Tongkat peradaban bergilir, jatah untuk menjadi negara adigdaya juga silih berganti. Tak dipungkiri, barat kini adalah puncak peradaban, puncak perkembangan teknologi dan intelektual, tempat di mana kesibukan yang konstruktif berlangsung sepanjang hari. Tidak ada salahnya jika kita menambatkan hati ke barat, khususnya dalam bidang pilihan pendidikan. Semoga kesampaian menimba ilmu di puncak peradaban, ujar Yofi mengajak saya. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar