Desember 26, 2016 -
Darussunnah,Intelektual
No comments


Perbandingan Kritik Sejarah dengan Kritik Hadis
PENDAHULUAN
Anggapan
bahwa istilah kritik hadis lahir dari luar islam adalah keliru. Karena dalam
dunia hadis sudah dikenal jauh-jauh hari istilah kritik-mengkritik, hal ini
sebagaimana dituturkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim al-Rozi (W. 327 H). Kritik
hadis adalah upaya untuk menyeleksi hadis sehingga dapat diketahui mana hadis
yang shahih dan mana hadis yang tidak shahih. [1]
Kritik
adalah sebuah teguran. Dan ia tidak melulu berkonotasi negatif. Kritik bahkan, pada
beberapa konteks, ia bisa bermakna sebuah dorongan menuju kebaikan. Kritik bisa
bermakna tanda cinta.
Ujian dari
Allah yang ditimpakan kepada hamba-Nya adalah sebuah teguran. Kritik.Merupakan
suatu yang sudah dimaklumi, kepada orang yang kita kasihi, jika ia tengah
berjalan menuju marabahaya, tentu kita akan memperingatkannya. Bukan karena
benci, tapi karena khawatir ia akan celaka.
Demikian
dalam kajian hadis, bahasa kritik adalah membuktikan bahwa kita memerhatikan
kajian sunnah Rasulullah Saw tersebut. Dikaji dan dipahami, dibersihkan dan
dihilangkan segala penyelewengan yang masuk di dalamnya, untuk kemudian
diimpelementasikan ke dalam tingkah keseharian. Dilangsungkan dalam aktivitas
keberagamaan.
Masih pada
tataran kajian yang sama, yakni melacak kredibilitas kualitas periwayatan
sebuah berita, sejarah juga memiliki standar kritik dalam disiplin
keilmuan-Nya.
Baik metode
kritik dalam hadis maupun kritik dalam sejarah, keduanya menarik untuk kita
kaji. Bagaimana bentuk keduanya? Bagaimana perbandingan keduanya? Mana yang
lebih berkualitas? Bisakah dipadukan?
Pada makalah
ini akan kami kupas sekelumit perbandingan antara kritik hadis dan kritik
sejarah.
PEMBAHASAN
Berdasarkan
pengamatan ahli, antara hadis dan sejarah, dalam ranah kritik, ditemukan satu
rumpun kajian yang sama, yakni keduanya memusatkan kajian pada penentuan
kualitas sumber berita periwayatan dari masa silam.[2]
Bentuk
kerjanya adalah dengan melakukan pelacakan kualitas sang penyampai
berita/narator, berikut keabsahan materi sejarah yang di bawa. Hal ini menjadi
penting karena untuk mencari acuan pandangan, seorang tak bisa lepas dari
warisan masa lalu, berupa peninggalan budi, etika, dan benda, yang menjadi
patokan berkehidupan kita di masa kini.
Keduanya
memiliki tujuan yang sama. Mencari keotentikan sumber pegangan sebuah landasan.
Tujuan
mendalami perbandingan antara dua metode ini, kritik hadis dan sejarah adalah
untuk mencari yang terbaik antara kedua metode, agar nanti bisa diberlakukan
simbiosis mutualisme dalam ranah pemantapan teori penerimaan sebuah berita.
Apakah
memungkinkan Hadis mengambil metode yang dipakai dalam sejarah terkait metode
selektifikasi sebuah berita, atau malah sebaliknya.[3]
Kritk
Menurut Sejarawan
Dalam
kacamata sejarah, kritik sejarah bermakna mengulas unsur-unsur yang telah
terjadi di masa lalu. Unsur-unsur itu dalam bentuk kongkritnya adalah
jejak-jejak kehidupan masa silam. Tercakup di dalamnya segala hal peristiwa
yang terjadi, dinamik dan romantisme yang terjadi di dalamnya. Jika semua unsur
itu ada, maka sejarah dinilai utuh.
Jika tidak
maka ada cacat di dalamnya. Maka dari itu, dalam kajian kritik sejarah ada
sebuah ungkapan masyhur, “jika unsur-unsur masa lalu menghilang, maka lenyaplah
sebuah sejarah.”[4]
Langkah-Langkah
Sejarawan dalam Menghimpun Data
Dalam
mengemas data-data sejarah, sejarawan setidaknya memiliki dua langkah sebagai
berikut,pertama. peneliti mengumpulkan seluruh data-data sejarah yang
dapat diperoleh. Kedua, setelah data berhasil dikumpulkan, peneliti
mengadakan kritik, filter, dan pemurnian atas konten sejarah tersebut, demi
membuktikan keabsahan dan otensitas sebuah sejarah.
Periode
pertama dalam menyikapi data sejarah adalah memastikan keabsahannya.Mengulik
dari berbagai perspektif kesejarahan soal objek yang tengah dikaji. Kemudian
dilakukan penelitian ulang mengenai data terhimpun dari perspektif yang lain
demi tercapainya keotentikan sebuah data yang mapan. [5]
Rangkaian
Filterisasi Data Sejarah
Seorang ahli
kesejarahan, Hasan Ustman, berkata mengenai tahap-tahap penyaringan sebuah
data, “Usai data dikumpulkan, peneliti diharuskan memahami periodisasi
penulisan. Karena semakin jauh waktu terjadinya peristiwa dengan penulisan
sejarah maka akan semakin mengurang kualitas data. Karena ingatan tak bisa
diandalkan. Ia berpotensi menghilangkan detil-detil khusus, meski ia memliki
komitmen kejujuran yang kuat dan mudah mengingat masa lalu.”
Apa yang
dikatakan Hasan Utsman merupakan sebuah gagasan yang patut direnungi dan
diaplikasikan dalam penelitian di lapangan. Tradisi menghafal data menggunakan
memori ingatan merupakan posisi rawan, menulis adalah sebuah solusi untuk
mengabadikan ide dan gagasan.
Maka dari
itu perlu diperhatikan dimana ia mencatat data tersebut. Apakah di tempat
kejadian atau di tempat yang jauh, yang ia bawa catatan tersebut dalam ingatan.
Dan itu jelas mempengaruhi kadar kualitas sebuah berita.
Walhasil, ketika
praktik memastikan keotentikan zaman dan tempat dimana data sejarah usai
ditulis dan dikumpulkan, maka peneliti baru mengadakan analisa.[6]
Dalam
menganalisa, ada dua cara yang harus dilakukan bagi seorang peneliti,
- Naqd Batini Ijabi, menganalisa unsur sejarah dengan tujuan mendalami makna lafazh dan maksud dari penulis atas apa yang ia tulis
Pada konteks
ini kita diperintah untuk mengkaji sejarah dari segi linguistik. Kajian
kebahasaan yang lebih memeirntah pada penelisikan teks materi sejarah.
Unsur-unsur yang
dikaji dalam Naqd al-Bathini al-Ijabi meliputi :
- Perubahan bahasa pada seiring berbedanya masa.
Perlunya dipahami dengan zaman penulis. Bahasa mempresentasikan budaya,
demikian ungkap tokoh. Dari sana maka penting kiranya memahami bahasa tempat
sebuah data direkam, karena ia akan menggambarkan sosio-kultural sebuah berita.
- Perubahan makna bahasa seiring berbedanya dialek.
Demikian
karena pada setiap daerah memiliki kekhususan pelafalan bahasa (dialek). Hal
ini menjadi penting mengingat kesalahan mengkontekskan dialek akan berimbas
pada penyimpangan makna yang diusung.
- Perbedaan uslub bahasa yang digunakan seiring berbedanya penulis.
Menulis
adalah aktivitas penyampaian gagasan. Dalam gaya penyampaian itu, terdapat
subjektivitas yang berkelit-berkelindan. Seorang penulis bergenre perlawanan
berbeda citarasanya dengan penulis berjiwa diplomat. Maka perlu diadakan
pemeriksaan lebih dalam mengenai makna data sejarah tersebut.
- Diperlukannya penafsiran lanjutan atas konteks umum pembicaraan penulis mengenai sejarah.
Dalam
penganalisaan data tak boleh ada kata-kata yang masing menggantung. Menyoal
data sejarah adalah menyoal kepastian berita, penetapan tanggal dan pelaku
sejarah tak boleh keliru.
Kajian akan
dianggap menuai hasil yang komprehensif jika makna yang dikandung dalam teks
sudah tersingkap dengan jelas.[7]
Langkah
berikutnya adalah yang kedua, Naqd al-Bathini as-Salby.
Naqd
al-Bathini as-Salby adalah praktik inti untuk
menyingkap hakikat data sejarah dan menjauhkan kepalsuan darinya semaksimal
mungkin.
Menurut
Syaril Lanjelo, intelektual ternama, tujuan dilakukan langkah ini adalah agar
tercapainya dua hal :
- Pemastian kejujuran dan keadilan pengarang/penulis
Otentik
tidaknya sebuah berita banyak bergantung pada keotentikan sang
pembawa/penyampai berita. Hal ini dikarenakan sebuah berita mampu dan
berkesempatan dibaca oleh pembaca yang notaben-nya mereka berdiam beberapa
generasi setelahnya.
Maka
pendalaman atas sang penyampai berita amat signifikan demi keselamatan data
berita.
- Pemastian kejujuran pengetahuan dan totalitas esensi yang terkandung di dalam karya tersebut.
Selain
mengulas narator, objek yang dibawa juga penting untuk diteliti lebih saksama. Hal
ini mungkin, dalam praktik pengkroscek keabsahannya, bisa disandingkan dengan
keakuratan data-data lain yang menyinggung tema yang sama.[8]
Pemastian
Kejujuran dan Keadilan Penulis/Pengarang
Untuk tujuan
ini, Syaril Lanjelo menuliskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh sang
penulis sejarah
- Penulis sejarah dilegalkan berbohong karena satu sebab.Maka dari itu perlu ditegaskan beberapa hal :
a)
Apa tujuan
penulis dalam mengkodifikasi data sejarah.
Tujuan
adalah kepentingan. Atas dasar kepentingan apa sejarawan mengumpulkan sejarah. Bertentangankah
antara tujuan luhur sejarawan dengan
kepentingan profan. Hal ini perlu dtegaskan mengingat sejarah kerapkali
dilumuri dengan distorsi pihak-pihak tertentu.
b)
Dari
parsialitas tema, tujuan apa yang kira-kira hendak diangkat
Besarnya
tema pembahasan hanya membuat hasil menggantung. Dari skala besar sebuah tujuan,
butuh pengkhususan demi sebuah keterangan hasil pengolahan data.
c)
Apa
keuntungan buat pribadi penulis
Jangan
sampai tendensi individualis merangsek menuju tujuan ditulisnya sejarah. Hal
ini tentu akan mengotori keluruhan sebuah berita mengenai peristiwa masa lalu. Ketika
ini dilegalkan, maka sejarah tak lagi patut untuk dilirik dijadikan panutan,
dan tak elok pula untuk terus kita perbincangkan.[9]
- Perlunya mengetahui apakah penulis melakukan pendustaan, dan adakah hal-hal memberatkan di atas kemampuannya yang kemudian menyebabkan dia untuk melakukan demikian?
- Potensi adanya kecenderungan penulis atas suatu golongan tertentu. Apakah lantaran demikian penulis menyajikan data palsu demi mendukung golongannya?
- Apakah sikap kebohonganya mempengaruhi penulisan fakta dan menyandarkan sesuatu untuk kepentingan pribadi?
- Apakah ia terpengaruhi oleh maksud pemerintah saat itu?
- Apakah ia menulis dengan uslub yang disetujui pemerintah dengan mengesampingkan uslub hakiki dalam penulisan sejarah, meninggalkan sebagian dan mengambil sebagian lain di tempat lain.[10]
Seandainya
semua pertanyaan sudah terang, maka sejarawan bisa memastikan soal kejujuran
dan keadilan penulis sejarah, atau sebaliknya.
Kemudian,
dalam memetakan pembahasan mengenai kepastian kejujuran materi sejarah, menurut
Syaril Lanjelo, ada dua hal yang dibahas :
- Bagaimana seorang peneliti memanfaatkan kondisi fisik dan akalnya yang sehat dalam mengkaji data, yang dengan demikian ia dapat memberikan informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan
- Apakah seorang peneliti memenuhi syarat penelitian dan kecakapan nalar sehingga dapat menyajikan hasil olah lapangan yang bagus.[11]
Ini semua
adalah keseluruhan apa yang bisa dilakukan seorang sejarawan dalam mengumpulkan
data dan mengkritisi penulisnya demi memastikan keotentikan penulis dan materi
yang didapat.
Keseluruhan
asas tersebut, jika diringkas menjadi seperti ini :
- Mengumpulkan segala data yang bisa ia dapat
- Memastikan otensitas data
- Analisa data dan praktik naqd al-batini al-ijabi untuk memastikan keabsahan makna dari lafadz dan tujuan yang dimaksudkan oleh penulis
- Naqd al-bathini as-Salbi terdiri dari dua komponen : memastikan kejujuran dan keadilan pencatat sejarah serta memastikan kebenaran data yang disampaikannya.[12]
Komparasi
Dua Metode
1.
