Agustus 27, 2015 -
Motivasi
No comments


Kritik-Pujian, Bumbu Penyedap Kehidupan
Berangkat dari sebuah asumsi bahwa manusia adalah makhluk
yang dikepung oleh keterbatasan, maka sudah sepatutunya kita memaklumi serta
benar-benar menjiwainya. Menancapkan dalam doktrin terdalam kita bahwa kita
tetaplah manusia, meski begitu hebat berkarya, selalu ada sekat yang mampu
membawa kita menuju sempurna.
Dalam al-Qur’an ditulis, “Dan, janganlah engkau berjalan di
muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya engkau tak akan mampu membakar bumi dan
menjulang tinggi melebihi pegunungan.”
Seorang pemikir besar, Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, pada
suatu kali pernah mengatakan, yang mungkin juga sebuah hadits, “Barangsiapa
yang dipuji (dan ia menikmatinya), maka ia telah dibunuh tanpa menggunakan belati.”
Pujian dan kritik adalah bunga kehidupan. Kehadiran keduanya
adalah bumbu penyedap siklus kehidupan umat manusia. Di setiap lapisan manusia pada setiap zamannya selalu muncul komunitas
yang gemar melancarkan pujian, ada pula yang rajin mencurahkan kritik. Keduanya
bergerak simultan. Meramaikan laju hiruk pikuk aktivitas manusia.
Lantas Bagaimana Kita Menyikapi Keduanya?
Hadirnya pujian dan tepuk tangan atas segala yang dianggap
prestasi adalah hal yang bisa dikatakan mutlak mengkawani derap langkah kita. Maka
langkah yang harus diayunkan adalah dengarkan apa yang diselorohkan penggemar
kita tersebut, renungi secara mendalam, apakah benar yang mereka katakan?
Apakah kalimat yang dia keluarkan relevan dengan sikap yang ada dalam diri
kita?
Seringkali kita terkecoh dengan bualan tersebut.
Mengamini dalam hati bahwa pujian itu memang pantas dialamatkan untuk kita yang
telah meraih ini dan itu. Bahwa kita telah berada di atas
rata-rata orang kebanyakan, kita patut menerima riuh tepuk tangan.
Iya, kalau hal tersebut mampu mendorong diri kita lebih
semangat lagi. Namun, dikhawatirkan rasa bangga dan busung dada keburu
menyelinap menaruh bibit di dalam hati kita. membuat kita malah gede rasa,
kemudian muncul keyakinan bahwa diirnya adalah lebih baik dibanding yang lain. Ini
sudah beraroma penyakit.
Pujian yang kerap melambungkan hati juga berpotensi untuk
membunuh kepribadian. Percaya atau tidak, pujian yang tidak disikapi dengan
bijak akan membuat kita lupa daratan¸lalu membuat kita malas memancal
aktivitas. Dekadensi moral akan tiba. Siap meluluhlantakkan bangunan yang telah
kita bangun. Manusia jika sudah merasa hebat, ia merasa bebas, dan semakin
leluasa untuk merusak. Ilmu yang ditabur pun akan terasa kabur, kala pekat
kesombongan sudah mengungkung jiwa. Layaknya jelaga menghitami atap-atap di
rumah kita. Innal Insana Layatgha An Ra’ahus Taghna.
Ada baiknya kita berpikir lebih cermat, sudah benarkah
tujuan itu dilayangkan. Sudah objektif kah ungkapan penggemar kita
barusan. Simak secara jauh dan mendalam. Insyafi diri yang sarat keterbatsan.
Bahwa kita tak akan mampu untuk menjadi sempurna dalam segala sektor dan
dsiplin kehidupan.
Bisa jadi seorang pakar kedokteran bangga (dan bisa berakhir
menjadi sombong) lantaran dia sudah meraih pengharagaan atas karya yang ia
telurkan. Namun perlu dipikirkan, apakah ia mampu untuk menandinigi Salim
Ghazali, juara Internasional MHQ yang diadakan di Iran, dalam bidang hafalan
al-Qur’an.
Mungkin saja ada seorang pilot yang piawai dalam
menerbangkan pesawat terbang, menukik dan melakukan manuver di angkasa dengan
lincah dan mampu mengundang decak kagum, tapi coba suruh dia mengendalikan
kapal laut. Jika kapal limbung dan terbalik dilamun ombak ditampar badai,
apakan ia akan mencoba melebarkan parasit untuk menyelamatkan diri? Atau
dirinya akan tenggelam disapu laut yang diisi gelombang menggelinjang. Tentunya
harus ada seorang nelayan yang telah menelan asam garam lautan yang
menolongnya.
Demikianlah. Manusia, satu sama lain harus saling
melengkapi. Tak ada yang tidak penting, semua adalah penting, semua berhak
memberikan sumbangsih kepada dunia. Jangan bersikap sebagai manusia hebat yang
merasa paling hebat lalu merendahkan segala pihak. Jika demikian, maka ia telah
menutup pintu pembelajaran yang terbentang luas. Takabbur yang kita lestarikan
sama halnya dengan memasang kacamata kuda di kepala kita.
Soal Kritik yang pula menjadi elemen berkehidupan
harus disikapi dengan bijaksana. Manusia yang dasarnya jauh dari kesempurnaan
harus dengan lapang dada jika ada pihak yang mengkritik dan memberikan masukan.
Didengarkan dan ditimbang, untuk kemudian dijadikan bahan instropeksi diri. Bedakan
dengan saksama. Ada kritik yang hanya berupa hujatan tak bermakna layaknya
salakan anjing, hal ini tak perlu digubris, anggap saja angin berlalu
mengepakkan sayapnya di keheningan malam. Ada kriitk yang ilmiah dan sarat
hikmah, pesan yang dikandung dalam setiap lontarannya begitu menggugah, maka
ambillah dan sematkan dalam langkah-langkah pembenahan pribadi kita!
Anda akan selamat!
Selamat menjalankan hari-hari. Selamat menikmati keragaman
hidup yang terkadang tak sejalan dengan apa yang kita harapkan. Selamat berlaku
bijaksana menghadapi pujian dan kritikan. Jadilah terus orang yang bodoh
yang selalu dahaga akan ilmu pengetahuan. Jadilah orang yang berada dalam
kegelapan, sehingga ia akan terus mencari sekuat tenaga menyongsong cahaya yang
terang benderang!
Darus-Sunnah, 18 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar