September 15, 2015 -
No comments


Logika dan Riuh Pembahasan Jenggot
Logika adalah kaidah-kaidah yang membantu kita menata
aktivitas berpikir. Logika yang jika di-Arab-kan menjadi mantiq. Mantiq
adalah masdar mim dari kata kerja natoqho-yanthiqu, yang
bermakna berbicara.
Apa relasinya? Logika yakni keterapilan mengatur laju
pembicaraan seseorang yang mana itu adalah representasi dari ide-ide yang
menggumpal di alam pemikiran. Maka seorang yang logis adalah mereka yang mampu
berpikir bagus serta mampu mneuangkan ide tersbeut ke dalam pembicaraan dengan
runut dan teratur. Demikian ungkap Ust Rozi, salah seorang dosen Ilmu Logika di
Institut PTIQ Jakarta.
Seorang yang bergelut dengan logika akan paham kemana
konteks berjalan. Dengan self wisdom yang ia miliki ia bisa memahamkan kepada
orang lain ide-ide pemikiran yang terbetik dalam benaknya. Dengan kata lain,
seorang yang logis mampu untuk mengkontekstualisasikan ide dan buah pikirannya
kepada khalayak dengan jelas dan terarah.
Termasuk di dalamnya mengurus masalah penulisan. Semua
manusia, tanpa terkecuali, yang ingin menginginkan laju tulisannya mengalir dan
terarah maka ia wajib untuk menguras lebih dalam khazanah logika, untuk
kemudian disandingkan dengan ilmu menulis yang dia punya.
Diam-diam saya membaca beberapa tips dan kiat menulis dari
para pakar, secara garis besar dan hampir mereka sepakat bahwa rukun yang harus
dipenuhi dalam hal tulis menulis adalah terstruktunya uraian yang kita gubah
dalam tulisan. Seorang penulis yang baik adalah yang mampu menata jalan (plot)
penulisan, semisal jika ia berkutat dalam bidang karya ilmiah, maka alur
tulisan yang dimulai melalui pembukaan, isi, kesimpulan lalu penutup adalah hal
yang mutlak diperlukan. Dan lain sebagainya, disesuaikan dengan konteks bidang
apa yang tengah ia geluti.
Masih berbicara tentang logika. Menanggapi peristiwa yang
tengah merebak dewasa ini. Tentang pernyataan KH. Said Siradj yang dalam
pidatonya mengungkapkan, “Semakin panjang jenggot seseorang, maka akan semakin
goblok.” Ulil Abshar, salah seorang tokoh JIL, sampai-sampai membuat satu
tulisan khusus di www.islamlib.com (14
Sep 15) dengan judul “Umat Islam, Jenggot dan Humor,” yang dalam isinya
diuraikan bahwa kata-kata bernada pedas yang diungkapkan oleh ketua umum PBNU
itu adalah guyonan semata.
Kenali dahulu bagaimana sosok Said Siradj jika sudah
berbicara masalah Wahabi. Ghirahnya dalam membentengi akidah NU begitu kuat
sehingga kerapkali hal itu tampil dala bentuk memerangi gerakan yang bersentral
di Saudi Arabia lantaran praktik-praktik ibadah NU sering dijadikan
bulan-bulanan oleh pihak Wahabi.
Pahami sebelumnya konteks yang melatarbelakangi perkataan
Said Siradj tersebut. Hal ini, lanjut Cak Ulil, panggilan akrab Ulil Abshar
Abdallah, adalah ungkap kegerahan Said Siradj dalam memandang kaum Wahabi. Nabi
memang menganjurkan umatnya agar memanjangkan jenggot, tapi tidak sampai
membuat kampanye bahwa seluruh dunia harus berjenggot. Jenggot adalah corak
budaya Arab yang saat itu mungkin berfungsi membedakan mana orang Arab yang
muslim dan mana orang kafir non-Arab yang tidak berjenggot. Tidak lebih.
Namun, ada hal yang lebih penting yang bahkan wajib diimiliki
oleh umat Islam, yakni akhlaqul karimah. Dalam konteks kekinian, cukuplah
seorang muslim itu adalah mereka yang memagang kuat-kuat ajaran agama serta
berakhlaqul karimah. Tanpa perlu berjenggot panjang-panjang insya Allah kita
pun mampu menjadi hamba-Nya yang berkualitas. Percuma pula, jika kita
memanjangkan jenggot namun masih gemar untuk mengkafirkan sesama muslim bersikap
ekslusif dalam menghadapi perbedaan pendapat di luar kelompoknya. J
Jadi, ungkapan yang dikeluarkan oleh Said Siradj memang
tidak logis. Mana ada relevansi antara jenggot dan kadar kecerdasan seseorang. Dan,
adakah data yang menguak fakta demikian. Logis? Tidak. Tapi mari resapi konteks
yang melatarbelakanginya.
Ust. Razi, dosen ilmu Logika di PTIQ Jakarta mengutarakan,
bahwa alasan Said Siradj mengapa begitu geramnya atas tingkah Wahabi dewasa ini,
padahal ia adalah lulusan salah satu Universitas di Saudi Arabi, Ummul Qura, adalah
sebagai bentuk pelampiasan dendam. Bertahun-tahun ia saat belajar di Saudi
Arabia, meski berjenggot pula tentunya, ia harus menukar kepercayaan yang
mendekam dalam hatinya demi sebuah beasiswa pendidikan yang ia nikmati. Ia memang
menimba ilmu disana, namun dalam diamnya Said Siradj juga memupuk
ketidaksependapatannya dengan otoritas pemikiran yang tangah berkembang disana.
Pemahaman Wahabi.
Jadi, saat ini beliau bagai seorang yang bebas dari sebuah
tekanan, merdeka dan balik menyerang apa yang dulu mengintimadisinya. Bagai burung
lepas yang terbang sesuka hati di angkasa raya. Dia bebas berkicau sekehendak
hati. Lanjut Ust. Razi.
Pak Anshor Bahari, dosen Studi Naskah Hadis di PTIQ Jakarta
juga mengatakan, “Orang yang memiliki jenggot ada dua kemungkinan. Entah
jenggot ia miliki itu hanya sebatas style semata, entah itu adalah
identitas ideologis.” Nah, anda pilih yang mana? Lanjutnya.
Perpus PTIQ, 16 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar