Sabtu, 09 November 2019

November 09, 2019 - No comments

Catatan Selama di Pandeglang

Berawal dari Sebuah Penunjukan


Kira-kira pada awal Oktober, pada sebuah rapat bersama dewan guru Madrasah Darussunnah, saya ditunjuk menjadi penanggungjawab acara Program Pengalaman Lapangan (PPL) santri kelas akhir Madrasah Darussunnah tahun 2019. Penunjukkan ini menjadi beban sekaligus penghargaan bagi saya, beban karena ini merupakan kali perdana santri Madrasah Darussunnah (memasuki umurnya yang ke-6) sehingga saya dituntut untuk maksimal, menjadi penghargaan karena saya dipercaya untuk memangku amanah ini yang sebenarnya program ini juga pernah saya alami ketika dulu di Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura, sehingga dengan demikian saya bisa berbagi pengalaman dengan santri-santri di sini terkait teknis pelangsungan agenda PPL.

Tanpa menunggu lama, saya segera merumuskan secara ringkas dan global gambaran PPL dan apa-apa saja yang perlu dipersiapkan. Sosialisasi diadakan di kamar kelas 6 (angkatan Fascinate) sembari diadakan penentuan formulasi BPH PPL dari santri kelas 6, hal demikian berangkat dari bayangan awal saya bahwa PPL adalah murni kegiatan santri akhir di lokasi pengabdian, tanpa pendamping dari asatiz, paling-paling pendamping hanya menjenguk sekali dua kali ke lokasi tanpa berdiam di sana. Dalam kesempatan tersebut kita juga merancang waktu untuk survei ke lokasi PPL.

PPL kali ini direncanakan akan diselenggarakan di 3 lokasi : Pondok Pesantren Tajul Ulum, MI Darul Huda Nurussa'adah, Pondok Pesantren Nurun-Najah, yang ketiga-ketiganya berada di satu daerah di Cimanuk Pandeglang, Banten.

Tanggal ditentukan, survei pertama kami tentukan terlaksana pada Jum'at 11 Oktober 2019. Kami yang berangkat ketika itu, Saya, Cak Amu, Ust TB, Ust. Daus, Diva, Hilal dan MDU berangkat dari jam 7 dan tiba di Pesantren Tajul Ulum pada pukul 10.00. Tujuan kami survey kali ini adalah sebagai momen silaturahmi sekaligus pembuka jalinan kerjasama dalam kegiatan PPL. Lawatan juga kami agendakan ke kediaman kepala sekolah MI Darul Huda Nurussa'adah dan pengasuh ponpes Nurun-Najah yang tidak lain adalah saudara dari Ust TB (salah satu guru Madrasah Darussunnah). Selepas Maghrib kami kembali ke Jakarta.

Program Itu Dinamai BIKSAH...

Badan Pengurus Harian (BPH) PPL dibentuk dengan formasi :

Ketua : Diva Fadhilah Ramadhan
Wakil : Zuhri Tamam
Sekretaris : Muhammad Mu'adz
Bendahara : Misbaul Khoir
Humas : Haidar dan Maulana

Rapat-rapat susulan coba kami selenggarakan, baik pada tingkat BPH saja atau bersama kelas 6 secara keseluruhan. Pemaparan tujuan acara PPL, tekhnis pelaksanaan, penyelarasan jadwal, koordinasi dengan pihak yang terlibat, sampai berdiskusi perihal mana yang perlu dibawa dan mana yang tidak perlu. Terarkhir kami menyelenggarakan pertemuan dengan Ust Ahmad Ubaidi Hasbillah sebagai kepala Madrasah Darussunnah bersama santri kelas akhir dengan tujuan mempresentasikan tekhnis dan rangkaian acara PPL.

Ingin terlihat memiliki ciri khas mengenai kegiatan PPL, Ust Ubaid akhirnya mengadakan polling di dewan asatiz terkait pemberian nama untuk program ini. Dari sekian nama yang diusulkan, setidaknya ada dua nama yang mencuat : SDM (Santri Darsun Mengabdi) dan BIKSAH (Bakti Santri Darussunnah). Polling diadakan via online dan akhirnya yang terpilih adalah BIKSAH.

