Agustus 29, 2016 -
Darussunnah,Renungan
No comments


Obrolan Soal Serpih Luka
Menyambut pagi dengan detap tuts di atas laptop adalah surga
bagi saya. Betapa dalam kehidupan kita begitu melimpah rangkai kejadian yang
amat rugi jika disia-siakan. Kalau kemudian Pram mengatakan bahwa menulis itu
mengabadikan penulisnya, tentu saya sepakat dengan beliau.
Salah seorang Tokoh, sebut saja MM Azami, seorang pakar
khazanah hadis asal India, mengatakan dalam buku “Sejarah Teks Al-qur’an”nya
bahwa dimulainya sebuah peradaban ditandai dengan ditemukan sebuah tulisan.
Yeaah....
Pagi ini saya akan menulis tentang luka. Apa itu luka dan
sejauh mana ia akan mempengaruhi aktivitas kehidupan saya.
Luka adalah saat kau merasa tidak nyaman menjalani
rutinitas. Luka adalah cacat yang mengusik ketenangan hidup. Luka adalah saat
kau dicampakkan seorang wanita hanya karena ia salah menilaimu. Shit This!
Okeh, langsung saja, luka yang saya maksud disini adalah
sebuah kubangan perih di sebagian kujur tubuh saya yang tercipta akibat motor
yang saya kendarai bersama Noris usai jalan-jalan mengunjungi 15 teman-teman
KKN yang tersebar dari Rumpin Hingga Pangradin, jatuh saat melintasi jalanan
lurus di bilangan BSD usai membentur polisi tidur yang cukup besar namun tak
diimbangi dengan fokus ekstra, yang pada akhirnya membuat motor limbung dan
penunggangnya terpelanting cukup jauh, terguling-guling dashyat dan akrobatik,
lalu memperanak luka yang cukup perih ini.
Kecelakaan itu menggurat luka di kedua tangan dan kedua
dengkul saya, lokasi tempat saya menyangga tubuh saat terhempas dari motor
berkecepatan lumayan tersebut. Luka tersebut cukup mengentak kesadaran saya,
sakitnya cukup menggoyahkan sanubari, bukan hanya itu, perasaan kaget dan
ketidaksiapan saya untuk jatuh itulah yang membuat dada berdebar ketakutan.
Shock.
Terhitung dari Jum’at malam (19-08-2016) hingga tulisan ini
diketik (Rabu 24-08) luka itu masih mendekam di tubuh saya. Semakin hari
semakin memulih. Tinggal telapak tangan kiri mungkin yang masih cukup lebar
menganga, lukanya.
Luka yang saya idap tersebut berhasil membuat saya sedikit
tak berdaya. Mulai dari berjalan, membuka bungkusan, wudhu, buang air, hingga
menulis, semua saya lakukan dengan kepayahan. Tubuh tidak prima dan itu juga
yang turut andil membuat semangat juga mengalami dekadensi.
Kendati demikian,
Ada banyak hal yang bisa saya ambil pelajaran dari kejadian
ini selain tentu saja saya harus lebih berhati-hati dalam berkendara. Betapa
kita, manusia, amat terbatas waktu yang Allah anugerahkan kepada kita. Allah
bisa saja mencabut hidup saya seketika itu dengan mempercepat laju mobil di belakang
saya sehingga saat saya terpelanting bisa langsung disambut dengan hantaman
bertubi dari mobil tersebut, tapi rupanya Dia masih berbelas kasih kepada kami.
Allah amat paham tentang perandai-andaian kita soal
nikmatnya menikah.
Apa yang bisa kita lakukan saat ini dengan hanya
menjentikkan jari saja, saking mudahnya, belum tentu bisa kita lakukan pada
esok hari. Hari ini kita bisa berjingkrak-jingkrak ria, belum pasti kita mampu
melakukan hal serupa pada esok hari. Itu rahasia ilahi.
Sembari kita memahaminya dengan lugas, mari mulai sekarang
kita pergalak kembali makna sykur yang sebenar-benarnya. Yakni menggunakan
semua nikmat yang Allah berikan sesuai tempat yang diinginkan pemberinya.
Sekuat mungkin kita berusaha.
Mumpung ada waktu untuk membaca, maka bacalah buku, biar
sedikit berpengetahuan. Selagi ada kesempatan untuk menulis, menulislah sekadar
menumpahkan refleksi hidup yang kau jalani. Mumpung masih ada masa untuk
membaca, mengulang, dan menambah hafalan Al-Qur’an, mari kita lakukan semua itu
dengan hati yang mantap.
Mumpung, selagi, mumpung, selagi, dan seterusnya.... mari,
ayok, coba, dan selanjutnya....
Semoga kita diberi kemenangan dalam hidup ini. Amien.
Tempat Asketis, Kamar 7 Darsun, Rabu 24 Agustus 2016.
*Diiringi doa dan harapan agar apa yang saya tulis di atas
bisa menelusup ke dalam hati, berkembang di jiwa, dan menyeruak ke dalam
tingkah dan laku keseharian.
Wallahul Muwaffiq
0 komentar:
Posting Komentar