Agustus 27, 2015 -
Motivasi
No comments


Lagi, Cuap-Cuap Terkait Kopi! :)
Kutemani pagi ini dengan secangkir kopi. Kopi katanya mampu
menumbuhkan inspirasi, kopi penuh kejutan, kopi sarat ide yang menyegarkan! Mengawali
aktivitas dengan sesuatu yang bisa menguak cakrawala pemikiran. Agar tidak
jenuh dan buntu pikiran, teguklah kopi. Terserah mau yang jenis apa, robusta,
coffelate, dan lain-lainnya, intinya mengopi. Cerahkan diri dengan
mengkhidmati setiap tetes yang tersaji dalam segelas kopi. Nikmati!
Tuhan, sudah sampai tiga mentari yang hilir mudik menemani
langkahku, dan aku tengah mendera pilek serta batuk berdahak. Tuhan, sembuhkan
aku. Mulai dari suara yang tersedak lantaran gumpalan-gumpalan dahak mendekam
di tenggorokan, hingga bulir-bulir berwarna hijau yang mengalir dari
dalam hidung membuat badan tak lagi performa sebagaimana sedia kala.
Mulai dari dari Vicks Formula sirup yang rasasnya
manis-pahit dibalut rasa mint, menghirup Vicks Inhaler yang pedas
namun menyegarkan, hingga menenggak obat Decolgen yang pahit ketulungan
jika cara minumnya sambil disesap perlahan (tapi untungnya tidak demikian, saya
lebih memilih dengan cara memasukkan obat ke mulut lalu tenggak air putih
sebagai pendorong obat menuju lubang tenggorokkan, meluncur ke dalam, siap
membumihanguskan segala bakteri yang menyerang).
Demikianlah. Seorang yang dijangkit penyakit radang tak
banyak yang bisa dilakukan. Bersuara tak boleh banyak-banyak, karena itu hanya
menyiksa diri saja. Es, Gorengan, Pedas berlebihan, adalah hal-hal yang telah
dipuasakan bagi saya selama berstatus sebagai pesakitan. Betapa mahal
dan pentingnya sehat. Sehingga saat ia lenyap dri kehidupan, begitu pilu
terasa. Saat sehat, harta yang paling berharga manusia, raib, maka sisalah
sembilu yang menikam dada. Makanya, kalau sehat dijaga! J
Selain rutin mengonsumsi obat-obatan, membiasakan diri
dengan meneguk minuman hangat adalah hal yang sunnah dilakukan. Dengan
minuman hangat yang kita teguk diharapkan jelaga-jelaga hijau yang
mengotori tenggorokkan lumer dan membuat pernafasan segera rapih kembali. Minuman
hangat yang mimiliki esensi kehangatan sejati, perspektif saya, adalah Jahe
Panas Dicampur Gula Merah.
Kemarin, Sabtu (22/08/15), saya berkunjung ke rumah BU Yaya,
murid ngaji di daerah Pondok Betung, untuk mengajar. Seusai mengajar, saya
sempatkan mencurahkan isi hati saya speutar penyakit yang saya rasa belakangan
ini. Beliau memberi saya petuah yang begitu banyak, dan semuanya bermanfaat. Salah
satu petuah yang dipersembahkan demi kesehatan saya adalah jangan dulu meminum
minuman kemasan dalam bentuk es. Beliau menyarankan agar mengonsumsi yang
hangat-hangat saja.
Saya tanyakan bagaimana dengan Jahe? Beliau menjawab,
Iya itu bagus, kondusif untuk meredam ganasnya radang. Jahe Kemasan?
Beliau menyentak dengan jawaban Tidak! Tidak dengan jahe yang berbentuk
kemasan, itu sudah berintegrasi dengan gula serta pengawet yang tak beraturan,
katanya. Tidak bagus untuk radang, minumlah yang murni jahe, jahe mentah yang
ditumbuk lalu direbus dengan air panas, itu lebih mujarab dan menambah
kehangatan! Lanjutnya, sambil kemudian saya menutup perbincangan.
Ahad, (23/08/15), pada sore menjelang Maghrib, saya dengan Idham,
mahasantri Darus-Sunnah semester 5 berperawakan agak gemuk, mendudukkan pantat
di atas kursi di warung remang-remang di pingggir jalan daerah Legoso. Warung
yang berlampukan Philips berpancarkan cahaya orange kekuning-kuningan itu
menyajikan Wedang Jahe, Kopi Hangat, Teh Hangat, Sego Kucing, Kepingan
Bakso/Otak-Otak/Usus/Ati yang telah ditusuk lidi, Tempe/Tahu Bacem, dan
lain sebagainya.
Saya pesan Jahe Panas Dengan Gula Merah, Idham pesan Jahe
Panas Dengan Tumpahan Susu Kental Putih. Kami mulai diskusi ringan.
Membicarakan geliat kehidupan yang selalu ada masalah demi masalah berkelindan.
Membincangkan gelinjang politik yang kian menghambur tak tentu arah,
terlunta-lunta tak keruan. Mengobroli perempuan dengan sejuta misteri yang
terkandung di dalamnya. Merayu radang agar kiranya hengkang dari tenggorokan. Membujuk
Batuk serta pilek agar lenyap dari tubuh yang telah rapuh ini. Enyahlah
Engkau!
