Maret 14, 2014 -
Kampus
No comments


@132 Ketentuan Halal Haram Syubhat (Makalah Kuliah)
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana
kita ketahui, islam merupakan agama yang paling sempurna di antara agama-agama
yang lain. Allah telah menganugerahkan kepada umat manusia yang terakhir ini
sebuah agama yang begitu lengkap dengan ajaran-ajaran dan pelajaran yang
mulianya. Diantara berbagai nikmat yang Allah berikan kepada umat ini adalah
sebuah penjelasan kepada manusia tentang yang mana yang baik dan yang mana yang
buruk untuk dilakukan, dari sini muncul sebuah ungkapan yang begitu familiar di
telinga umat muslim sekalian istilah Halal, Haram dan Syubhat.
Berangkat
dari sana, selanjutnya pemakalah akan memaparkan secara detail makna ketiga
istilah di atas, sambil diperkuat dengan hadits serta komentar beberapa tokoh
islam mengenai hal ini. Selamat mendengarkan dan merenungi...
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Halal
Halal
(Etimologis) :
berasal dari kata حل-يحل-حلا yang berarti membebaskan, melepaskan,
memecahkan, membubarkan dan membolehkan.[1]
Halal (Terminologis) : segala sesuatu
yang boleh dikerjakan menurut syara’.[2]
Halal
menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, adalah “sesuatu yang syara’ memberikan
kebebasan kepada seorang mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya.
Contohnya adalah makan dan minum”[3]
Kemudian
beliau menambahkan bahwa hukum dari segala sesuatu adalah mubah selama tidak
ada larangan atau pengharaman mengenai hukum tersebut. Hukumnya adalah tidak
ada pahala maupun dosa jika mengerjakannya, ataupun meninggalkannya. Kecuali
dalam kasus tertentu misalnya makan dan minum, jika meninggalkan perkara
tersebut malah akan membinasakan kita, maka hukum mengerjakannya juga wajib,
dan meninggalkannya juga haram demi menjaga nyawa.
Ibnu
Munir berkata
dalam Manaqib Syaikh Al-Qabari, bahwa “mubah adalah pembatas antara
hamba dengan yang makruh”[4]
Menurut
Yusuf al-Qardhawi, seorang pemikir islam dan ahli fikih asal Mesir, yang berhak
atau berwenang mengahalakan sesuatu adalah Allah Swt. Hal ini sesuai dengan
beberapa dalil yang ada dalam al-Qur’an maupun al-hadits, lihat At-Taubah : 31,
Yunus : 59 dsb, ataupun dalam hadits sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi, yang menyebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. Ditanya tentang
hukum samin, keju dan keledai hutan. Rasulullah saw bersabda “yang disebut
halal itu ialah yang dihalalkan oleh Allah swt” hadits serupa diriwayatkan oleh
al-Hakim dan al-Bazzar.
Segala
sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt. merupakan hal yang memiliki makna
tersendiri bagi hamba-Nya, baik bagi fisik maupun mental. Menurut Ibnu Qoyyim
al-Jauziyyah, ulama fikih mazhab Hanbali, Allah swt tidak semata-mata
mengharamkan sesuatu kecuali di balik itu Allah swt menghalalkan yang lainnya
sebagai solusi akibat larangan itu, dan sebaliknya. Misalnya, Allah swt
menganjurkan berdo’a istikhoroh sebagai ganti diharamkan-Nya mengundi nasib
dengan azlam (mengundi nasib dengn anak panah). Allah swt menghalalkan
perkawinan untuk memenuhi kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan sebagai
ganti dari haramnya berbuat zina. Begitu juga Allah swt menghalalkan berbagai
makanan yang baik (thayyibat) sebagai ganti dari haramnya makanan yang
diharamkan.[5]
Kombinasi
antara yang halal dan haram dalam syariat islam menunjukkan bahwa dalam islam
akan selalu ditemukan berbagai solusi dari segala kesempitan atau kesulitan
yang dihadapi umatnya. Islam sungguh bukan hanya menjadi sebuah tuntunan moral
saja, akan tetapi melebihi itu semua, ia telah menjadi buku pegangan peradaban
yang mulia, yang akan membawa seluruh umat yang berpegang teguh dengannya
menjadi pribadi yang berakhlaqul karimah dan bisa mencapai Izzul Islam Wal
Musliin (kejayaan islam dan muslimin)
Prof.
