September 14, 2015 -
No comments


Listen Me, Sad!
Seorang
teman mengeluh kepadaku bahwa menulis baginya amatlah berat. Menuangkan gagasan
yang ada di kepala ke dalam guratan pena terasa sukar, seakan ada sempalan yang
menyumbat jalur pendistribusian ide ke dalam bentuk tulisan.
So, listen
me, As’ad. Ini bukanlah soal hasil yang langsung tiba begitu saja. Ini adalah
keahlian yang untuk mewujudkannya membutuhkan waktu latihan yang konsisten dan
semangat yang harus selalu dijaga. Tidak bisa instant untuk bisa melahirkan
olah kata yang gegar membahana! Butuh perjuangan berdarah-darah untuk mampu mahir
dalam menulis.
Menulislah
minimal dalam sehari satu halaman word. Tidak usah melebihi itu, sedemikian
cukup asal diiringi konsistensi yang tangguh. Asal istiqomah, perlahan-perlahan
menyusuri khazanah jurnalistik dengan teliti dan saksama, pahami geliat dan
kode etik yang terkandung di dalamnya, baca secara jeli, nanti lama-lama akan
bisa.
Saya
bukanlah penulis yang handal, yang karyanya mampu meledakkan emosi pembaca,
yang gubahan tintanya bisa mengaduk rasa di batin penikmat kata. Saya bukan
golongan mereka. Namun, karena saya mencintai mereka, maka saya mulai mengikuti
jejak yang mereka torehkan sedikit demi sedikit. Saya mulai mencoba menuliskan
apa yang tengah bergejolak di hati, apa yang saya dapati dari bacaan atau
ceramah yang saya raih sedari pagi hingga malam menunjukkan batang hidungnya. Semua
saya tulis. Semua coba saya abadikan ke dalam figura aksara.
Menjadi
tenar seperti mereka bukanlah tujuan utama. Intinya saya bisa ikut menghadirkan
jiwa saat menulis, sebagaimana tokoh-tokoh idaman saya rasakan, maka itu sudah
menjadi bagian yang terindah dari potongan hidup yang tengah saya jalani.
Jadi
menulis adalah soal kebahagiaan. Tanamkan komitmen ini kuat-kuat dalam hati.
Hunjamkan prinsip ini ke dalam jiwa dengan erat, kemudian menulislah. Tak perlu
dengan suasana berdiam di atas bebatuan di tengah sungai yang dikitari gemercik
suara air jernih pegunungan dengan ditingkahi angin sepoi yang berhembus
perlahan nan menyejukkan untuk bisa menulis. Jika kita sudah komitmen, maka
menulis di kamar, di dapur, di tempat perbelanjaan, di perjalanan, bahkan di
kamar mandi sekalipun kalau sempat, maka dengan sigap kita mampu mengerahkan
pikiran untuk menulis.
Saat sedih
atau senang. Saat disambar duka atau dipeluk bahagia. Kita akan tetap menulis.
Menyajikan hidangan intelektual yang berharga kepda khalayak dunia. Dengannya
kita telah menyumbang pundi-pundi yang bisa menjadi bagian konstruksi peradaban
sejarah manusia.
Semuanya
butuh pengorbanan. Semuanya butuh perjuangan. Semuanya butuh peluh dan penat
yang berkepanjangan. Intinya tidak ada yang bisa diraih dengan segera tanpa
melalui keringat yang diperas, tenaga yang digelontorkan, atau pikiran yang
dikuras.
Ada tipe
orang yang gemar membaca namun jarang memahat kata. Maka konsekuensinya adalah
illmunya kelak akan mudah hilang saat ia menghilang dari kehidupan. Memang ia
telah banyak mentrasfer ilmu kepada muridnya, namun saat murdnya telah tiada,
ilmu itu akan melebur dan memudar seiring perkembangan zaman. Ia pula akan
kelelahan untuk mengulang-ulang isi ceramah pengajaran kepada muridnya. Hal
demikian tidak terjadi jika ia mensingkronkan keduanya. Ia rajin membaca, gemar
meneguk makna dari peprustakaan, lalu ia representasikan ide pemikirannya ke
dalam bentuk tulisan. Ia tuangkan menjadi ide yang akan dibaca khalayak luas,
dan tidak terkubur bersamaan dengan dirinya yang hendak berkalang tanah.
Maka, baca
dan menulislah. Belajar dan ajarilah manusia dengan tulisan yang anda telurkan!
Anda akan bahagia!
Darus-Sunnah,
12 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar