November 01, 2015 -
Kampus
No comments


Yahya bin Ma'in Tidak Fair Ketika Men-dho'if-kan Imam Abu Hanifah (?)
Mendalami dunia hadis mempunyai keunikan tersendiri. Disamping
signifikansi hadis itu sendiri sebagai sumber pengambilan hukum Islam,
kejelimetan dan lika-liku yang terbentang didalamnya serta manisnya hasil yang
didapat dari pengkajian bidang tersebut menjadikan keberkutatan kita di
dalamnya adalah surga yang tak tertandingi.
Apakah sama pendebatan yang terjadi dalam jarh wa
ta’dil dan gosip?
Pertama-tama kita harus melihat apa yang melatarbelakangi
keduanya. Karena segala sesuatu dalam Islam itu dinilai dari niat yang
melatarbelakanginya. Jarh wa ta’dil, meski keduanya memiliki kesamaan dengan
gosip yakni dalam pengungkapan cacat kepribadian seseorang, namun jarh wa
ta’dil diberlangsungkan demi mengkaji kualitas perawi hadis, yang mana hal
demikian adalah fase penentuan apakah hadis yang sampai kepada kita melalui
perawi-perawi itu otentik dan bisa diamalkan, atau ia bermasalah sehingga harus
kita tinggalkan.
Berbeda dengan gosip, dimana mereka membicarakan cacat pada
diri seseorang hanya untuk menjelek-jelekkan saja, dan pula, apa yang mereka
perbincangkan tidak berbobot sama sekali serta tak memberikan sumbangsih sama
sekali dalam hal perbaikan personal maupun dalam cakupan yang lebih luas.
Yahya bin Ma’in tidak fair ketika melemahkan Imam
Abu Hanifah (?)
Yahya bin Mai’in, sebagaimana dituturkan oleh Dr. Anshor
Bahari, melemahkan Abu Hanifah, salah satu alasannya adalah karena beliau
terlalu mengagungkan akal dalam beragama. Sedang agama dalam praktiknya
haruslah berlandaskan qur’an dan hadis yang teguh.
Sebelumnya, penting untuk diketahui, bahwa Abu Hanifah
adalah seorang pandai lagi bijaksana dalam kajian keIslaman. Pendapatnya yang
bagi sebagian orang cenderung berkesan mendewakan akal adalah hoax. Dalam
menyampaikan ide-ide keagamaannya beliau adalah sosok yang cakap. Sebelum
melahirkan sebuah pendapat terlebih dahulu Qur’an, hadis dan Ijmak ulama beliau
perdalami dengan teliti. Segala macam pertimbangan dari olah pikirnya terkait
sumber-sumber dikerjakannya dengan tidak main-main. Setelah dirasa cukup, ragam
ajaran yang terkandung pada setiap sumber dihimpun dan dikolaborasikan, sehingga
lahirlah pengejawantahan hukum keislaman dari sisi beliau, yang kemudian
menjadi acuan mazhab hanafiyah.
Berbeda dengan Imam Malik yang nota bene pemikirannya
dipengaruhi oleh ahlul atsar masyarakat Makkah, Imam Hanafi adalah sosok
yang hidup di masyarakat kosmopolitan dan multikultural, dengan ratusan aliran
pemikiran yang aktif lalu lalang di dalamnya, yang sudah pasti maka hal
tersebut akan sedikit mengambil alih laju pemikiran Imam Hanafi.
Namun demikian, Imam Hanafi bukanlah sosok yang musda
terbawa arus yang berkembang saat ia hidup, sebagaimana sudah saya singgung di
atas, justru kecerdikan beliau dalam kajian keislaman yang disandingkan dengan
budaya kosmopolitan tempat beliau menarik nafas akan melahirkan sebuah
interpretasi keagamaan yang mampu diterapkan pada wacana kosmopolitan. Dan ini
adalah hal yang istimewa.
Maka atas dasar itu, ungkapan pak Anshor yang mengatakan
bahwa Yahya bin Ma’in tidak fair saat melemahkan Abu Hanifah, bisa ada
benarnya.
PTIQ, 21 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar