Juli 18, 2019 -
Renungan
No comments
Filosofi Gelas Kosong
Seorang santri adalah sosok yang mewakafkan dirinya untuk syiar dan dakwah Islam. Saat orangtua mengantar anaknya ke pondok, mereka percaya betul bahwa pondok adalah tempat terbaik bagi sang buah hati menempa diri menjadi pribadi yang matang dan mumpuni untuk menjadi penerus dakwah Islam.
Saat di pondok, santri dituntut
untuk maksimal menjalankan perannya sebagai sosok penimba ilmu. Segala upaya
perlu dicoba untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan berkualitas. Merujuk
kepada dawuh yang diucapkan oleh Imam
Ibnu Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan
al-Ilmi wa Fadhlihi :
فَاعْلَمْ
بِأَنَّ اْلعِلْمَ بِالتَّعَلُّمِ وَالْحِفْظِ وَاْإلتْقَانِ وَالتَّفَهُّم
“Ketahuilah bahwa ilmu itu
didapat dengan belajar, menghafal , pendalaman materi serta pemahaman materi”
Seorang santri perlu belajar, menghafal dan mendalami materi yang diajar untuk menjadi santri yang sejati.
Seorang santri perlu belajar, menghafal dan mendalami materi yang diajar untuk menjadi santri yang sejati.
Jika seorang santri menanyakan
apakah amalan yang mampu menjadikannya hebat dan berkualitas? Jawabannya adalah
bait-bait tadi : belajar, menghafal, dan memahami pelajaran.” Hanya dengan itu
mereka mampu mewujudkan jati diri santri yang sebenarnya.
Nasihat bijak mengatakan bahwa penimba ilmu harus bersikap laksana gelas kosong : menerima nasihat bijak dari
guru, menerima asupan baik dari sang guru, mewarnai diri dengan pengamalan ilmu
yang diajarkan guru.”
Filosofi berlaku sebagaimana
gelas kosong adalah hal yang wajib diamalkan oleh setiap santri yang
menginginkan hasil yang utuh selama mondok
di pesantren. Menjadi gelas kosong berarti merasa kosong, polos, dan merasa
perlu untuk diisi air. Dengan prinsip seperti ini ia akan merasa bodoh dan akan
terus berlajar untuk meningkatkan kapasitas pengetahuannya.
Gelas yang penuh hanya melahirkan
kemubaziran saat ada air keran mengucurkan curahan air di atasnya. Ia tak akan
menerima apa yang diajarkan oleh sang guru, karena dalam hatinya sudah penuh
dengan klaim-klaim sepihak bahwa dirinya sudah pintar dan bisa.
Seorang bijak bestari
mengingatkan bahwa ada dua orang yang tak akan pernah belajar selamanya : yakni
mereka yang pemalu dan mereka yang sombong
“Rajulani la yata’allamani
abadan : al-Mustahyi wal Mutakabbir.”
Dari sana lahir definisi santri, yakni mereka yang terus merasa kurang puas terhadap ilmu yang
mereka miliki (bukan berarti tidak syukur, senantiasa merasa haus
akan pengetahuan) dan terus berupaya menjadi yang terbaik dengan cara belajar
kepada siapapun tentang appaun yang mengandung manfaat untuk sesama.
Bilik Kamar 6 MDS, Darussunnah
Ciputat, 19 Juli 2019
0 komentar:
Posting Komentar