Apa Yang Saya Baca?
"Islam dan Modernitas menurut Arkoun yang ditulis oleh Suadi Putro, MA merupakan karya yang sangat menarik. Diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1998, buku ini, sebagaimana nafas pembaharuan Paramadina, menyajikan wacana keislaman yang segar. Mengulas tentang pandangan Arkoun terhadap relasi islam dan modernitas. Arkoun, tokoh kelahiran 1928 yang menghabiskan hidupnya di Aljazair (basis Islam) dan Prancis (tempat ia kuliah dan memuaskan aspirasi akademisnya), dianggap kompatibel dalam memandang relasi Islam (yang dalam hal ini diwakili oleh penghayatan keberislamannya selama seperempat Abad di Aljazair) dengan modernitas (yang dalam hal ini diwakili oleh pengalamannya hidup di Prancis)."
"Menurut Suadi, Arkoun, kendati ia merupakan sosok yang tertarik dalam dunia kesusasteraan Arab (hal ini dibuktikan dengan disertasinya seputar humanisme etis Misakawaih di Sorbonne, Prancis), ia juga sosok yang peduli terhadap isu2 keislaman sosial. Khususnya kaitannya antara Islam dan modernitas. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Prancis seperti paul Ricoeur, jacques Derrida, Michael Foucalt, dan lain-lain. Karya-karyanya juga kebanyakan berbahasa Arab dan Prancis."
"Kajian Islam dan Modernitas sangat menarik menurut Arkoun. Karena, sebagaimana dituturkan Suadi, keduanya secara subtantif memiiliki sifat entitas yang berbeda. Islam adalah agama wahyu yang segala hal berkaitannya dengannya sudah matang dan final, sedangkan modernitas adalah sesuatu yang baru dan dinamis mengikuti perkembangan masa. Bagaimana menyinergikan keduanya? Inilah topik pembahasan ini Islam dan Modernitas ala Arkoun."
"Muhammad Arkoun, sebagaimana diceritakan Suadi, tahu bahwa sudah banyak ulama Islam yang melek akan hal ini. Ada tokoh-tokoh terkemuka yang sudah berbicara soal isu islam dan modernitas seperti Rafi Rifah At-Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Thaha Husein, Ali Abdurrazaq, dan lain-lain. Namun, seperti hal yang sangat rumit, apa yang mereka bicarakan tidak bisa dikatakan sebagai hal yang tuntas dibicarakan. Modernitas, yang dalam hal ini ditandai dengan perkembangan teknologi dan ketertarikan manusia terhadap sistem demokrasi dan isu kebebasan berpendapat, adalah tema besar yang sangat luas cakupannya. Arkoun menyayayngkan bahwa banyak sekali masyarakat Islam yang tertinggal dilindas pesatnya laju modernitas."
"Kemenangan demokratisasi Eropa atas dunia menyebabkan Islam sebagai kekuatan transnasional terbesar. ia menjadi - meminjam istilah Esposito - ancaman bagi dunia barat. Oleh sebab itu, barat, yang ketika itu memegang laju informasi kepada dunia, mencitrakan Islam sebagai agama yang aneh dan berbahaya (lihat misalnya buku Islam in The World karya Malise Ruthven), belum lagi ditambah aksi orientalis (meski tidak semuanya) yang membabat habis citra baik Islam. Dalam konteks perbaikan nama dan harga diri islamlah Arkoun tampil mewarnai narasi pemikiran Islam dan Barat."
Disarikan dari Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas karya Suadi Putro, hal. 1-32
"Dalam 'Islam sebagai Tradisi Pemikiran menurut Arkoun', Suadi Putro menarasikan bahwa wacana tersebut bermula sejak khalifah kedua Umar ibn al-Khattab. Sosok Umar yang berpikiran terbuka (terbukti dengan keberanian beliau mengajak diskusi Nabi dalam hal-hal non wahyu), di samping ia juga merupakan sosok yang berdiri di atas iman yang teguh, adalah model bahwa Islam sebagai tradisi pemikiran adalah hal yang begitu cemerlang.
