Agustus 19, 2019 -
No comments
Catatan Atas Tontonan-Tontonan
THE PROFESSOR AND THE MADMAN
Film The Professor and The Madman adalah
film yang mengisahkan proses penyelesaian kamus Oxford English
Dictionary (OED) yang memakan waktu selama 70 tahun. Kamus setebal 12
jilid nan komprehensif yang memuat perbendaharaan makna kata-kata bahasa
Inggris ini memiliki banyak kisah menarik dalam proses perampungannya.
Sebuah karya monumental memang memiliki
kilas sejarah yang unik dan tak bisa dilupakan. Apalagi sebuah karya yang
“gila” (dalam artian mustahil untuk diselesaikan lantaran kerumitannya),
menurut anggapan sebagian orang, hanya bisa diselesaikan oleh orang yang “gila”
pula. Film The Professor and The Madman ini salah satunya.
Film yang dibesut oleh sutradara handal
Farhad Safini, penulis skenario dan produser film / TV Iran-Amerika (di
antara karyanya adalah Apocalypto, Boss and The Professor dan the Madman), pada
tahun 21 Maret 2019 ini mengawali kisah heoriknya dengan adegan kemurungan
beberapa petinggi akademis kampus Oxford atas proses pembuatan kamus yang
memuat perbendaharaan kata-kata Inggris yang telah memakan banyak waktu namun
tak kunjung usai.
Hingga tiba James Muray (diaktori oleh Mel
Gibson, pembuat film (penulis naskah, produser, dan sutradara) dan aktor Amerika-Australia), seorang
pakar ilmu linguistik, yang bersedia merampungkan proyek besar ini.
Kendati ia sempat diremehkan oleh elite
Oxford lantaran ia tidak menempuh pendidikan formal sebagaimana
professor-profesor Oxford, namun kecakapannya dalam mengurai ilmu linguistik
ini tak bisa ditampik. Profesionalitas dia dalam penguasaan beberapa bahasa dan
sistemastisnya gaya berpikirnya membuat dia akhirnya dipercaya memimpin proyek
besar ini.
Dalam proses pengerjaannya, James Murray
melakukan langkah-langkah yang dianggap radikal dan di luar akal menurut elit
akademis Oxford, mulai dari dicetuskannya ida untuk bekerjasama dengan
masyarakat luas melalui pengedaran ajakan untuk berkontribusi memperkaya temuan
suku kata bahasa Inggris yang dipraktekkan di masyarakat, ditambah melalui
penelusurannya atas sejarah setiap kata pada abak ke 17 dan 18, sampai mengajak
seorang mantan marinir Amerika yang membunuh warga Inggris dan didakwa
"tidak waras" dalam proses penyelesaian kamus ensiklopedia linguistik
ini.
Langkah yang paling terakhir ini yang
menjadi poin utama jalannya cerita, Dr. William Chester Minor (diaktori
oleh Sean Penn, memenangkan gelar Aktor Terbaik untuk Academy Awards
dan Golden Globe Award untuk perannya dalam Mystic River dan Aktor Terbaik
Academy Awards untuk perannya dalam Milk ), yang didakwa sebagai
madman (orang gila), terlibat aktif dalam pengerjaan proyek besar ini tatkala
ia merasa jenuh dengan kondisi penjara dan secara kebetulan ia mendapatkan
edaran ajakan berkontribusi yang terselip di sebuah buku yang tengah ia baca.
Jalinan antara madman dan sang profesor
pun terbentuk, mulai dari bertukar surat (berisi kontribusi tambahan kata
beserta maknanya yang ia gali sendiri melalui buku-buku yang dibacanya ketika
di penjara), hingga pertemuan-pertemuan intensif yang dilakukan di penjara.
Tak ada orang hebat tanpa haters, demikianlah
yang dialami sang profesor. Langkahnya menggandeng si orang gila membuat
dirinya dikecam oleh berbagai pihak, elite akademik yang berhasrat menggantikannya
sebagai kepala proyek pembuatan kamus tak henti-henti merongrongnya, bahkan
media nasional kala itu mengangkat tulisan berjudul "Pembuatan Kamus
Oxford Dinodai Pembunuh Amerika"
Kontribusi yang disumbangkan oleh orang
gila tersebut cukup banyak, setidaknya ada 10.000 kutipan yang ia sumbangkan
untuk kamus EOD (bahkan menurut wikipedia ia dinyatakan kontributor terbesar
KLIK SINI), belakangan ia benar-benar didiagnosa sebagai pengidap gangguan kejiwaan,
dan hal tersebut membuatnya tidak bisa melakukan apa-apa, namun hal itu
setidaknya merupakan hal yang bisa dikenang baik dalam arsip sejarah.
Sang profesor, James Murray berhasil
mengepalai pembuatan kamus tersebut hingga huruf T, tepatnya pada kata
"Turn Down", sang profesor yang pada awalnya diragukan lantara
kualifikasi pendidikannya yang dianggap tidak memenuhi standar (belakangan ia
diberikan gelar Honoris Causa) berhasil meyakinkan bahwa pendidikan tak mesti
didapat melalui bangku sekolah saja, selain tentunya semangat membara
dedikasinya yang perlu diatauladani.
Film berdurasi 124 menit ini tuntas
ditonton pada 19 Agustus 2019 dan menyisakan kesan mendalam.
Kutipan-Kutipan menarik :
"If Love, Then What?" (Eliza Merret). Kata ini diungkapkan oleh seorang janda yang suaminya tewas terbunuh di tangan Dr. Wiliam Chester Minor, belakangan ia jatuh cinta kepada Dr. Wiliam lantaran kebaikannya mengajari membaca, hal ini setelah Dr. Wiliam dengan berani mengakui kesalahannya lantaran menembak suaminya akibat salah orang.
"Saat aku membaca tak ada yang mengejarku. Saat membaca akulah yang mengejar. Mengejar Tuhan." (Dr. Wiliam Chester Minor). Ungkapan ini dilontarkan oleh Dr. Wiliam kepada Eliza Merret saat mengajari Eliza, hal ini juga untuk memotivasi Eliza lantaran ia selalu merasa terganggu dengan kejaran-kejaran masa lalu yang tak kunjung hilang.
Kutipan-Kutipan menarik :
"If Love, Then What?" (Eliza Merret). Kata ini diungkapkan oleh seorang janda yang suaminya tewas terbunuh di tangan Dr. Wiliam Chester Minor, belakangan ia jatuh cinta kepada Dr. Wiliam lantaran kebaikannya mengajari membaca, hal ini setelah Dr. Wiliam dengan berani mengakui kesalahannya lantaran menembak suaminya akibat salah orang.
"Saat aku membaca tak ada yang mengejarku. Saat membaca akulah yang mengejar. Mengejar Tuhan." (Dr. Wiliam Chester Minor). Ungkapan ini dilontarkan oleh Dr. Wiliam kepada Eliza Merret saat mengajari Eliza, hal ini juga untuk memotivasi Eliza lantaran ia selalu merasa terganggu dengan kejaran-kejaran masa lalu yang tak kunjung hilang.
Ini thriller-nya :
A Time to Kill
Detroit
0 komentar:
Posting Komentar