November 01, 2015 -
No comments


Makna di Balik Sabtu
Hari Sabtu hari yang amat berkesan pada setiap
minggunya. Karena pada hari ini saya berkesempatan pulang ke rumah, bertemu
dengan orang tua, bercanda dengan tetangga, menyapa sanak saudara, di saat saya
tengah sibuk menjalankan aktivitas belajar di Pesantren Darus-Sunnah yang
berlokasi di Ciputat. Kira-kira setengah jam dari rumah. J
Biasanya saya berangkat dari Pesantren menuju
rumah tidak lama setelah halaqoh fajriyah di Pondok tuntas dilaksanakan,
yakni sekitar jam 7 pagi-an saya cusss… go Bintaro. Dalam hitungan menit tampak seorang
pengendara Legenda 96’an yang bertubuh agak kurus melesat bersama The Legend
yang tengah ditungganginya di ruas jalan CIputat-Bintaro dengan kecepatan yang
terkadang biasa terkadang cepat tak terbahasakan.
Tidak ada yang perlu dirisaukan dari seorang
mahasiswa yang pada zaman sekarang (2015) masih berkendarakan Legenda. Tidak
usah diperkarakan. Asal kita bersyukur atas apa yang kita miliki, Allah akan
berikan ketenangan yang begitu berpengaruh pada kelanggengan hidup kita. Legenda,
motor tua yang katanya sudah lapuk usang dibuat gaya, jika sang pengendara
bersyukur, maka ia akan sejiwa dengan yang ditunggangi. Dan jika sudah sama
sejiwa, seia-sekata, apalagi yang mesti digalaukan. Menaikinya dengan ikhlas
melebihi nikmatnya naik Vixion namun diliput keresahan. Sekilas tentang
Legenda.
Tiba di rumah memberi salam kepada keluarga,
menyalami satu persatu orang di dalamnya, menciumi tangan sepuh, ambil minuman
dingin nan segar yang tersuguh di kulkas, dan mari duduk bersama tuangkan
kisah-kisah manis kehidupan. Saling berbagi cerita, saling berbagi pandangan
hidup, yang tua memberi petuah bijak perihal kiat jitu menyikapi kehidupan,
yang muda diam menyimak undang-undang serta kode etik yang mesti dicengkeram
saat menapaki kehidupan. Indah, bukan?
Demikianlah rahasia-rahasia yang terkandung
dalam suatu hari bernama Sabtu. Penat bergaul bersama teman di asrama, mari
pulang jaga rumah dan hidupkan warung ala kadarnya. Pusing berkutat dengan
tugas-tugas di Pondok maupun kampus, mari pulang ke rumah, mengais wejangan
berenergi magis olahan orang tua. Kesulitan menjalani kehidupan, banyak
rintangan yang mesti diusaikan namun otak serasa buntu tiada jalan, monggo
pulang, cari ketenteraman dalam bilik-bilik do’a orang tua.
Mari, pulang!
Sebenarnya sungkan dan berat di perasaan jika
pada saat orang tua sudah sepuh dan tengah mengurusi banyak hal dtinggal
sendirian. Saya anak muda yang memiliki kebugaran berkerja. Saya anak muda yang
memiliki nalar lebih tajam
dari orang tua. Saya belum tua yang tubuh masih sempurna, daya masih raksasa
dan pola pikir lebih menukik ke angkasa. Seharusnya saya membantu mereka,
menemani masa senja dengan membantu atau sekadar menyimak kisah-kisah masa
silamnya.
Tapi Tuhan berkehendak lain.
Diizinkannya saya oleh orang tua saya untuk menuntut ilmu dengan
sebaik-baiknya. Hidup ini keras dan penuh perjuangan yang berliku. Tak ada
senjata yang lebih ampuh untuk mengatasi perihnya hidup melainkan dengan ilmu
yang sudah kita dapatkan. Seorang ulama berkata, “Barangsiapa yang ingin
bahagia di dunia maka harus dengan ilmu.” Kebodohan adalah puncak kenestapaan.
Seorang yang tak berpengetahuan akan dihantui kemelaratan. Bukan hanya pada
tataran material hidup, soal pandangan hidup, orang yang tak berilmu juga kerap
dibalut keresahan sepanjang hidupnya.
“Belajarlah yang serius, pintarkan diri, reguk
hikmah sebanyak mungkin, berguru kepada alam terkembang!” Sarannya kepada saya.
Sebagai konsukensi dari ini saya jadi jarang
dirumah. Bapak yang tinggal dirumah ditemani ibu dan terkadang sanak saudara,
namun lebih sering sendirianlant Menata galon, menggantang beras, belanja ke agen,
mengajar anak-anak, dan lain sebagainya.
Hal ini kemudian yang membuat
saya semangat belajar di Darus-Sunnah. Biar orang anggap saya keranjingan belajar,
intinya hal itu belumlah mampu menyeimbangi perjuangan yang orangtua saya
lakukan demi saya. Hal ini yang kemudian membakar ghirah saya untuk terus belajar dan belajar, merajut
karya dan meluluhlantakkan kemalasan.
Nah, Sabtu-lah yang menjadi ajang
saya melampiaskan rasa keberatan saya meninggalkan orang tua karena belajar di
pondok. Saat saya menginjakkan kaki di rumah, saya akan bekerja sekeras mungkin
demi membantu orang tua menjaga warung dan lain sebagainya. Sekalian ini
sebagai refreshing atas rutinitas yang membosankan. Sekaligus ini
sebagai alat mempertajam nalar bisnis dalam jiwa saya.
“Hidup laksana melakoni
perniagaan, untung rugi harus diperhitungkan dengan serinci-rincinya, pasak
tidak boleh lebih unggul daripada tiang. Harus ada perkembangan pemasukan. Soal
penghematan hidup, ia adalah kriterium yang wajib digenggam oleh bakal calon
pengusaha sukses!”
Rumah, Sabtu, 10 Oktober 2015
0 komentar:
Posting Komentar