Pasca jatuhnya khalifah Ali, umat Islam melahirkan banyak sekali aliran. Dari yang kaku, ortodoks, sampai kepada hal yang paling liberal. Di sana ada Ahlussunnah wal Jama'ah, Khawarij, Syiah. Jabbariyyah, Murji'ah dan Mu'tazilah. Kelompok terakhir ini dikenal sebagai kelompok yang mengedepankan rasionalitas sebagai pakem kehidupannya. Darinya lahir pembahasan mengenai ilmu-ilmu teologis yang diperdebatkan, yang belakangan dikenal sebagai ilmu al-kalam.
Mu'tazilah sebagai sebuah asas berpikir pemerintah melahirkan tradisi pemikiran yang brilian. Gelombang kekaguman atas paham Hellenisme (paham filsafat Yunani) begitu membumi ketika itu. Penerjemahan karya-karya asing dilakukan dan tak sedikit kemudian yang memolesnya sehingga lahir dalam corak keislaman. Pembangunan Baitul Hikmah (Wisma Kearifan) oleh al-Ma'mun, tokoh dengan nalar Mu'tazilah, yang berisi perbendaharaan pengetahuan, merupakan bukti kehebatan islam dalam statusnya sebagai tradisi pemikiran.
Kendati demikian, seiring berjalannya waktu, Islam terkungkung oleh logosentrisme, paham yang menunjukkan keadikuasaan kelompoknya. Sejak rikuhnya proses Hellenisme dalam Islam, sejak itu pula lahir sosok yang menegaskan eksistensi logosentrisme. Ajaran filsafat yang semula dikaji, lama-lama ditinggali. Arkoun membahasakan ilmu-ilmu tersebut sebagai bagian "yang tak terpikirkan".
Pada gilirannya, bagian "yang tak terpikir" ini memupus laju tradisi pemikiran dalam Islam, yang puncaknya ditutup dengan statemen bahwa pintu ijtihad telah ditutup. Paham ini mengandaikan bahwa dalam kehidupan umat Islam cukup mengacu kepada apa yang sudah dirumuskan oleh ulama terdahulu. Tidak boleh ijtihad. Seperti bisa diduga, hal ini malah akan memicu Islam tertinggal dari keberlangsungan modernitas yang nyata terjadi. Upaya penyelerasan semangat teks dengan konteks yang dibuktikan dengan upaya ijtihad, tidak ada gaungnya. Padahal, sebagaimana ungkapan cendekiawan, "Nash itu terbatas sedangkan realitas tak terbatas", hal ini meniscayakan perlunya pembukaan kembali pintu ijtihad dalam tradiis pemikiran Islam."
Disarikan dari Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas karya Suadi Putro, hal. 34-42
"Dalam 'Hakikat Modernitas versi Arkoun', Suadi menarasikan bahwa Arkoun tidak memberikan batasan waktu moder, apalagi tentang tantangan-tantangan yang dibawanya. Kendati demikian, Arkoun menegaskan bahwa yang dimaksud dengan masa modern adalah masa dari akhir abad 15 (awal renaissans) sampai tahun 1950 masehi. Hal ini diilhami oleh teori Arnold Toynbee, ahli sejarawan.
Modern identik dengan barat. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dan sistem peradaban, yang menjadi penanda berlangsungnya modernitas, terjadi di dunia bagian barat. Tak ayal jika istilah modernisasi juga berarti westernisasi (upaya pembaratan), meski ada bagian2 modernitas yang netral, tak terikat dengan barat dan timur, seperti halnya ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, modern, yang dalam hal ini dimaknai sebagai kemajuan, diperhadapkan dengan islam, simbol keterbelakangan. Hal ini mengacu pada realitas banyaknya negara Islam yang mengalami kemunduran.
Pada gilirannya, relasi hubungan islam dan modernitas melahirkan beberapa reaksi. Ada yang positif dan negatif. Yang negatif menganggap bahwa modernisasi, bagaimanapun, adalah efek domino dari warisan terbesar umat islam atas barat (renaissans), untuk itu umat Islam perlu berbangga. Sikap apologetisme ini hanya melenakan dan tidak memupuk jiwa kempetitif dalam diri muslim untuk berpacu merebut kembali peradaban. Suadi membahasakan bahwa aplogetis ini lahir dari sisi kelompok yang terkalahkan.
Arkoun membagi tradisi menjadi 2 : tradisi (dengan t kecil) yang berarti rangkaian kebiasaan yang dilakukan manusia dan Tradisi (dengan T besar) yang merupakan tradisi dari Allah yang tak bisa diubah. Kunci agar mampu mensejajarkan diri dengan barat adalah dengan meyakini Tradisi (dengan t besar), bahwa takdir di tangan Allah, tugas kita adalah berjuang semampu mungkin untuk jadi yang terbaik.
Ciri modernitas menurut Arkoun, sebgaiamana dikatakan oleh Suadi, "adalah setiap perubahan prinsipil dalam dunia pemikiran atau dalam bidang-bidang kehidupan yang lain. Masuknya pemikiran Yunani pada abad ke-19, merupakan semacam bentuk modernitas, sebagaimana kemunculan Islam di jazirah Arab."
Beliau menegaskan bahwa semua agama (Yahudi, Kristen dan Islam) pada masa awal kedatangannya merupakan bentuk modernitas. Ia dinilai sebagai hal yang modern bagi kondisi masyarakat saat itu.
Arkoun melanjutkan bahwa tradisi (berbasis wahyu) yang dalam islam disebut sebagai cahaya, berbeda dengan tradisi (berbasis nalar) yang dikenal sebagai kegelapan, dalam kajian ilmuwan barat mengalami keterbalikan. Tradisi berbasis nalar dinilai sebagai cahaya, sedangkan tradisi berbasis wahyu, yang identik dengan kungkungan oleh dogma gereja, dinilai sebagai kegelapan. Dari sana lahir tokoh-tokoh yang mengedepankan nalar sebagai tradisi pemikirannya. Seperti Martin Luther dengan gerakan protestannya, Hegel dengan memperkenalkan teori 'Dialektika'nya, Marx dengan penggunakan ilmu ekonomi-politik untuk membedah sejarah, Freud dengan pengembalian potensi libido manusia kepada tekanan pubertas, Nietzsche dengan cara kembali kepada akar-akar moral Yunani-Kristiani, menentang nilai-nilai lama yang telah berkuasa ribuan tahun.
Disarikan dari Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas karya Suadi Putro, hal. 42-51
"Dalam 'Tantangan dan Problem Medrnitas versi Arkoun', Suadi mengatakan bahwa cara modernitas masuk ke dalam dunia islam lewat proses "serbuan" atau kekerasa yang bersifat militer yang dilancarkan oleh pasukan Prancis Napoleon Bonaparte. Hal ini tentu berbeda setiap daerahnya. Indonesia dilancarkan oleh Belanda, Malaysia oleh kolonialisme Inggris. Arkoun yang merupakan warga Aljazair menyatakan bahwa modernitas masuk lewat tangan pasukan Prancis.
Modernitas yang masuk ke dalam dunia islam memiliki tiga ciri dasar : a) ilmu pengetahuan yang berujung kepada rasionalisme, b) negara-bangsa yang bermuara kepada nasionalisme c) "penyepelean" peran agama yang berujung kepada sekularisme. Problem lainnya adalah masalah toleransi, HAM, kasus wanita dan kaitannya dengan dogma Islam
Setiap 3 hal ciri modernitas di atas menemukan tantangannya masing2 bagi islam. Perihal rasionalitas adalah ditandai dengan pertanyaan, apakah bisa ditemukan kebenaran pada selain wahyu, dan bagaimana kebenaran wahyu itu sendiri? Hal ini yang telah menjadi perdebatan klasik perihal eksitensi kebenaran wahyu. Berikut perihal negara bangsa dan kaitannya dengan delusional cita-cita negara islam.
Dalam konteks ini juga Arkoun menyerikan perihal bisakah kritik melampaui ortodoksi dalam islam. Segala isu2 baru yang berkaitan dengan kebenaran mutlak seperti al-Qur;an kerap dihadapkan dengan pendekatan emosional, hal ini berbeda dengan tradisi kristiani.
Krisis spiritual, yang menjadi ciri modernitas, juga merupakan problem bagi umat Islam saat menghadapi modernitas. Krisis kepercayaan terhadap moralitas, keyakinna dan agama berpotensi mengantarkan manusia menuju sekularisme.Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Daniel Bell.
Arkoun, dalam "The Concept of Authority in Islamic Thought" menjelaskan secara detail perihal sekularisme. Diawali dengan fenomena pemisahan gereja dan negara dunia barat, yang dengan ungkapan terkenal disebutkan, "Berikan milik kaisar kepada kaisar dan berikan milik Allah kepada Allah." Kemudian beralih kepada percobaan Ataturk di Turki dengan sikapnya yang netral agama. Arkoun pada akhirnya, setelah melakukan analisa mendalam, mengungkapkan bahwa sekularisme dibicarakan dalam al-Qur'an dan dipraktikkan dalam pengalaman Madinah.
Hal ini tampak nyata apabila dikaitkan dengan bidang poltiik. Agama dan negara adalah dua entitas yang berbeda yang tidak mesti disalingkaitkan. Barat, yang memang sudah jauh-jauh hari mendiskreditkan kalam ilahi sebagai legitimasi, jelas memisahkan antara agama dengan negara. Islam pun sebenarnya memiliki keremangan jika kita diharuskan mengonsep sebuah tata negara berdasarkan wahyu ilahi atau tutur Nabi tanpa berikap kritis terhadapnya.
Disarikan dari Mohammed Arkoun Tentang Islam dan Modernitas karya Suadi Putro, hal. 51-57
"Dalam bab ke-4, Suadi Putro menulis bab besar berjuudl Modernitas : Tantangan dan Solusi. Di dalamnya terdapat 5 sub pembahasan. Yang pertama adalah tentang problem di bidang Intelektual. yang kedua adalah perihal sekularisme, yang ketiga adalah perihal politik, yang keempat perihal isu-isu sosial, yang kelima adalah terkait masalah pembangunan.
Dalam subbab pertama beliau menjelaskan di dalamnya perihal otoritas kerja penafsiran al-Qur'an. Beliau menegaskan bahwa penafsiran atas kitab suci yang dilakukan oleh manusia tidak ada yang bersifat murni dan mutlak kebenarannya. Tidak ada yang tahu benar maksud yang disampaikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya tersebut. Arkoun menyinggung perihal model tafsir at-Thabari yang menggunakan redaksi yaqul Allah saat menguraikan penafsirannya atas sebuah ayat.
Dalam tesis tersebut juga dibahas bahwa modernitas membuka peluang dialog antara pengetahuan barat dengan islam. Hal ini seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Keunggulan pengetahuan barat dengan metodologi penelitiannya yang mapan harus 'dimanfaatkan' sebagai alat bantu tafsir al-Qur'an, sehingga akan melahirkan wajah penjabaran yang menarik bagi dunia.
Alih-alih dimusuhi karena modernitas berasal dari barat, umat Islam seharusnya belajar dari mereka dan berupaya sungguh-sungguh untuk mempelajari ilmu-ilmu barat dan bahkan menguasainya. Setidaknya hal tersebut yang juga disampaikan oleh Abduh dan Rasyid Ridha. Meski, nalar kritis juga tetap harus dikedepankan dalam menyerap pengetahuan barat.