Dr. H. Alaiddin Koto, MA. membagi mubah atau halal menjadi tiga bagian:
1) Perbuatan
yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia diberik
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang wanita
dengan sindiran-sindiran yang baik (QS. Al-Baqoroh {2} : 225)
2) Perbuatan
yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah
untuk melakukannya. hanya saja, perintah itu hanya berdasarkan qarinah-menunjukkan
mubah atau kebolehan saja, bukan untk wajib. Misalnya, perintah berburu ketika
telah selesai melaksanakan ibadah haji. (QS. Al-Ma’idah [5]:2)
3) Perbuatan
yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syar’i tentang kebolehan atau
ketidakbolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyyah (bebas
menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalat
menurut asalnya adalah dibolehkan selama tidak ada dalil yang melarangnya.
Untuk itu, ulama ushul fiqih membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu
adalah mubah”.[6]
B.
Haram
Haram
juga bisa berarti “sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk ditinggalkan dengan
tuntutan yang jelas dan pasti, menurut mazhab Hanafi, haram ialah sesuatu yang
perintah meninggalkannya ditetatpkan berdasarkan dalil qoth’i yang tidak
ada kesamaran. Contoh nya adalah pengharaman zina dan pengharaman mencuri.
Hukumnya ialah perkara-perakara itu wajib dijauhi dan pelakuknya dihkum.[8]
Dari
segi batasan dan esensinya, Imam al-Ghazali merumuskan haram dengan “sesuatu
yang dituntut Syari’ (Allah swt dan Rasulullah saw) untuk ditinggalkan
melalui tuntutan secara pasti dan mengikat”. Dari segi bentuk dan sifatnya,
Imam al-Baidhawi merumuskan haram dengan “suatu perbuatan yang pelakunya
dicela”.[9]
Haram menurut esensinya (zat) dibagi menjadi dua bagian,
Haram Li Zatihi :
yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syari’ bahwa
hal itu haram. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, berzina dan lain
sebagainya. Keharaman dalam contoh-contoh ini adalah terdapat pada zat (esensi)
pekerjaan itu sendiri.
Haram Li Ghairihi : yaitu
sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, tetapi dibarengioleh sesuatu yang bersifat mudarat bagi manusia,
maka keharamannya adalah disebabkan adanya mudarat tersebut. Contohnya adalah
melaksanakan shalat dengan menggunakan pakaian hasil curian.[10]
Shalat pada hakikatnya merupakan perbuatan yang
disyariatkan oleh Allah swt. namun dikarenakan ia membarenginya dengan hal yang
bersifat mudarat bagi dirinya, yaitu mencuri, maka hukumnya Haram
Lighoirihi.
Para ulama berselisih pendapat mengenai hakikat
sebuah hukum tersebut (haram li ghoirihi) apakah ibadah tersebut batal
atau hanya sekedar fasid (rusak) ?
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat dalam persoalan
muamalah, karena keharamannya bukan pada zatnya, tetapi disebabkan faktor luar,
maka hukumnya fasid (rusak), bukan batal. Oleh sebab itu, akad tersebut
boleh dilakukan, tetapi tidak sah. Agar akad tersebut menjadi sah, maka
faktor-fator luar yang menyebabkan keharaman itu harus disingkirkan. Akan
tetapi, jika haram li ghairih itu
berkaitan dengan masalah ibadah, maka hukumnya adalah batal.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada
bedanya antara haram li zatihi maupun li ghairihi dari segi akibatnya, yaitu sama-sama haram. [11]
C.
Syubhat
Syubhat merupakan sebuah kesamaran yang terjadi
pada hukum islam, menurut Ensiklopedi Hukum Islam dituturkan bahwasanya syubhat
adalah “sesuatu yang ketentuan hukumnya tidak diketahui secara pasti, apakah di
halalkan atau diharamkan. Dalam pengertian lebih luas, syubhat ialah
sesuatunyang tidak jelas apakah benar atau tidak, atau masih kemungkinan benar
atau salah.[12]
Sedangkan Imam al-Ghazali berkata bahwa yang
dimaksud dengan syubhat adalah “sesuatu yang masalahnya tidak jelas, karena di
dalamnya terdapat dua macam keyakinan yang berlawanan yang timbul dari dua
faktor yang menyebabkan adanya dua keyakinan tersebut”.