BIKSAH yang meurpakan singkatan dari Bakti Santri Darussunnah merupakan istilah yang diusulkan oleh Ust Hanif dengan pertimbangan bahwa selama ini Pesantren Darussunnah memiliki program Biksah yang melibatkan tingkat mahasantri, yakni kegiatan mengutus duta dakwah ke pelosok nusantara seperti Papua, NTB dan lain sebagainya. Biksah yang berarti utusan juga meurpakan tradisi Nabi Muhammad Saw mengutus duta-duta dakwah ke beberapa daerah demi menyebarkan paham islam yang komprehensif dan holistik.

Selang beberapa waktu, saya sebagai penanggungjawab bersama BPH PPL mengadakan survei ke-2 yang diadakan pada Sabtu 19 Oktober 2019. Tujuan pemberangkatan kedua kali ini adalah memantapkan jadwal acara kita pada PPL yang akan diselenggarakan pada 06-24 November nanti.

Hari Pemberangkatan Tiba...


Rabu, 06 November 2019, hari keberangkatan Biksah SQUAD ke lokasi pengabdian. Semua bergegas dan bersiap2. Yang satu sibuk menyiapkan banner dan plakat, satunya menyiapkan buku dan souvenir, satunya menyiapkan seremonial keberangkatan, semua sibuk pada ceruknya masing-masing.

Rabu 06 November bakda subuh diisi dengan ziarah ke pusara Alm. KH Ali Mustafa Yaqub, kemudian acara pelepasan bersama santri dan dewan asatiz Darussunnah dan dihadiri langsung oleh Khadim Ma'had Darussunnah : KH. Zia Ul Haramein, Lc., M. SI.

Dalam sambutannya Ust Ubaid mengatakan ...

Dalam sambutannya Ust Zia mengatakan...

Menjadi Warga Pandeglang 2 Minggu

Karena pertama, maka Biksah butuh pendampingan dari dewan asatiz. Berangkat dari perhitungan yang jeli dari Ust Ubaid perihal interaksi santri kelas akhir dengan pihak pesantren, elemen masyarakat, dan lain sebagainya, maka disepakati bahwa Biksah butuh pendamping dari kalangan asatiz yang siap stay di lokasi pengabdian selama berlangsungnya program.

Hal ini karena program Biksah benar-benar perdana, maka potensi-potensi kekeliruan yang terjadi di lapangan mencuat inisiatif perihal perlunya ada pendampingan. Melalui pertimbangan sebagai ketua pelaksana Biksah, wali asuh kelas 6, ustadz yang udah gak ada jadwal kuliah, akhirnya saya bersiap menjadi pendamping santri melakukan pengabdian.

Tentu saya disini murni hanya menjadi pendamping saja. Semua yang bergerak adalah peserta Biksah. Saya hanya mengarahkan jika ada yang perlu diluruskan, memahamkan bilamana ada yang belum dipahami, mengevaluasi jika kiranya ada yang perlu dikoreksi. Sisanya saya bebas beristirahat. :)

Yang jelas, melalui restu kepala sekolah, pada 2 minggu ini saya akan bertugas di Pandeglang. Saya akan menjadi warga Pandeglang selama 2 Minggu! Bukankah itu fantastis!


Mengenal Kiai Mahrus

Mengenal Kiai Mustahdi

Menemukan Teman Diskusi

Seseorang membutuhkan teman untuk curhat dan berdiskusi. Mulai dari obrolan yang serius mendakik-dakik hingga yang remeh temeh sekadar penghilang kejenuhan saja. Sebagai makhluk sosial yang tidak bisa dileraikan dari konteks lingkungannya, maka saya pun perlu mencari teman yang bisa diajak ngopi bersama membicarakan banyak hal.

Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan Ust Syamsul Maarif di sini, di pesantren Taajul Ulum. Ustadz yang merupakan alumnus pesantren Tajul Ulum tahun 2016 ini merupakan kawan yang kuat untuk diajak berdiskusi membicarakan isu-isu keislaman, terlebih pada isu-isu yang berkaitan dengan organisasi keislaman Nahdatul Ulama. Sebagai orang yang aktif dalam struktural Banser cabang Cimanuk Pandeglang, wawasan ke-NU an ustadz Syamsul tak perlu diragukan lagi. Bukan cuma wawasan ke-NUan nya yang mapan, atribut ke-NU an yang melekat pada dirinya dengan jelas mendeksripsikan bahwa memang pendukung NU yang sejati.

Selain teman berdiskusi, Ust Syamsul juga menjadi pemandu (guide) kami selama kami di Pesantren Tajul Ulum. Semua hal  seputar Tajul Ulum diperkenalkan oleh beliau, mulai kurikulum, kegiatan keseharian hingga detail dinamika kehidupan santri di Tajul Ulum. Beliau termasuk sosok yang tidak segan untuk menjelaskan biografi santriwati pesantren Tajul Ulum yang kami tanyakan.

Selain itu, sebagai pengemudi handal beliau juga sempat menemani kami jalan-jalan keliling Pandeglang.Setidaknya beliaulah yang menemani santri Biksah berjalan-jalan ke Tanjung Lesung, membantu mempersiapkan belanja untuk makan besar bersama Biksah dan jajaran IPTU (Ikatan Pelajar Tajul Ulum) yang dipangku oleh santri kelas akhir Tajul Ulum. Selain itu, saya pribadi juga sempat diajak ke Serang untuk pementasan tim hadroh Tajul Mustofa (tim hadroh pesantren Tajul Ulum) di daerah tersebut.

Ustadz Syamsul kini tengah membina padepokan La Lahwa yang berlokasi di sebelah selatan pesantren Tajul Ulum. Bilik panggungnya yang kini berjumlah 2 (diperbrui pada pertenghan November 2019) adalah wujud eksistensi beliau mengembangkan pesantren Tajul Ulum. Pasalnya, bilik tersebut rutin dijadikan tempat pengajian kitab kuning santri pesantren Tajul Ulum. Bahkan Kiai Mahrus Amin, selaku pengasuh pesantren Tajul Ulum, mengamanatkan kepada Ustadz Syamsul agar menghidupkan peradaban kajian keilmuan di pesantren Tajul Ulum melalui biliknya La Lahwa tersebut.

Belakangan muncul isu bahwa pemekaran lokasi La Lahwa mempunyai tujuan tertentu. Demi penyejahteraan kehidupan Ust Syamsul di masa yang akan datang. Namun isu ini perlu dikaji kembali. Yang penting, yang perlu diketahui, jajaran kitab kuning-santri yang menyetorkan bait hafalannya-kopi hitam-batang rokok gudang garam filter merupakan alasan beliau masih eksis di bilik idamannya La Lahwa. Akun media sosialnya bisa dikunjungi di sini : Facebook Santri Songolas


Menghayati Alamiah Kehidupan Pedesaan


Belajar Pada Ketulusan Masyarakat Kaki Gunung


Mengkritisi Kondisi


Reuni di Kejauhan...


Menziarahi Maulana Hasanuddin


Tanjung Lesung


Mengunjungi Suku Baduy

Senin 18 November pada subuh buta saya mengantar Ust Budiman ke stasiun Rangkasbitung. Komitmennya untuk masuk mengajar di pesantren Darut-Tauhid pada pukul 09.00 pagi hari itu juga membuat dirinya mau tidak mau harus pulang dan mengajar di pesantren asuhan Aa Gym yang berlokasi di Tangerang Selatan tersebut. Usai pulang mengantar Ust Imam saya menyemptkan diri mampir ke rumah teman ketika mondok Darussunnah di daerah Warunggunung, kabupaten Lebak, yang kebetulan searah dengan jalan pulang menuju pesantren Tajul Ulum.

Usai dijamu secara hangat, saya berhasrat untuk berkeliling Pandeglang dengan dipandu sahabat saya tersebut yang lama berdiam di daerah Banten. Akhirnya kami sepakati untuk pergi jalan-jalan ke Kampung Baduy di daerah Ciboleger, Kabupaten Lebak. Demi menjawab rasa penasaran yang berkelabat sejak lama seputar khasanah kebudayaan Indonesia bernama suku Baduy, jarak 40 km yang kami tempuh menggunakan sepada motor tidak terasa berat dan melelahkan. Jalanan yang tidak macet, diiringi persawahan, perkebunan dan pegunungan membuat perjalanan semakin asyik. jarak 40 km kami tempuh selama 1,5 jam. Dan akhirnya kami tiba di perkampungan Baduy, tempat dimana tidak diperkenankan kendaraan masuk ke dalamnya. Pengembaraan pelepas penasaran itu dimulai...

Perjalanan kami mulai dengan memasuki kampung Baduy. Ada 2 sebutan untuk lokasi kampung baduy di sini : Baduy luar dan badui dalam. Masing-masing lokasi terdiri dari beberapa kampung kecil. Yang kami singgahi adalah baduy luar saja, karena untuk masuk ke baduy dalam butuh perjalanan 12 km merangsek masuk ke dalam kampung.

Stutkur kampung Baduy berada di tanah pegunungan, jadi lokasi perkampungan di sana tidak padat. Ada sekumpulan rumah dengan model rumah panggung terbuat dari kayu yang kira-kira berisi 15 an rumah, kemudian diselingi dengan hutan rimbun, kemudian ada kumpulan perumahan lagi, lembah lagi, sungai, dan seterusnya hingga tiba di perkampungan yang ada di Baduy dalam yang berisi 40 keluarga, yang katanya tidak bisa dimasuki orang luar demi menjaga orisinalitasnya. Mereka 40 keluarga itulah yang saya kenal selama ini sebagai suku Baduy yang benar-benar asli.

Usai berjalan 1 km ke dalam, kami singgah rehat sejenak di warung Ibu Anis. Sembari memesan kopi dan camilan ringan, kami membuka pembicaraan dengan ibu berkepala 2 yang berumur 32 tersebut.

Masyarakat suku Baduy menjadikan ajaran Sunda Wiwitan sebagai kepercayaannya. Sunda Wiwitan memiliki ritual ibadah 3 kali dalam setahun, yakni pada bulan Desember, Januari dan Februari. Tekhnis peribadatannya adalah dengan menyerahkan hasil panennya (upeti) kepada sesepuh yang berada di suku Baduy dalam. Seringkas itu ibadahnya? Yang berbentu ritual hanya seperti itu, karena bagi mereka berbuat baik kepada sesama dalam keseharian juga dinilai sebagai ibadah.

Masyarakat Baduy tidak menerima (karena memang itu yang mereka ingninkan?) aliran listrik dari pemerintah. Cara hidup merekapun begitu sederhana dengan memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin. Memasak menggunakan tungku berbahan kayubakar, mengambil air menggunakan jerigen di tempat pengambilan air umum. Belakangan kami ketahui bahwa masyarakat sana beberapa masih menggunakan kompor gas untuk memasak dan selang untuk memasok air untuk mandi, kendati demikian, saat datang petugas razia dari suku baduy dalam, mereka harus pintar menyembunyikannya, karena jika tidak barang-barang tersebut akan dihancurkan.

Masyarakat kampung Baduy memiliki prinsip bahwa anak-anak mereka tidak perlu mengenyam bangku pendidikan formal. Ketika saya konfirmasi tradisi ini ke  mbak Anies (32), beliau mengatakan bahwa alasan pelarangan anak-anak kampung Baduy untuk sekolah nanti kalau kepintaran malah minterin (kalau terlampau pandai nanti mudah menyalah-nyalahkan).

Kira-kira sejam kami mengobrol dengan salah seorang warga Baduy di sana, kami memutuskan untuk pulang. Maksud hati ingin berlanjut ke Baduy dalam, namun apa daya, berjalan ke sana butuh perjalanan 12 km yang kira-kira bakal menghabiskan waktu seharian penuh.

