Selasa, 07 April 2020

April 07, 2020 - No comments

Mengulas Buku "Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan" karya Ihsan Abdul Quddus


Melanjutkan ritual #dirumahaja, saya kembali berselancar mengarungi kekayaan literasi-literasi berkualitas. Kali ini buku yang saya baca adalah "Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan" karya penulis kenamaan Mesir Ihsan Abdul Quddus.

Buku ini merupakan terjemahan dari buku yang memiliki judul asli "Wa Nasitu Anni Imra'ah", versi Indonesia buku ini diterbitkan oleh penerbit Alvabet pada tahun 2012 dengan jumlah halaman 228. 

Sebagaimana buku Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawy, buku ini berkisah tentang perempuan dan persinggungannya dengan dunia tempat ia hidup. Kedua buku yang sama-saya dapatkan linknya dari akun Twitter @Akalbuku



Buku Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan merupakan sebuah novel yang berkisah tentang perempuan dan dunia karirnya. Seorang perempuan yang terlalu aktif mengejar karir dan impiannya hingga melupakan naluri dan peran keperempuanannya. 

Sang tokoh Utama, Suad, merupakan sosok perempuan yang sejak kecil sudah tertanam dalam dirinya idealisme tinggi untuk menjadi sosok pemimpin dan mempunyai peran besar di masyarakat. Jiwa revolusionernya menyala terang dalam sanubari, menjadi Kompas untuk hidupnya.

Tokoh kita, Suad, bukan saja sadar bahwa perempuan setara dengan lelaki dalam memberikan peran di kehidupan sosial, ia bahkan ingin melebihinya dengan bekerja keras menjadi sang pemimpin masyarakat sekitar tempat ia dibesarkan. 

Mesir menjadi latar kisah Suad dalam novel ini. Dengan latar waktu pra dan pasca revolusi Mesir (sekitar tahun 1930-1950-an), Suad hidup menjalani dinamika kehidupan di Mesir, lengkap dengan proses perwujudan mimpinya menjadi sang pemimpin.

Novel Aku Lupa Bahwa Aku Perempuan mengurai kisah perempuan yang terlalu ambisius mengejar kepentingan kehidupan sosialnya dengan mengorbankan sisi keperempuanannya. Suad berhasil menggapai nilai tinggi dalam pencapaian popularitas sosialnya, kiprahnya dalam memperjuangkan kepentingan sosial sangatlah besar, namun ongkos yang ia keluarkan tidak murah, kehidupan pribadinya beberapa kali mengalami kegagalan. 

Naluri kewanitaannya yang mengharuskan dia bersikap lembut, mudah diatur, dan dalam tahap yang lebih besar harus menjadi isteri yang taat penuh kepada suami (setidaknya sesuai doktrin yang berkembang di Mesir saat itu), ditentangnya habis-habisan. Bagi Suad, logika itu harus dirubah. Pertimbangan perihal kehendak perempuan seharusnya diiringi dengan rasionalitas yang bijak.

Novel ini menjadi menarik karena sang penulis mampu menghadirkan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan pada paragrafnya yang merupakan gugatan-gugatan Suad atas kondisi yang sedang dihadapinya. Kendati narasi yang disampaikan menurut saya terlalu berlebihan, namun gugatan-gugatan yang disampaikan cukup mengasah nalar kita agar lebih kritis lagi. Bahwa hidup, bagi Suad, bukan soal kepatuhan pada hukum adat semata melainkan perlu ditinjau lagi dari pertimbangan-pertimbangan yang lebih rasional diterima pikiran. 

Buku ini adalah buku tentang perempuan yang ditulis laki-laki. Kendati detail penyajiannya cukup apik dalam mengurai dunia perempuan mungkin akan lebih ciamik lagi jika yang menulis adalah perempuan. Dalam hal ini ini saya lebih mengunggulkan novel perempuan di titik nol karya Nawal El-Sadawi, selain karena dia menulis kisah nyata tentang perempuan dan dunianya, buku tersebut juga ditulis oleh perempuan.

Bintaro, 08 April 2020




0 komentar:

Posting Komentar

Back to top