Kamis, 04 Juni 2020

Juni 04, 2020 - , No comments

Membaca "100 Hari Keliling Indonesia" dan Menemukan Indonesia di Dalamnya



Hidup sekali saja tidak cukup untuk bisa mengenali dan memahami Indonesia (Ramon Tungka, partisipan gerakan 100 Hari Keliling Indonesia)

Membaca 238 halaman buku 100 Hari Keliling Indonesia yang diprakarsai oleh tim Kompas TV dalam rangka memperkenlkan kekayaan alam Indonesia ini sungguh membuat saya takjub akan kekayaan bumi nusantara ini, alam yang terbentang dari Sabang hingga ke Merauke ini menyimpan daya tarik smepurna. 

Kendati demikian, kita tak akan mampu menikmati seluruh kekayaan ini dalam sekejap, butuh waktu yang tidak sbeentar untuk bisa maksimal menikmati alam raya Indonesia. Karena, sebagaimana diungkapkan oleh Ramon Tungka di atas, hidup sekali saja tidak cukup untuk bisa mengenali dan memahami Indonesia.
 
ISI BUKU 

Buku yang berisi rekaman perjalanan darat menyusuri Indonesia yang diselenggarakan Tim Kompas TV dan diterbitkan oleh penerbit Buana Ilmu Populer (BIP) yang juga masih kelompok Gramedia ini saya baca selama 4 hari ini, dari 02-05 Juni 2020 melalui aplikasi Ipusnas. Setiap saya membuka buku ini, serasa saya seperti terjun langsung menikmati keindahan Indonesia. 

Dengan khidmat dan didorong rasa penasaran yang tinggi atas kecantikan bumi Indonesia, saya membuka lembar demi lembar buku ini dengan saksama dan serius.

Buku yang terbit pada tahun 2015 ini tak ubahnya jurnal perjalanan tim Kompas TV saat menjelajahi Indonesia. Tanpa menggunakan kendaraan pribadi atau pesawat komersil, tim 100 KHI ini menggunakan tranportasi publik untuk mengakses kegiatan petualangannya, dari itu lahir kisah-kisah yang menarik dan emosional. 

Menyaksikan keindahan alam raya Indonesia yang memiliki luas 1,9 juta hektar persegi tentu merupakan aktivitas yang menarik. Untung kita punya media yang bersedia mengabadikan momen tersebut dalam bentuk buku atau video, salah satunya melalui karya yang tengah kita perbincangkan ini. 

100 Hari Keliling Indonesia mengisahkan perjalan menjelajahi gugusan nusantara, mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Alor-Flores, Bali dan Jawa. Tidak semua daerah dijelajahi, tidak semua wisata didatangi. Hanya beberapa saja yang didatangi tim ini, kebanyakan malah belum penulis dan mungkin para pembaca banyak ketahui. Tim ini memprioritaskan daerah yang memiliki nilai sejarah yang penting di Indonesia, selain tentu juga mempertimbangkan nilai kekayaan alam sebagai alat teropong petualangannya. 

Saat mendatangi Sumatera, mereka mendatangi Padepokan Atlet Angkat Besi Gajah Lampung, lokasi yang menempa atlet Indonesia yang pernah meraih kejuaraan internasional dalam bidang angkat besi. Selain itu juga Balai Taman Nasional Bukit Barisan, Pulau Tikus, Lebong Tandai (Pusat Pendulangan Emas di Sumatera, menggunakan Motor Lori Ekspress), Suliki-Payakumbuh tempat kelahiran tokoh perjuangan Tan Malaka, Danau Toba di Medan, Tanah Rencong Aceh hingga tiba di Pulau Rondo,  Sabang, yang merupakan tempat tugu nol kilometer Indonesia. Di ujung Indonesia ini mereka melantunkan lagu Indonesia Raya, menandai kecintaan mereka pada Indonesia raya.

Beralih ke Kalimantan. Mereka menyambangi desa Aruk, Kalimantan Barat, lokasi perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Ada yang janggal di daerah ini, di mana warga sana masih banyak bergantung pada kehidupan negeri Jiran ketimbang negerinya sendiri. Baik dari segi pengadaan logistik keseharian, maupun pendidikan. Banyak hal yang perlu diperhatikan di tapal perbatasan ini. Kedaulatan Indonesia perlu dipertahankan hingga batasnya yang paling ujung, seharusnya. Demikian pula yang mereka dapati saat menjelajani daerah Sebatik di Kalimantan Utara.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Taman Nasional Danau Sentarum di Kalteng, menyaksikan eksotismenya.Taman Nasional Betung Kerihun, yang selain menyajikan panorama indah juga mengingatkan kepada kita pentingnya menghargai adat lokal. Lanjut ke pulau Derawan, surga bawah laut yang dimiliki Indonesia. Tempat ini meurpakan tempat terbaik kedua di dunia untuk melakukan surfing (penyelaman), setelah pantai  Micronesioa di Yunani.

Tidak afdol rasanya jika ke Kalimantan tidak membicarakan perkebunan sawit dan dampaknya atas kerusakan alam. Saat menapaki Kalimantan Tengah, alam sangat tidak bersahabat. Pasalnya, di lokasi tersebut banyak dataran luas nan tandus yang merupakan bekas eksploitasi perkebunan sawit. Lain dari itu, masalah asap yang masuk ke warga dan membuat penduduknya sakit juga hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Jangan sampai eksploitas berlebihan malah membuat rakyat kena dampak getahnya. 

Sulawesi menawarkan keindahan pesonanya di Taman Nasional Prasejarah Leang-leang yang terletak di Kabupaten Maros. Tingginya tebing gua di sana merupakan surga bagi pecinta panjat tebing. Kemudian ada Dana Tandano yang terletak di daerah Tandano, danau terluas di Sulawesi Utara. Taman bawah laut Sangihe yang menjajakan panorama biota laut unik dan indah. Hingga ke daerah Pulau Miangas, ujung negeri Indonesia. Jaranknya yang cukup jauh dengan ibukota Sulawesi Utara, Manado, sekitar 414 KM, dan lebih dekat dengan Filipina yang hanya berjarak 70 KM, menjadikan pulau ini masuk ke dalam wilayah Filipina jika dilihat dari Google Maps. Setali tiga uang dengan perbatasan RI-Malaysia di Aruk dan Sebatik, demikian yang terjadi di Miangas, di mana warga sana dalam kesehariannya lebih mengandalkan negara Filipina.

Selain itu ada alat musik Kacaping, alat musik menyerupai terompet yang terbuat dari bambu khas Sulawesi Utara. Eksistensi alat musik ini terancam punah. Pasalnya, orang yang bisa memainkan alat ini hanya tersisa dua orang saja, dan mereka sudah sangat sepuh usianya. Banyak anak muda sana yang lebih tertarik ke musik pop dan modern.

Selain Sumatera, Kalimantan dan Jawa, ada kisah menarik dari Papua, Jawa dan Bali yang akan kita bahas di lain waktu nanti. 

Selain menyajikan laporan perjalannya dalam bentuk buku, kompas juga menayangkan serial perjalanan ini di kompas TV. Bagi yang belum menonton bisa nonton di youtube di LINK INI

KERENNYA BUKU TRAVELLING 

Selain buku 100 Hari Keliling Indonesia ini ada beberapa buku basis Travelling yang juga sudah saya baca. Faidah yang saya dapat dari pembacaan ini mengantarkan imajinasi saya untuk bisa menjelajahi daerah yang belum kita jamah dan sedikit merasakan keeksotisannya (karena nikmatinya hanya lewat bacaan saja mungkin). Selain itu juga bisa sedikit memotivasi diri agar bisa merasakan langsung keindahannya suatu saat kelak. 

Buku-buku Agustinus Wibowo, traveller asal Lumajang yang pernah kuliah di Xinjiang Univeristy di China, merupakan salah satu yang saya sukai. Buku-bukunya yang berjudul Garis Batas, Titik Nol, Selimut Debu, merupakan koleksi yang sudah saya baca, meski tidak sampai full. Perjalannya melintasi negeri berakhiran "Stan" seperti Khazakshatn, Uzbekistan, dan lain-lain, serta penjelajahannya melintasi Asia Tengah merupakan rekam perjalanan yang perlu kita nikmati.

Ada buku yang ingin saya baca dan belum kesampaian mendapatinya, seperti buku serial The Naked Traveller karya Trinity. Semoga suatu saat bisa kesampaian.

Menikmati pesona alam raya merupakan wujud kita mentadabburi ciptaan Allah Swt. Semoga langkah ini dihitung sebagai upaya untuk selalu mengingat kebesaran-Nya. Amin ya Khaliqul Alamien.

0 komentar:

Posting Komentar

Back to top