Mengumpulkan
data secara keseluruhan.[13]
Keduanya
memiliki kesamaan metode. Mengumpulkan data secara komprehensif membuat hasil
kajian atas data-data yang terhimpun lebih matang. Lebih menemukan perbandingan
dan nilai yang disimpulkan.
2.
Antara Hadis
dan Sejarah keduanya sama-sama menuntut keabsahan dan keotentikan sebuah nash.[14]
Meski
demikian, syarat-syarat yang diajukan dalam kritik hadis jauh lebih kuat dan
lebih lengkap dari sekadar kritik sejarah.
Dalam
penelitian, keduanya sama-sama mengulas seputar jenis kertas dan tulisan yang
terdapat dalam sebuah teks. Anggapan awal bahwa hadis alpa dalam hal ini
terbantahkan. Lebih jauh, bahkan hadis lebih unggul dalam hal ini.
3. Analisa
nash agar ditemukan maksud lafazh dan pengarang.[15]
Muhaddis
dalam hal ini banyak memainkan penelitian2 parsial, terperinci, hal ini tidak
terjadi di kalangan sejarawan.
4.
Melakukan kritik dari sisi negatif
pembawa berita demi tercapainya kredibilitas periwayat.[16]
Dalam hal
ini, sekali lagi hadis lebih unggul, karena syarat diterimanya periwayatan,
seorang perawi haruslah bersih dari segala keburukan.
Perbedaan
Antara Keduanya
Pondasi
tataran keilmuan dunia hadis dibangun dari kejujuran, kredibilitas,
keberagamaan, akal, kesadaran, dan kematangan.
Berbeda
halnya dengan standar baku yang dibangun dalam disiplin ilmu sejarah. Dimana
seorang dianggap aman manakala ia membawa berita yang benar dalam penyampaian
sejarah, meskipun dalam hal lain ia kerap melakukan kebohongan
Hal ini yang
menarik untuk kita pertegas kajiannya. Dalam ranah sejarah, kebohongan yang
bersifat individual yang dilakukan dalam keseharian tidaklah menjadi penghalang
bagi keotentikan periwayatan berita ketika berita yang dibawa dianggap telah
otentik.
Jika kaidah
ini yang tetap dipertahankan, maka akan terjadi kerancuan periwayatan nantinya.
Seorang yang dibiarkan leluasa berbohong dalam kesehariannya, dalam artian tak
ada undang-undang yang memberlakukan persangsian atas kebohongan yang ia
lakukan, maka dikhawatirkan akan keterusan dan kebablasan dipakai saat
melakukan periwayatan.
Hal ini
tentu berbeda dengan kaidah yang ditetapkan dalam metode kritik hadis. Jika ia
ketahuan dalam kesehariannya pernah melakukan kebohongan, maka dalam
periwayatannya pun kekeredibelannya dipertanyakan. Hal ini karena satu, dalam
kajian hadis, materi yang dibawa adalah hal yang sakral dan tidak bisa dilakkan
intervensi.
Seandainya
dalam kajian sejarah juga melakukan demikian, maka sebuah berita sejarah akan
terawat orisnilitasnya tanpa campur tangan orang-orang yang berkepentingan.
Sehingga hal
demikian jelas akan mengurangi kualitas periwayatan.
Keunggulan
Metode Kritik Hadis
Sehingga,
dalam hal ini, metode yang dikemukakan oleh hadis lebih unggul ketimbang
sejarah. Hal demikian karena dalam
kritik hadis ditemukan keketatan yang tidak ditemukan dalam krtik sejarah. Jadi
kritik sejarah, belum, bahkan tidak akan, mampu menyaingi kualitas kritik
hadis.[17]
Sebagai
jawaban dari pertanyaan di pendahuluan, berdasarkan hasil pemeparan di atas, maka
metode yang dipakai oleh hadis bisa menjadi penyempurna dalam kajian kritik
sejarah.
[1]Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta:Pustaka Firdaus,
2011), hal. xiv
[2]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 91
[3] Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 91
[4]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 91
[5]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 92
[6]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 93
[7]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 93-94
[8]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 94
[9]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 94
[10]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 95
[11]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 95
[12]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 95-96
[13]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 96
[14]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 97
[15]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 100
[16]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 100
[17]Musthafa A’zhami, Manhaj an-Naqd Indal Muhadditsin, (Saudi :
Maktabah al-Kautsar, 1990), hal. 102
0 komentar:
Posting Komentar