Agustus 06, 2015 -
No comments


Mengurai Arti Perpisahan Untuk Santri Serta Perbedaan Sistem Pondok Dengan Non-Pondok (Hanya Hipotesa, Berpeluang Untuk Disanggah)
Hari Senin tanggal 27 Juli 2015 pukul 14.00, terompet kereta
bersipongang menyibak udara di staisun Senen, tempat beberapa anak muda resmi
berpisah dengan pihak keluarga yang mengantar. Menandakan bahwa masa liburan
pondok pesantren telah usai dan sebentar lagi akan menyusuri kembali aktivitas
pendidikan di almamater tercinta di seberang pulau Madura sana.
Akrom, Bahru, Nafi, Kholil dan Keluarga serentak telah duduk
manis di rangkaian kereta yang akan mengantarnya menuju tempat tujuan Surabaya
Pasar Turi. Kemudian dilanjutkan dengan naik Bus AKAS menuju tujuan akhir,
Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura.
Peristiwa semacam ini bagi santri lama, selain kholil dan
keluarga, bukanlah hal yang mengejutkan, karena tak lama lagi akan terkeruk
jarak yang memisahkan mereka dengan kawan maupun keluarga yang terkasih.
_____________________________________________________________________
Oleh sebab mereka sudah terbiasa dengan perpisahan bersama
orang-orang tercinta, maka jadilah para santri-santri yang jika tiba masa
liburan harus berpisah dengan keluarga tersayang, sebagai sosok-sosok yang
tangguh menghadapi perpisahan. Secara sadar mereka mengamalkan prinsip bahwa
setiap pertemuan akan ada perpisahan. Dan kita wajib untuk berlapang hati
menerimanya. Demikian apa yang kita saksikan di atas dunia ini, semuanya hadir
lalu pergi kembalik, datang dan datang dan hilang silih berganti. Karena
sejatinya, tak ada yang kekal sesuatu yang mendekam di antara Timur tempat
matahari terbit dan Barat tempat matahari mebenamkan diri.
Bukan hanya itu, para santri juga sanggup untuk menjalin
komunikasi yang luas antar teman yang berasal dari berbagai daerah dengan
masing-masing memiliki adat yang beragam. Kederhanaan yang mereka jalani setiap
harinya di pondok juga secara bertahap mampu mencetak pribadi yang tangguh di
tengah maraknya corak-corak materialistis menghinggapi wajah keidupan
post-modern ini.
Bisa dibuktikan, siapa yang memang menseriusi segala macam
filosofi kegiatan di pondok-pondok tempat pencari ilmu melimpahkan ekspresi
keilmuannya, maka ia akan terbangun dan sadar bahwa sistem yang diterapkan di
tempatnya adalah sistem yang jauh lebih produktif dibanding sistem yang dipakai
oleh lembaga-lembga pendidikan luar pesantren.
Dalam menggerakkan roda pendidikan salah satu yang paling
penting yang menjadi penunjang kesusksesan jalannya proses pendidikan itu
sendiri adalah perhatian yang maksimal dari sang pendidik kepada murid didik. Controling
dari lembaga pendidikan kepada siswa terdidik.
Jika mau dibandingkan, antara sistem pondok dengan sistem
non pondok, terkait sistem controling pada lembaga pendidikan, maka
sistem yang diberlakukan di pondok jauh lebih mengena.
Terhitung dari bangun tidur, hingga terlelap kembali, pondok
dengan tenaga pendidiknya yang tulus dan dalam jumlah yang tidak main-main,
laksana taman ilmu yang selalu ramai dan kental aroma persaingan menciptakan
kebaikan. Aktivitas yang dilakukan oleh para santri dipantau oleh badan
penanggungjawab yang bertugas secara bergantian selama seharian penuh.
Jadi, bukan hanya di kelas para santri dinilai aktif atau
tidaknya mengikuti proses belajar mengajar, lebih dari itu, saat mereka
berinteraksi dengan teman maupun kakak kelas, saat mereka pergi makan ke
dapur-dapur, saat mereka pergi ke masjid melakukan ibadah, bahkan saat mereka
berada di asrama bersama teman dan para pengurusnya sekalipun akan ada laporan
pertanggunjawaban terkait siswa didik yang bakal diserahkan ke lembaga
pendidikan yang berkerja. Untuk dinilai dan didiskusikan.
Yang bahkan, jika ada seorang siswa pintar di kelas, namun
ia memiliki cacat moral dalam keseharian, maka kesuskesan sebagai siswa didik
bisa dipertimbangkan dengan moral menjadi tinjauan utama. Akhlak mampu
menandingi kapasitas otak dalam otoritas penilaian pribadi di mata sistem
pondok.
Hal ini tentunya berbeda dengan apa yang didapatkan pada
sistem pendidikan di luar pondok. Dimana nilai hasil di kelas (yang mana itu
juga terkadang berkat belas kasih dari pihak penyelenggara ujian) terkadang
mampu meruntuhkan mulianya akhlak yang dibangun siswa. Controling hanya
berlaku saat di kelas, karena bagi mereka, setelah siswa pergi beranjak
meninggalkan gerbang kelas itulah tugas tanggungjawab tiada, telah pindah ke
orang tua.
Dan masih banyak lagi, dan bahkan yang paling penting,
keikhlasan pengabdian dan ketulusan perjuangan pengajar patut di pertanyakan. Yang
padahal, ruh pendidikan (ruh al mudarris) yang berintegritas itu lebih
baik dari sekedar keproduktifan pendidik saat menyampaikan pesan pendidikannya,
metode yang dipakai, atau materi yang disampaikan kepada siswa sekalipun.
Maka kembali ke awal, sistem yang baik tentu akan menempa
alumus yang baik. Dan sebaliknya. Hidup ada pilihan, maka pilihlah yang terbaik
buat orang tercinta di samping anda.
Dan, oh iya. Perlu ditekan bahwa tidak semua sistem
pendidikan di pondok itu sebaik apa yang saya gambarkan di atas. Dan saya
tegaskan pula bahwa tidak semu pendidikan di luar pondok se-tidak baik apa yang
saya paparkan. Saya hanya menggambil anggapan umum, ini adalah opini publik
sementara yang bisa saya rangkum
Warung Berkah, Senin 27 Juli
2015, 17:00.
0 komentar:
Posting Komentar