Dalam pelaskanaan hukum pidana Islam, hal-hal
yang bersifat syubhat tidak dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penetapan
hukum, hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Majah,
“Hindari suatu hukuman dengan dasar syubhat”
Kemudian dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh ’Aisyah binti Abu Bakar berkata, “Hindarkan hukuman had dari kaum muslimin
selama masih mungkin. Jika ada dasar untuk terlepasnya seseorang dari hukuman, maka
bebaskanlah ia. Seorang hakim lebih baik keliru dalam memberi ampunan daripada
keliru dalam menetapkan hukuman.” (HR. Tirmidzi)
Yang dimaksud dengan pidana hudud adalah pidana
yang diancam dengan hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam,
bentuk dan jumlahnya oleh Allah SWT.
Imam Asy-Syafi’i membagi
macam-macam syubhat menjadi tiga bagian :
1) Syubhat pada objek suatu perbuatan, misalnya
adalah kasus seorang ayah yang mencuri harta anaknya. Secara syara’ mencuri
merupakan perbuatan yang dilarang, dan pelakunya harus dikenai hukuman potong
tangan berdasarkan dalil al-Qur’an surat al-Ma’idah ayat 38, yang berbunyi
“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.” Namun di sisi lain, ada
sebuah hadits Nabi yang berbunyi, “ engkau dan harta-mu menjadi milik ayahmu”
(HR. Ibnu Majah). Dengan demikian, ayah tidak dapat dituduh sebagai pencuri
sehingga hukuman yang dikehendaki ayat di atas tidak dapat diterapkan.
2) Syubhat pada subjek (pelaku), yaitu syubhat
yang bersumber pada dugaan pelaku, yakni ia dengan iktikad baik melakukan
perbuatan yang dilarang karena mengira perbuatan itu tidak dilarang. Contohnya
adalah seorang suami menyetubuhi orang lain yang dikira istrinya, padahal
wanita tersebut bukan istrinya (misalnya, istri mempunyai saudara kembar yang
tidak dikenal suami). Dalam hal ini yang menjadi dasar syubhat itu adalah
keyakinan, yaitu seorang suami yakin bahwa yang ia setubuhi adalah sitri
sahnya. Menurut mazhab Syafi’i, suami dalam hal ini dapat terhindar dari
hukuman hudud atas dasar syubhat.
3) Syubhat pada hukum (yuridis), yakni syubhat
yang timbul dari perbedaan pendapat ahli hukum tentang hukuman suatu perbuatan.
Akibat banyak pendapat yang berbeda, seorang menjadi bingung untuk memilih
salah satu pendapat.yang akan dijadikan pedoman. Misalnya, Imam Abu Hanifah memboehkan
nikah tanpa wali dan imam, Imam Malik membolehkan nikah tanpa saksi dengan
syarat harus siadakan walimatul ‘Ursy. Dengan demikian, para undangan
yang hadir dalam acara Walimatul’Ursy itu menjadi saksi. Karena itu,
percampuran antara laki-laki dan perempuan tidak dihukumi dengan zina yang
dijatuhi hukuman had.[13]
Kemudian, mengenai perkara syubhat yang terjadi
di luar pidana, yakini misalnya yang terjadi pada keseharian kita, maka itu
kembali merujuk kepada hadits Nabi yang menganjurkan kita agar menjauhinya,
karena dikhawatirkan kita akan terjerumus kepada hal yang haram.
D.
Hadits Ahkam
Sebuah
hadits yang menyangkut tema pembahasan:
"Nu'man Bin Basyir bererita bahwa dia pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, "perkara yang halal telah jelas dan yang haram
telah jelas pula. Antara keduanya ada beberapa perkara yang diragukan yang
tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menjauhi
perkara-perkara yang diragukan itu berarti dia memelihara agama dan
kesopanannya. Barangsiapa mengerjakan perkara yang diragukan, sama saja dengan
pengembala yang menggembalakan ternaknya di pinggir jurang, dikhawatirkan dia
terjatuh ke dalamnya. Ketahuilah semua raja mempunyai larangan da ketahuilah
pula larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ketahuilah dalam tubuh
ada segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baik pula tubuh itu semuanya.