Dalam perjalanan kami sempatkan singgah di sebuah bilik yang menjual hasil karya masyarakat Baduy. Di dalamnya dijajakan madu manis dan pahit (berwarna hitam), kain rajutan made by hand, blangkon, pakaian khas Baduy, dan lain sebagainya. Sebagai kenang-kenangan saya membeli dua botol madu (manis dan pahit) serta sehelai kain rajutan berbentuk syal.

Satu helai kain rajutan ada yang dikerjakan selama sehari dan diberi harga 20.000, ada yang dibuat selama 2 hari diberi harga 50.000, ada pula yang sebesar selimut dan dibuat selama setengah bulan. Saya membeli yang seharga 50.000. Yang membuat menarik adalah proses pembuatannya yang begitu alami : dibuat dengan alat tradisional dengan latar alam yang asri dan sejuk di tanah pegunungan.

Begini proses pembuatannya :


Semarak Perlombaan Di Tajul Ulum

Aktivitas Biksah sudah berjalan 16 hari, tim Biksah kini mulai merancang rangkaian kegiatan akhir Biksah. Di antaranya adalah dengan mengadakan perlombaan di Ponpes Tajul Ulum. Pada hari Sabtu tanggal 23 November digelarlah acara tersebut. Pada Jumat malam (22/11) tim Biksah dengan jajaran Ikatan Pelajar Tajul Ulum (IPTU) yang terdiri dari santri kelas 6 mengadakan rapat untuk acara perlombaan. 

Rapat di beranda Masjid Tajul Ulum yang menghabiskan waktu berjam-jam tersebut menghasilkan keputusan bahwa akan diadakan perlombaan untuk pesantren Tajul Ulum. Ada 5 jenis perlombaan : 

1. Lomba Futsal
2. Lomba Estafet
3. Lomba Rangking 1
4. Lomba Cerdas Cermat
5. Lomba Memenuhi Paralon yang dilubangi

Kelompok perlombaan dibagi berdasarkan konsulat santri. Terdapat 5 konsulat santri pesantren Tajul Ulum : Konsulat Cimanuk, Konsulat Labuan, Konsulat Mandalawangi, Konsulat Jawa Barat.  Semua santri berkompetisi untuk menjadi yang terbaik.

Acara diselenggarakan di area pesantren : lapangan bola, wisma dan kolam santri. Perlombaan berjalan sangat meriah dan penuh antusias. Tim panitia seperti tak kenal lelah, para santri sangat berbahagia menyambut perlombaan ini.

Meriah Makrab Biksah

Pada Sabtu 23 November 2019, seusai perhelatan perlombaan di pesantren Tajul Ulum, malamnya tim Biksah bekerjasama dengan IPTU mengadakan Malam Keakraban antar 3 pesantren : Darussunnah, Tajul Ulum dan Nurunnajah. Acara tersebut memiliki slogan "Togetherness, Creative, Active".

Bertempat di lapangan pesantren Tajul Ulum, seluruh keluarga besar pesantren Tajul Ulum dan pesantren Nurunnajah memadati kursi bersiap mengikuti acara Malam Keakraban.

Acara malam tersebut dipandu oleh MC Haidar (santri Biksah) dan Riyadi Bahrain (santri kelas akhir Tajul Ulum). Setelah dibuka, lantunan ayat suci al-Qur'an yang dibacakan oleh Yusro (Santri kelas akhir Tajul Ulum) menggema memecah keheningan malam. Sambutan-sambutan dari Kiai Mahrus Amin sebagai kepala pesantren Tajul Ulum, Kiai TB Hasan sebagai kepala pesantren Nurunnajah dan Kiai Mustahdi sebagai kepala MI Nurussadah begitu syahdu dan disimak secara saksama oleh para santri.



Balada Penutupan....

Memasak Telur di Cisolong

Sedihnya Perpisahan...

Cahaya itu menyala...

Rombongan paling terakhir itu menggunakan N-Max



0 komentar:

Posting Komentar

Back to top