November 01, 2015 -
Renungan
No comments


Dzikir Itu Menenangkan
Berdzikir, mengingat Sang Pencipta adalah aktivitas
yang diegalkan Tuhan dalam meraih ketentraman. Hati, segumpal darah yang
melekat dalam diri manusia adalah ketidakpastian keadaan. Di satu saat kita
senang dan gembira, di saat yang lain hati berubah warna menjadi luka dan duka.
Padahal, hatilah yang menjadi barometer ketenangan hidup seseorang. Jika hati
telah baik maka semua akan baik. Jika hati berwarna kelabu, maka tindak-tanduk
kepribadian seseorang bisa dipastikan keruh.
Dinamika kehidupan yang selalu berubah tiap waktunya
juga kerap mempengaruhi stabilitas hati. di saat kita memenangi perlombaan, berhasil
menggapai harapan, atau berjumpa dengan belahan jiwa, maka hal demikian akan
mempermanis kondisi hati. juga sebaliknya, di saat apa yang telah kita
canangkan menemui kegagalan, alam seakan berkonspirasi untuk memupuskan harapan
yang kita tanam, maka saat itu juga hati akan menyusut perlahan menuju
keburaman.
Firman Allah yang mengurai prinsip mengapai kebahagiaan
(Q. 13:28) merupakan hadiah terbesar yang bisa kita dekap. Tuhan Maha Mengerti
tentang kejungkir-balikkan perasaan yang dirasai oleh semua makhluk yang
mengandung jiwa. Seperti sebuah kodrat Tuhan yang mutlak tak bisa dtumbangkan,
demikian ayat ini memberi pencerahan kepada manusia bagaimana kiat menandaskan
kegundahan.
Mengingat Allah yakni mensyukuri penganugerahannya
dalam bentuk mengejawantahkan nikmat-nikmat yang Allah curahkan sesuai dengan
kehendak sang pemberi nikmat. Menaruh kepercayaan dengan penuh bahwa Allah tak
akan menelantarkan hamba-Nya. Serta membubuhkan keyakinan dalam hati bahwa
Allah tidak akan menghendaki sesuatupun kepada manusia melainkan tersimpan
hikmah kemasalahatan.
Wahai, bukankah hanya dengan mengingat Allah hati
akan menjadi tenang?
Kalau sudah demikian apalagi yang mesti
dikhawatirkan. Deru kehidupan yang tak menentu. Yang bahagia dan sembilu
bersatu padu di dalamnya. Jika dikembalikan kepada koridor pemahaman yang
sehat, ditalikan dengan dzikir kepada Allah, maka akan melahirkan ketenangan tiada
tara.
Bersyukur mengubah orang yang miskin menjadi kaya,
membuat kekurangan menjadi kecukupan. Di saat yang lain gagah mengendarai lamborghini dia masih bersyukur
menunggangi motor Legenda tahun 96. Pikirnya sederhana, yang penting adalah
kita sama-sama bisa tiba ke lokasi tujuan dengan selamat, apalagi perjumpaanya
dengan orang yang lumpuh kakinya membuat dia semakin kencang mengucap terima
kasih kepada Tuhan karena kedua kakinya masih sempurna. Tak harus
tertatih-tatih atau bahkan terhuyung dalam berjalan itu saja merupakan surga
yang dihadiahkan kepadanya dengan harga cuma-cuma.
Lagi, kondisi Jakarta yang mengharuskan kendaraan
besar mendapat giliran terakhir menerobos kemacetan pun adalah nilai plus
tersendiri. Alhasil, dalam realitanya seorang pengendara Legenda mampu lebih
cepat tiba di lokasi lantaran tubuh ringkihnya yang memudahkan ia menyibak
desak kendaraan, ketimbang Lamborghini, yang justru dengan tubuh perkasanya, ia
malah tersendat untuk sekedar menerabas kerumunan roda empat yang mengular
tiada akhir.
Berprasangka baik kepada Allah, meyakini betul bahwa
Allah tak akan menyepelekan pengadian dan kebaikan yang dilakukan seorang hamba
kepada-Nya, juga merupakan kiat jitu menyonsgong ketenteraman. Selalu tersirat
hikmah atas apa yang Dia kehendaki.
Berbuat baik kepada sesama, menghormati yang lebih
tua dan mengasihi yang lebih muda, membahagiakan anak yatim, mensejahterakan
tetangga, serta menghiasi wajah dengan senyuman kepada siapapun ia berjumpa. Dihargai
atau tidak, ditanggapi atau tidak, dipuji atau bahkan dicela sekalipun, hati
yang ikhlas tak akan memusingkannya. Hemat kata, kita bekerja untuk Allah dan
hanya Dia yang memiliki otoritas menilai amal kita.
Sekali lagi, melanggengkan dzikrulllah, mensyukuri
nikmat-Nya, dan memupuk prasangka baik atas kehendak-Nya adalah sasmita paling
sah yang mampu mengundang ketenteraman dalam berkehidupan.
Ciputat,
29 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar