Kamis, 19 Agustus 2021

Agustus 19, 2021 - , No comments

Islam Agama Ramah Perempuan (Review Jurnal Metode Kritik Matan Hadis Misoginis Menurut Fatimah Mernissi)

(https://thembatour.com)

Kali ini kita akan membincang seputar artikel yang ditulis oleh Dadah, akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yang berjudul Metode Kritik Matan Hadis Misoginis Menurut Fatimah Mernissi. Artikel ini dimuat di Jurnal Diroyah : Jurnal Ilmu Hadis, Volume 3, No. 1, 2018, halaman 11-18. Menggunakan 8 referensi.

--------------

Abstrak Penelitian

Discourse on gender has never been quietly discussed both among academics, politicians, and in people's daily lives. In the development of the current discussion about gender has involved Islamic thinkers to explore the repertoire of Islamic thought to see the existence of gender discourse in Islam. This condition is inseparable from claims that Islamic teachings are not gender sensitive, and even tend to reduce women, especially when a handful of people talk about the existence of women in the public sphere which is constrained by restrictions on women's movement to gain access in education, social and political fields. Fatimah Mernissi, when analyzing the religious texts already in the yellow book, especially the hadiths of the Prophet. and the narrators who later came up with a new term, namely "Misogynist Hadith" or hadith which hated women. Fatimah Mernissi had been critical, even to the figure of Imam Bukhari's caliber who was highly recognized for his credibility and authority, as well as for several friends of the Messenger of Allah. therefore, this critical attitude should not stop here, and not even bring taqlid attitude. This paper will show the method of criticizing misogynist hadith according to Mernissi.

---------

Peneliti membuka kajiannya tentang hadis-hadis misal jenis dengan realita bahwa di Indonesia masih terdapat fakta bahwa perempuan belum mendapatkan kesetaraan yang hakiki dalam status sosial mereka sebagai masyarakat di Indonesia. 

Mengaitkannya dengan sisi pandang Islam terkait keberadaan mereka saat ini alih-alih Islam membela status sosial mereka, beberapa golongan malah menganggap bahwa kesenjangan status sosial antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di Indonesia ini sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Dari sana kemudian, beberapa pejuang kesetaraan (para feminis) berupaya menetralisir gumpalan distorsi misogyny yang dipakai untuk legitimasi agama. 

Pembahasan berikutnya adalah biografi Fatimah Mernissi. Fatimah dilahirkan di Maroko pada tahun 1940. Diasuh oleh neneknya yang memiliki pengetahuan luas tentang Islam Fatimah mernissi berkembang menjadi pribadi yang unggul. 

Namun suatu insiden yang tidak diinginkan terjadi, dia dipaksa untuk masuk ke sekolah tahfiz Alquran. Karena ketidaksukaannya terhadap bidang yang diminati sama Fatimah ngising menjadi sosok yang kritis dalam sekolahnya. Hal tersebut diperparah dengan apa yang didapatnya ketika ia mendapat kelas pengajaran hadits, di mana sang Guru sembari menyebutkan hadits riwayat Imam al-bukhari mengatakan tentang batalnya salat seseorang hanya karena ada anjing keledai dan perempuan yang lewat di depannya. Hal ini menjadikan Fatima mernissi sebagai sosok yang kritis terhadap ajaran ajaran Islam yang terkesan dengan nilai misoginis, baginya tidak mungkin sosok Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang begitu bijak kata-katanya menyakitkan kaum perempuan. 

Fatimah menempuh pendidikan tingginya di universitas Muhammad 5 rabat, kemudian lanjut ke sorbonne Paris, dan menempuh doktoralnya dalam bidang sosiologi di Universitas Brandels. 

Banyak karya besar yang dilahirkan oleh Fatimah, yang rata-rata berisi dengan an-nur akan perjuangan kesetaraan perempuan (feminisme). Penelitian menyebutkan 10 diantaranya di tulisan ini, sebagian sudah diterjemahkan ke Indonesia. 

Metodologi kritik Matan Hadis misoginis menurut Fatimah Mernissi

Peneliti membuka kajian ini Dengan mengatakan bahwa perempuan, menurut jumhur ulama, tidak diperkenankan menjadi pemimpin atau Khalifah, atau jika memimpin dianggap tidak sah. Hal ini setidaknya disampaikan oleh Imam Al-Khattabi dan Imam Al-Syaukani.

Dalam penelitiannya, dadah menggunakan pendekatan hermeneutika untuk memahami hadis. Sebagaimana diungkapkan bahwa hermeneutika adalah sebuah perangkat untuk menginterpretasi makna yang terkandung dalam suatu teks. 

Secara panjang lebar, Fatimah mengkaji hadis bahwa tidak akan makmur sebuah negara jika dipimpin oleh seorang perempuan. Hadis ini diriwayatkan oleh sahabat Abu bakar dan terdapat dalam kitab shahih Al Bukhari.  Yang dicoba oleh Fatimah mernissi adalah mengungkap latar belakang ( asbabul wurud) hadis tersebut sehingga diharapkan mampu menampilkan pemahaman yang komprehensif. 

Hadits yang terkenal sangat misoginis tersebut bercerita tentang wafatnya kerajaan Persia, yang kemudian digantikan oleh seorang anaknya yang perempuan, ia bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra. Fatimah menjelaskan bahwa hadis tersebut tidak bisa dipahami begitu saja secara mentah-mentah melainkan harus dipahami latar belakangnya. 

Hadis tersebut lahir dalam kondisi dimana perempuan mendapatkan status yang rendah di tengah-tengah budaya patriarki, sehingga wajar ketika itu rasulullah mengatakan demikian karena syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan, dan hal ini yang tidak dimiliki oleh Putri kisah tersebut.  Akan berbeda implikasinya jika kondisinya juga berbeda. 

Selain itu Fatimah juga mencoba bersikap kritis terhadap periwayat Hadis yang dimaksud, yakni Abu Bakrah seorang sahabat nabi. Menurutnya, Abu Bakrah bukanlah seorang yang terhormat di sisi para sahabat ia merupakan mantan budak dan dalam suatu kasus pernah melakukan sumpah palsu sehingga ia mendapat hukuman cambuk pada masa Umar bin Khattab. Kendati hadis ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari Fatimah mengatakan bahwa perawi Abu bakar memiliki pengaruh terhadap keotentikan hadis tsb.

Namun yang sangat disayangkan adalah, peneliti hanya mengutip mentah-mentah ucapan Fatimah Mernissi tanpa membandingkannya dengan anne-marie laian langsung dari ulama hadis terkait Abu Bakrah tersebut. 

Fatimah, berdasarkan analisis Dadah, beranggapan bahwa hadis ini dijadikan argumen untuk mencegah perempuan dari peran pemutus kebijakan sebuah negara atau lembaga. Namun hal ini setidaknya juga memicu kontroversi, di mana salah satunya adalah Imam ath-thabari yang tidak setuju dengan pendapat ini. 

Selain itu, sembari menguatkan argumennya terhadap pesan hakiki hadis ini, Fatimah sangat menyesalkan peristiwa yang pernah dialaminya dulu ketika ia bertanya kepada seorang penjual sayuran (representasi orang awam di daerahnya) tentang apakah bisa perempuan menjadi seorang pemimpin, mereka menjawab naudzubillahimindzalik.

----------

Apa yang disampaikan oleh peneliti penting untuk kita renungi bersama. Equality atau kesetaraan adalah hal yang harus kita wujudkan bersama, hal ini baik dalam kaitanya terhadap peran politik, kesetaraan hak pendidikan, ataupun penegasan nilai-nilai sosial lainnya. Semoga kita semua mampu mengambil istifadah dari bacaan ini. (20/08/2021)

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top