Genap sudah karakter tanpa spasi yang saya ketik berjumlah
3511. Ini semua ulah kopi yang saya seduh, warnanya yang coklat dikawani bubuk
hitam Choco Granule, telah mendorong saya menggubah kata-kata. Jujur,
kekuatan saya untuk menulis agak sedikit menuai kemerosotan, ada dekadensi
semangat yang menyerang diri saya, maka saya hempaskan penyakit itu dengan
membuka word dan ditemami genangan kopi. Semoga saja ide dan buah
pikiran yang membeludak bisa tersalurkan karena tuangan kopi yang saya seruput,
kiranya ia menjadi pelumas otak, pemacu kreasi, pembabat kebuntuan kreativitas.
Lalu huruf demi huruf beranjak melompat keluar ke atas kertas yang sengaja
dibentang. Mengalir perlahan membuat kalimat. Bermuara menjadi pola paradigma
yang cukup memiliki signifikansi makna.
Saya berangan menciptakan sebuah buku. Buku, yang menurut
pepatah adalah teman duduk terbaik yang pernah kita jumpai. Buku, yang juga merupakan guru yang pandai menasihati
tanpa ada kesan menggurui. Kita terlahir dengan daftar bacaan yang sampai kita
menhembuskan nafas terakhir pun kita tak akan menyelesaikannya, demikian kata
Maud Casey, seorang bijak bestari yang bunga rampainya saya temukan pada DP BBM
kawan-kawan. Maka, landasan menuju manusia berkualitas adalah membaca. Iqra!
Bacalah! Demikian Tuhan memulai wahyu-Nya, yang kelak akan membawa manusia
padang pasir sebagai penguasa dunia!
Saya telah banyak berteman dengan buku-buku, dan itu
menyegarkan pandangan. Betapa ilmu & pengetahuan yang kita serap dari
kata-kata yang disajikan pada lembaran yang kita baca telah memicu peradaban
gemilang dalam diri kita. ribuan lembar dari pustaka yang kita baca akan
menciptakan mentari yang sinarnya mampu menumpas kegelapan. Intinya, membaca,
berteman dengan buku, adalah laksana memacari wanita yang pintar, salehah,
jelita, dan berbagai keistimewaan lainnya, yang bisa membuat kita tenggelam,
terpesona dengan rupa yang ditampilkan, terpana dengan aura yang dihidangkan!
Saya ingin membuat sebuah buku. Yang dengannya orang paham
bagaimana suaraku. Dalam sebuah buku biografi Quraish Shihab yang ditulis
oleh...... dinukil sebuah wisdom, “Cukuplah orang mengetahui akhlak kita
lewat karya yang kita ciptakan.”
Dan dalam hal ini, menulis tentu bagian yang tak bisa saya
lepaskan. Ide pemikiran yang dituangkan dalam bentuk aksara adalah lebih awet
dan menyala. Ibnu Hajar al-Asqolani, Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Imam An-Nasa’i,
Ibnu Battutah, Imam Suyuthi, al-Mubarokfuri, Adzim al-Abadi, Abdul Izz
al-Hanafi, Albani, Hasyim Asy’ari, Zuhairi Misrawi, Adian Husaini, Hamid Fahmi
Zarkasyi, Yasin Al-Makki al-fadani, An-Nawawi al-Bantani, Imam Tirmidzi, As-Syahrastani,
Dewi Lestari, Zarnuji, Malcom Gladwell, Ignaz Goldziher, Josep Schact, dan
berjuta-lainnya adalah bukti bahwa menulis bisa membuat kita lestari. Tulisan
adalah eksistensi kita di bumi. Meski kita nanti sudah berkalang tanah, tulisan
yang kita ciptakan akan terus hidup menemani anak dan cucu kita mengarungi
kehidupan. Bahkan, saat dunia sudah hancur ditimpa runtuhan bintang, dilalap
letusan gunung, disapu ombak samudra pada saat hari Akhir tiba, beberapa karya
akan terus abadi selamanya. Menjadi saksi yang membela kita saat
persidangan dengan Malaikat dan Tuhan. Mendukung kita agar kita dimasukkan ke
surga yang telah Tuhan sediakan untuk hamba-hamba-Nya yang beirman dan
senantiasa beramal kebajikan! J
Saya ingin melahirkan sebuah buku. Tapi kapan? Sebentar,
biarkan saya asyik bersetubuh dulu, jangan diganggu, saat nanti sudah klimaks
dan mengalami orgasme, cairan itu akan menjumpai sel telur, mengalami
pengandungan yang tidak mesti berjangka sembilan bulan, lalu kemudian baru
pasangan saya akan melahirkan! Pasangan? Iya, pasangan saya dalam konteks ini
adalah otak dan hati.
Ssst. Biarkan, jangan dinganggu dulu. Saya sedang
asyik-masyuk. J
Mantap, Nikmat, Sedap...!!!
Darus-Sunnah, 24 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar