Hati-Hati Dengan Internet
Hati-Hati Dengan Internet
(Refleksi Bacaan Matinya Kepakaran Halaman
135-185)
Dalam Matinya Kepakaran yang saya
baca hari ini, ada dua judul pembahasan yang menarik : Tersesat di Mesin
Pencari dan Jurnalisme gaya Baru. Dalam rentang tulisan yang saya baca ini
dibahas seputar peran internet bagi matinya kepakaran.
Dengan tegas, dalam satu
tulisannya Tom menulis bahwa Yang Palsu di Internet : Semuanya. Dalam subbab
ini dibahas bahwa di internet berterbaran banyak sekali berita dan informasi
yang menjerumuskan kita kepada keliaran cara berpikir jika kita tidak mengimbanginya
dengan critical thinking, cerdas menimbang dan menakar berita yang kita
terima di internet. Salah satunya adalah menyebarnya hoaks.
Tom mencontohkan kasus Obama yang
dikesankan sebagai sosok yang memaksa militer Amerika untuk memeluk islam. Dalam
unggahan yang beredar di internet ditemukan bahwa ada foto Obama dengan latar
beberapa tentara Amerika yang sedang sujud di atas sajadah, kemudian muncul
sebuah tulisan “Lihat apa yang dilakukan olehnya?” Padahal, setelah diusut
lebih lanjut, foto tentara yang sedang bersujud itu memang mereka para tentara
muslim yang sudah bertugas.
Dalam era internet ini juga ada
realita bahwa seseorang, untuk menunjukkan kepakarannya, cenderung mencari
bukti yang mendukung gagasannya. Hal ini sejalan dengan analisis berikutnya
mengenai karakter masyarakat modern bahwa masyarakat saat ini, dalam kaitannya
dengan keterlibatan mereka di media sosial, cenderung berada di ruang gema
(Echo Chamber). Echo Chamber adalah fenomena di mana seseorang lebih senang berada
di sebuah kelompok yang satu frekuensi/ideologi dengan mereka, tidak siap
menerima perbedaan dari kelompok lain, yang dalam kondisi tertentu, saat ingin
membela kelompoknya, mereka akan mengasup berita yang mendukung kelompoknya,
kendati berita yang dibawa adalah berita bohong.
Tom membahasakan fenomena
internet sebagai fenomena berkembangnya gaya jurnalisme yang independen yang
kebablasan. Ia menganalogikan kasus lahirnya sebuah website di internet sama
dengan lahirnya penerbit pada masa silam. Ada penerbit yang ketat, yang
membutuhkan standar dan negosiasi yang ketat agar naskah diterima dan
diterbitkan, naskah yang diterbitkan tentu berkualitas dan informatif untuk
pembaca. Dan ada penerbit berbayar atau penerbit mandiri (Vanity Press) yang
bebas atas naskah yang diterbitkan tanpa proses seleksi yang ketat, naskah yang
diterbitkan jauh dari kata berkualitas karena diterbitkan tidak melalui standar
jurnalisme yang tinggi. Nah, lanjut Tom, fenomena internet adalah lahirnya
ratusan juta penerbit mandiri (vanity press) yang berkah menentukan sendiri
naskah yang akan diterbitkan.
Dalam analisisnya yang lain, Tom
menjelaskan bahwa di antara hal-hal lain yang mendorong matinya kepakaran
adalah kesalahan pakar yang terlalu dibesar-besarkan. Tom mencontohkan apa yang
terjadi pada kasus Dan Rather, seorang pembawa acara CBS. Dalam laporannya,
saat terjadi perseteruan sengit antara George W Bush dengan senator John Kery,
Dan Rather mengklaim bahwa ia memiliki dokumen sejak tahun 1970 yang mengatakan
bahwa George W Bush pernah absen dari unit Air National Guard dan tidak
menyelesaikan dinas wajibnya. Ternyata, setelah dilakukan investigasi, Dan
Rather terbukti menggunakan dokumen palsu. Berita tersebut viral dan menjadi
alat penyerangan terhadap otoritas pakar dalam menyeleksi kebenaran. Padahal,
sebagaimana dijelaskan Tom, orang awam tidak selalu salah dan pakar tidak
selalu benar. Namun, pakar, bagaimanapun, adalah seorang profesional.
Profesional adalah mereka yang terbiasa melakukan pekerjaan terbaik, meski
kadang tidak ingin. Bahwa kadang ia salah, itu adalah nasib dia sebagai manusia
biasa.
Tom menulis bahwa menjamuran
website di era digital ini yang berkonsekuensi bertebarannya berita tidak
menjadikan dunia saat ini lebih baik. Hal ini sebagaimana menjamurnya menu makanan
di restoran. Tersedianya 300 ribu jaringan restoran makanan dan gerai makanan
cepat saji saat ini tidak menjamin hidup kita bisa hidup lebih sehat. Hal ini berkaitan
dengan angka kematian juga. Ayah saya, H Mahmud Ali, pernah berkata, “Dahulu
banyak orang mati lantaran mesiu, sekarang banyak orang mati lantaran sesendok
gula.” Semoga kita pandai menyeleksi makanan, sehingga kita bisa hidup sehat
(eh kok lari ke makanan sih) 😊
Perpustakaan Mahad
Darus-Sunnah, 07 Juli 2021
0 komentar:
Posting Komentar