November 01, 2015 -
Resensi
No comments


Kubah!
Judul : Kubah
Penulis : Ahmad Tohari
Tebal : 79 Halaman
Penulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, sebelum
menggubah novel eksotisnya itu, telah lebih dahulu membuat uraian kisah yang
begitu menggugah, namanya Kubah.
Novel itu baru saja saya lumat bersama kenikmatan yang
diurai di dalamnya. Novel Kubah sebuah novel berisi tentang perjalanan
seorang bocah lugu asal Pegaten yang melanglangbuana dengan hebat.
Karman namanya. Lahir dari seorang beragama taat, besar di sebuah desa yang
amat menjunjung asas kemanusiaan murni, serta tentram dalam naungan seorang
tokoh agama bernama Haji Bakir. Hidpnya penuh estetika.
Masa kecil yang gembira, disusul dengan masa muda yang
begitu mempesona, alamnya mendidik bahwa bersyukur adalah harta terbesar yang
wajib dimiliki manusia yang hendak menajdi manusia terkaya dunia-akhirat.
Hidupnya hampir dikatakan akan berjalan sempurna bila Margo,
kader partai komunis handal, tidak melirik kepada Karman sebagai harta berharga
bagi partai besutan Karl Marx itu.
Dengan amat halus dan licin, disertai berbagai iming-iming
yang gemerlapan, Karman dari seorang taat beragama, bahkan sampai dianggap
sebagai anak oleh tokoh Agama terkenal di daerahnya, Haji Bakir, digriing
perlahan menjadi penganut setia paham komunis. Kelak, agama disebut sebagai
candu masyarakat yang hanya akan memicu mental keterbelakangan.
Meski tidak berhasil memperoleh Rif’ah, putri Haji Bakir
yang sudah lama ia menaruh jiwa padanya, ia mendapatkan seorang Marni,
perempuan terhormat dan taat memegang agamanya. Meski demikian, meski Marni
adalah orang yang ketat beragama dan Karman sebagai sosok yang telah jauh
berpaham ateis, sejauh kita memandang biduk rumah tangga mereka nyatanya masih
baik-baik saja. Keduanya, meski berbeda paham, tetap berjalan harmonis. Keduanya
sama-sama dewasa dan sama-sama arif memaknai perbedaan.
Hanya saja, pasca 30 September 65 meledak, keadaan Karman
mulai goyang. Ketenangan menjadi barang langka yang bisa didapatkan. Pada 1
Oktober 65, Margo, Triman, Pria bergigi besi, sekawanan yang telah berhasil
menggiring Karman mencicipi ideologi Komunis berhasil dilumpuhkan oleh
pemerintah. Peristiwa berdarah yang menumbangkan pemerintah di Jakarta pada
september 65 mengirim kawan-kawan Karman tersebut ke liang kubur dengan keadaan
amat mengenaskan.
Karman lari dan mengasingkan diri. Ia diam di hutan, hidup
terpecil di dalamnya. Makan-makanan tidak layak dikonsumsi akhirnya ia lahap. Kehausan
adalah kawan pribadinya. Nyamuk dan lengangnya kehidupan adalah saudara yang ia
jumpai pada masa-masa seperti itu.
Dalam perihal semacam itu, terjadi dialog internal antara
dia dengan hatinya. Pada saat itu, tak akan ada yang berdusta, semua akan jujur
merasa. Ia mengaku, bahwa ia ternyata telah jauh tersesat dari jalan yang
direstui semesta. Terkenang dalam benaknya keluarga yang ia tinggalkan
dibiarkan kespeian. Pedesaan yang asri dan diisi oleh orang-orang lugu namun
begitu menjunjung tinggi asas kemanusiaan.
Hidup terlunta-lunta. Terjerang penyakit. Badanya ringkih
keadaannya begitu memilukan. Saat dalam keadaan demikian ia mencba tampak ke
permukaan. Amat disayangkan, bagai tengah menunggu santapan, pihak berwenang
yang menyaksikan segera meringkusnya.
Karman, atas restu undang-undang pemerintahan yang sah saat
itu, digelandang ke rumah tahanan demi menjadi pesakitan. Ulah yang digagas
oleh Karman dan Margo serta beberapa karibnya telah memciu kegeraman yan sangat
dalam benak pemerintah. Mereka menuntut. Karman harus membayar. Demikian
pahitnya hidup sebagai pesakitan, ia terpaksa menahan sembilu sebagai tahanan
selama 12 tahun.
Setelah bebas, ia kembali ke Pegaten. Istrinya, Marni, sudah
bersama orang lain, Parta. Pegaten dengan hebatnya masih seperti sediakala. Lugu
dan berwibawa. Karman bangga karena Pegaten masih seperti dulu, mudah memaafkan
kesalahan orang lain dan tidak berbakat untuk memendam kesumat. Karman segera
melebur dan warga Pegaten menyambutnya dengan lapang dada.
Anak keduanya, Tini, dilamar oleh Jabir, anak dari Syarifah
binti Haj Bakir, sosok yang dahulu Karman pernah berjuang mati-matian merengkuh
cintanya. Tak lama kemudian, hari pernikahan segera dirundingkan. Karman akan
berbesan dengan Haji Bakir, yang dulu saat ia terbelenggu dengan paham komunis,
Haji Karman adalah sosok nomor satu yang dimushinya.
Masjid Haji Bakir sudah mulai menua sebagaimana pemiliknya. Atas
sasmita alam dan tanpa harus membentuk panitia, masjid segera diperbaiki oleh
banyak orang. Semua bahu-membahu memperbaiki rumah ibadah yang juga merupakan
lembaga penentram jiwa manusia. Semua sibuk dengan kecakapan masing-masing.
Dan Karman, ia mendapat tugas mulia sebagai pembuat Kubah
Masjid. Berbekal hasil pelatihannya saat di rumah tahanan dalam membuat kubah,
maka ia bergerak mewujudkan peneylesaian tugas.
Kesempurnaan teknik, keindahan estetika, pengelasan besi
dengan saksama, ketekunan serta pencurahan jiwa yang berkumpul menjadi satu
melahirkan kubah yang gagah nan mempesona. Pada leher kubah digurat teralis. Berisi
empat ayat terakhir surat al-Fajr: Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dalam keadaan ridho, masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku, dan
masuklah surgaku.
Kubah itu dihujani pujian. Kubah itu bukan sekedar benda
mati yang terpancang di atap masjid. Kubah itu adalah perlambang bahwa Karman
telah kembali ke jalan yang benar. Jalan yang senantiasa dicintai Tuhan. Kubah
yang ia gubah akan terus menjadi saksi bahwa ternyata kehidupan yang
meneteramkan dan menyuguhkan kebahagiaan abadi ternyata amat akrab dengan diri
dan kampung halamannya.
Kubah! (Ciputat, 01 November 2015)
0 komentar:
Posting Komentar