Puasa Media Sosial
Teknologi mengalami perkembangan yang signifikan, termasuk dalam bidang komunikasi. Dahulu, jalinan komunikasi hanya sebatas menggunakan telpon dan sms, bahkan, dalam waktu yang lebih purba lagi, pengiriman surat hanya bisa dilakukan lewat pos saja. Sekarang semua sudah dimudahkan. Berkabar dan bertukar komunikasi cukup dengan aplikasi ringan seperti whatsapp, dengan jaringan internet semua akan tersampaikan.
Belakangan, media sosial hadir sebagai sarana
berkomunikasi yang paling mutakhir dan sederhana. Media sosial adalah ruang
virtual di mana kita mampu berkumpul bersama beberapa orang, membicarakan tema
menarik, tanpa perlu berkumpul secara fisik. Jejaring yang terjalin di media
sosial bersifat sangat kompleks. Mulai dari jejaring teman TK hingga teman
arisan RT, semua bisa kita jumpai dalam ruang bernama media sosial. Bukan
sekadar bertukar kabar, bahkan hingga kepada tahap menyebar informasi yang
dianggap penting untuk disebarkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, media sosial
malah menjadi bomerang destruktif bagi kepribadian kita. Berselancar di dunia
media sosial adalah barang adiktif. Sebagaimana narkoba dan nikotin, bermedia
sosial adalah candu. Orang yang asyik dan tenggelam berselancar di media sosial
akan lupa daratan. Jika tidak pintar mengatur waktu dan menjaga prioritas
tenaga, hidupnya akan berlalu dengan Kesia-siaan.
Baru saja saya menonton video Diskusi Media
Sosial Bareng Marissa Anita yang ditayangkan di akun youtube Galabby Thahira.
Marissa Anita, wanita yang mengenyam pendidikan magister digital media di
London, menjelaskan bahaya candu berselancar di media sosial. Media sosial
seperti Twitter, Instagram, Facebook dan lain-lain memang dirancang untuk tidak
habis dikonsumsi. Saat kita melakukan scroll (pengguliran) di media sosial kita
akan terbawa suasana, terpancingan postingan lain, terus demikian hingga
berjam-jam kita betah di dalamnya. Padahal, kata Marissa, itu semua nihil, tak
ada dampak positif bagi keberlangsungan hidup kita.
Selain itu, bermedia sosial
berlebihan hanya akan membuat diri kita destruktif. Bayangkan, jika kebahagian
kita hanya ditentukan oleh like yang kita dulang di media sosial. Saat kita
membuat postingan dan mendapat banyak like maka kita akan bahagia, sebaliknya,
jika kita mendapatkan sedikit saja like dari follower kita, maka kita akan
bersedih. Betapa mudahnya kita terombang-ambing.
Untuk itu, sebagaimana saran
Marissa Anita, berpuasa media sosial adalah salah satu jalan keluar yang bisa
ditempuh. Dengan berpuasa, kita bisa menahan diri dari keserakahan yang
menjerumuskan kita pada hal negatif. Sebagaimana Allah mewajibkan hamba-Nya
berpuasa Ramadhan, demikian kita harus mewajibkan diri kita untuk bermedia
sosial. Marissa Anita melakukannya dengan spektakuler, dia adalah sosok
terkenal dan pakar dalam bidang hiburan yang berani menutup akun media
sosialnya sejak 4 tahun lalu. Instagram, Tiktok, Facebook dia hapus karena dia
sadar ketiga aplikasi tersebut tidak berdampak positif pada dirinya. Manfaatkan
yang berguna, tinggalkan yang hanya akan melahirkan kesia-siaan.
Berpuasa media sosial adalah
kendali yang bisa kita atur. Sebagaimana diajarkan oleh Henry Manampiring dalam
Filosofi Teras bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan (up to us) dan ada
hal-hal yang berada di luar kendali kita (not up to us). Berpuasa media sosial,
memanfaatkan sebaik mungkin media sosial adalah bagian up to us, untuk itu
kendali ada di kita dan kita dituntut untuk memanfaatkannya sebaik mungkin,
karena itu ada di bawah kendali kita. Adapun jika kita sudah berusaha maksimal
dalam berpuasa media sosial, namun masih saja kecolongan, maka itu not up to
us, kita tidak bisa menyalahkan diri kita sendiri. Filosofi Teras mengajarkan
kepada kita untuk berhenti menyalahkan diri sendiri.
Semoga bermanfaat.
Kantor Yayasan, 28
Mei 2021.
0 komentar:
Posting Komentar