Apabila daging itu rusak, maka binasalah tubuh itu seluruhnya. Ketahuilah,
daging tersebut adalah hati" (Muttafaq 'Alaihi) [14]
Yang halal telah jelas, begitupun yang haram,
maka apa-apa yang berdiam di antara keduannya adalah syubhat. Al-Qur’an dan
al-Hadits serta ijma’ ulama salaf telah menggariskan hukum-hukum islam secara
lengkap dan terperinci, bahkan untuk menyiasati hukum fiqih umat setelah
mereka, mereka sudah menggariskan sebuah disiplin ilmu yang akan terus relevan
sepanjang zaman, yaitu Ushul Fiqh. Maka anjuran bagi kita adalah memperdalami
lebih lanjut semua khazanah islam, terkhusus dalam masalah hukum, karena
sebagaimana kita memaklumi, kehidupan tanpa dilandasi dengan hukum dan
peraturan maka akan tampak semrawutan , maka sungguh merupakan sebuah
keistimewaan jika kita (penganut agama islam) diberikan sebuah kitab suci
sekaligus kitab UUD kehidupan yang paling sempurna plus diturunkan oleh
Zat Yang Maha Sempurna, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits.
Namun, meski begitu, tetap saja ada beberapa
hal yang meragukan yang terjadi dalam lingkup kehidupan duniawi kita, hal ini
bisa saja terjadi lantaran banyaknya orang yang belajar ilmu-ilmu islam secara
sedikit saja, tidak mengetahui secara keseluruhan hukum dan peraturan cara
main agama ini, sehingga dengan itu, menimbulkan beberapa keraguan dan syubhat
yang mengendap dalam tatanan hukum islam. Atau bisa saja hal itu trjadi
lantaran ilmu yang belum sampai kepada kita mengenai status hukum tersebut,
walau kita sudah belajar sedemikian rupa. Namun sungguh bijak perkataan
Rasulullah di atas, beliau telah menetapkan dengan kejeniusannya, bahwa jika
kita menjauhi keraguan itu, maka seakan-akan kita telah memiliki andil dalam
memelihara agama kita sendiri, menurut pemakalah, hal yang demikian memang
lebih baik untuk dilakukan, karena sesuatu yang abu-abu itu cenderung membawa
kita kepada sesuatu yang sejalan dengan nafsu buruk kita.
Wallahu A’lam.
Dalam kitab Fathul Bari,
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata bahwa yang dimaksud dengan الحلال بين والحرام بين yaitu ”dalam dzat dan sifatnya sesuai dalil yang zhahir” [15],
kemudian pada penggalan kalimat berikutnya, و
بينهما مشبهات beliau
mengartikan sebagai “hal-hal yang tersamarkan yang tidak diketahui hukumnya
secara pasti”, dan pada kalimat لا
يعلمها كثير من االناس yang dimaksud
adalah tidak mengetahui hukumnya, فمن
االتقي المشبهات artinya
berhati-hati dengan perkara yang syubhat, استبرء maksudnya adalah,
agamanya selamat dari kekurangan dan perilakunya selamat dari celaan, karena
orang yang tidak menghindari hal-hal syubhat, maka dia tidak akan selamat dari
perkataan orang yang mencelanya (لومة
لائم) [16].
Sedangkan mengenai makna dari kalimat ومن وقع في الشبهات , yang dimaksud dengan kata syubhat itu sendiri adalah, hal
yang makruh, karena kata tersebut mengandung unsur “melakukan” dan “meninggalkan”[17]
Dari sedikit penjelasan di atas, setidaknya
kita telah mengetahui bahwa jika kita gemar melakukan hal yang syubhat, maka
seakan-akan kita telah mendekati keharaman. Hal ini sejalan dengan bunyi hadits
“Barangsiapa
mengerjakan perkara yang diragukan, sama saja dengan pengembala yang
menggembalakan ternaknya di pinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke
dalamnya. Ketahuilah semua raja mempunyai larangan da ketahuilah pula larangan
Allah adalah segala yang diharamkan-Nya”, dalam artian, jika kita melakukan hal
yang syubhat kita bagaikan seorang pengembala yang menggembalakan ternaknya di
ujung jurang, dikhawatirkan akan jatuh dan terjerumus ke dalam jurang tersebut
jika kita tak menghindarinya, dan ketahulah bahwa seluruh yang halal dan haram
itu datangnya dari Allah Subhanau Wa Ta’ala.
Hadits ini menjelaskan, bahwa orang yang tidak menjauhkan diri dari
syubhat dalam pencaharian dan kehidupannya, maka dia telah menyerahkan diirnya
untuk dicemooh dan dicela.[18]
Kemudian Al-Hafidz berkata, “orang yang takut akan hukuman
dan mengharapkan ridho sang raja, maka dia akan menjauhi tempat tersebut karena
khawatir ternaknya akan masuk ke dalam daerah tersebut. Oleh sebab itu,
betapapu ketatnya pengawasan seseorang terhadap binatang gembalaanya, menjauh dari
tempat itu adalah lebih selamat baginya. Sedangkan orang yang tidak takut, akan
menggembalakan ternaknya di dekat tempat tersebut tanpa ada jaminan bahwa tak
ada satupun ternaknya yang memisahkan diri dan masuk ke dalam daerah tersebut.[19]
Wallahu Muwafiq Ila Aqwami Thoriq...
BAB III
Kesimpulan dan Penutup
Dari
uraian makalah di atas, dapatlah kita mengambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut, yaitu bahwasanya sesuatu yang halal dan haram itu sudah jelas
statusnya, hal ini bisa dilihat dari beberapa sumber hukum islam yang
mengatakan bahwa itu halal dan haram, namun di antara keseluruhan hukum, akan
ada beberapa hukum yang tak jelas status hukumnya, ia terlihat samar dan
abu-abu, maka tindakan kita atas ke-syubhatan ini adalah menghindarinya
sebagaimana yang dikatakan hadits rasulullah saw. di atas.
Akhirnya,
hanya kepada Allah-lah kita mengadukan segala masalah, jika ada kesalahan dan
kekurangan dari tulisan ini, pemakalah sadar bahwa ini adalah kesalahan
pemakalah sendiri, namun jika ada kebaikan dan kelebihan yang terkandung di
dalamnya, semata-mata itu datangnya dari Zat Yang Maha Sempurna yaitu Allah Azza
Wa Jalla .
BAB IV
Daftar Pustaka
Zuhaili,
Wahbah, 2011. Fiqih Islam Wa Adillatuhu
jil 1, Daarul Fikir (Gema Insani), Jakarta
Koto,
Alaiddin, 2004. Ilmu fiqih dan ushul fiqih (sebuah pengantar), PT.
Rajagrafindo Persada
Dahlan, Abdul Aziz (editor), 2001. Ensiklpedi Hukum Islam jil. V, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Dahlan, Abdul Aziz (editor), 2001. Ensiklpedi Hukum Islam jil. II, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
Hajar, Ibnu, 2002. Fathul Bari (penjelasan kitab shahih
Bukhari), jil. 1, Pustaka Azzam, Jakarta
Al-Lu’lu’ Wal Marjan
[1]
Ensiklopedia Hukum islam, II, hal. 505
[2] Ibid, hal.506
[3] Wahbah
Zuhaili, Fiqih Islam wa adillatuhu, hal. 60
[4] Ibnu
Hajar, Fathul Bari,pustaka azzam (ind) hal. 233
[5]
Ensiklopedia Hukum islam, hal. 507
[6]
Alaiddin, ilmu fiqih dan ushul fiqih (sebuah pengantar), hal. 48
[7]
Ensiklopedia Hukum Islam, V, hal. 523
[8] Wahbah
zuhaili, fiqhu islam wa adillatuhu, hal. 59
[9]
Ensiklopedia Hukum Islam, jil 1, hal. 523
[10] Ibid,
hal. 524
[11] Ibid,
hal. 525
[12]
Ensiklopedia Hukum Islam, jil V, hal. 1715
[13]
Ensiklopedia Hukum Islam, V, hal. 1716
[14] AL-Lu'lu' Wal Marjan, II, hal 153,
hadits no. 1028
[15] Ibnu
Hajar, Fathul Baari, pustaka azzam (ind), I, hal. 232
[16] Ibid,
233
[17] Ibid,
234
[18] Ibnu
Hajar, Fathul Baari, pustaka azzam (ind), I, hal. 233
[19] Ibnu Hajar, Fathul Baari, pustaka
azzam (ind), I, hal. 235
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته
0 komentar:
Posting Komentar