Pada bab sekularisme, Suadi mengatakan bahwa hal ini merupakan tema yang sangat peka, termasuk untuk masyarakat Muslim Indonesia. Sekularisme masif digaungkan oleh umat kristiani, hal ini berangkat dari ungkapan terkenal dalam Injil, "Berikanlah milik Kaisar kepada Kaisar dan berikanlah milik Allah kepada Allah.". Firman tersebut menjelaskan bahwa urusan agama dan non agama adalah dua entitas yang independen dan tidak saling mencampuri. Padahal, menurut Arkoun, jika dipelajari sisi hostorisnya akan bernilai berbeda, dimana dalam konteks tersebut Yesus memerintahkan kepada agamawan (pendeta) agar tidak terlalu terlibat dalam urursan politik.
Kendati demikian, dalam perkembangan era modern, tokoh barat mulai kembali melakukan pengkajian ulang perihal hubungan otoritas agama dan negara barat. Keduanya mencoba membuat kesepakatan-kesepakatan baru. Arkoun membahasan dengan "kaum sekularis bisa menerima secara kritis agama-agama tradsional, sedangkan kalangan agamwan bersedia mengakui sekularisme sebagai suatu langkah penting dalam membebaskan nalar manusia dari segala bentuk kesadaran yang keliru."
Menurut Arkoun, sekularisme itu terdapat dalam al-Qur'an dengan rincian bahawa negara Bani Umaiyah-Abbasiyah adalah sekularis. Dalam bahasan lain, ia mengkritik pendirian negara Islam. Karena, berdasarkan data sejarah, negara islam tak ubahnya negara dengan sistem kerajaan pada umumnya.
Selain itu, isu sosial lain yang diangkat adalah perihal toleransi dalam Islam. Toleransi, yang merupakan ciri khas modernitas, juga diterapkan oleh Islam dari segi doktrinasi dan pengamalan tokoh-tokohnya. Toleransi atas keberagaman tersurat jelas dalam al-Qur'an. Begitupun dalam praktik Nabi saat di Madinah dan Umar bin al-Khattab yang dilakukan saat pembebasan Yerussalem, dimana keduanya tetap membiarkan penganut agama-agama lain hidup berbarengan dengan umat muslim.
Begitupun dalam hal status kesetaraan kedudukan kaum wanita dan lelaki dalam Islam. Keduanya memiliki hak dan kewajiban serta porsi ruang yang setara dalam ajaran al-Qur'an. Anggapan barat perihal adanya ketimpangan kedudukan wanita dalam Islam perlu dikaji kembali.
Disarikan dari buku Islam dan Modernitas hal. 58-98
Manfaat belajar petunjuk nabi adalah mengikutinya
Manfaat belajar siroh adalah mengetahui kiprah beliau dalam segala peran kehidupan
Pembagian 13 bab
Manfaat belajar magahazi untuk mengetahui perangai beliau SAW yang mulia, kata Hasan bin Ali : Kami diajarkan tentang maghazi sebagaimana diajarkan surat dalam quran.
Rangkaian jenjang pewajiban perang bagi umat muslim, dan kenapa alasannya
Usai perizinan perang, segala persiapan dilakukan berupa pelatihan2, jasmani dan rohani
tujuan2 jihad
Pengutusan dan perang pertama sebelum Badar. Dan penjelasan latarbelakang pemicu peperangan antara makkah dan maidnah
FAEDAH2 :
Kapan disyariatkan jihad? Dan apa sebabnya?
Perbedaan sariyyah dan gahzwah. Dalam 10 tahun, Nabi memimpin 27 peperangan dan 38 pengutusan
Penjagaan ketat atas Nabi?
Pelempar panah pertama : Said bin Abi Waqqash
Hikmah banyak pengutusan pra BAdar : Kesiapan untuk menghadapi BAdar Kubro
0 komentar:
Posting Komentar