Juli 21, 2016 -
Motivasi
No comments


Menulis Demi Kepuasan Pribadi
Saya adalah penikmat sastra. Lama saya bertualang dalam dunia literatur, menjamah fiksi atau non fiksi, merambah diktat perkuliahan, beringsut ke dunia cerita persilatan, melipir ke kisah seribu satu malam, digiring lagi pada belantara diskusi pemikian, sosial keagamaan, terbawa badai antologi cerita pendek, kemudian tenggelam di antara baris bait puisi. Pada kesimpulannya, sastra amat mendominasi, begitu berkesan.
Tutur kata yang disampaikan sastra lembut sekaligus renyah. Untuk
mengonsumsinya amat mudah dan jarang kita mengernyitkan dahi tanda kesusahan mencerna materi. Kerapkali
kita digiring pada andai yang tak berkesudahan, disingkirkan sejenak dari pekat
realita yang menyesakkan dada menuju sebuah dunia yang amat purna berikut
gemerlap yang diusungnya. Ah, aku mungkin menulis seperti ini sebab Eka
Kurniawan dengan Lelaki Harimau-nya yang berhasil mengobah laju bahasa penulisan ku.
Atau mungkin karena liburan, sehingga buku-buku beraliran
sastra begitu deras menjumpai saya. Biasanya, saat aktif perkuliahan dan
pengajian, saya acapkali tenggelam dalam dunia non fiksi. Buku-buku serius
berisikan kalimat-kalimat kekinian, dibarengi bobot berat teori pemikiran pakar
intelektual, dibingkai dengan alur baris yang minim jeda, menjadi santapan hangat setiap waktunya.
Hmm. Entahlah.
Hmm. Entahlah.
Intinya aku jatuh hati pada kesusastraan. Terkhusus karena
kata-katanya yang sering membuai, dan karenanya, kemudian saya menjadi pembual.
Lewat permainan kata, orang yang dungu lagi pecundang bisa terkesan gagah dan
elegan. Huahaha.
Berbicara soal nikmat-menikmati, tentu ada titik
penghabisannya. Seorang anak kecil yang disuguhi Es Krim terlezat pujaan
perutnya, saat ia tiba pada titik terpuasnya, ia akan merona bahagia seraya
mengumandangkan kata, “ENAAAAAKKK!”
Juga Pasutri (Pasangan Suami-Istri), saat mereka berdua
saling menghabisi di atas ranjang, menggelontorkan hasrat pada lawan, menggelinjang
seraya menjerit keasyikan (efek baca buku Djenar Maera Ayu), akhirnya mereka
tiba pada titik klimaks sebuah rasa, dimana saat itu, sebagaimana komentar yang
pengalaman, tak ada nikmat yang melebihi nikmat saat mendesah berat tatkala berlangsungnya
orgasme. Tssaaaahhh! (21+)
Setali tiga uang, demikian soal mengudap sajian sastra. Bukan hanya
sastra sebenarnya, semua literatur bacaan yang dinikmati dari berbagai alur
disiplin pengelompokan genre bacaan, tentu akan ada titik klimaksnya. Ada yang sebatas
terharu-biru lalu sendu. Ada yang tegelak tawa, terpingkal-pingkal keasyikan. Ada
yang menggaruk-garuk jidat lantaran kesal tidak menemukan puncak orgasme
pembacaannya. Atau bahkan, dan ini yang paling dewa menurut saya, ia akan
menumpahkan hasil bacaannya ke dalam sebuah tulisan penuh makna.
Ide-ide yang ia punya dikembangkan melalui pisau analisis
yang didapat hasil pembacaannya tadi. Perbendaharaan kalimat dan
gagasan-gagasan brilian tentu akan mensupport sebuah ide yang akan ditulis.
Menulis bisa menjadi ladang mengeruk pundi. Namun itu butuh
proses yang tidak mudah. Sementara kita berproses, mending kita nikmati saja
kenikmatan yang ada. Menulis, sebagaimana dikemukakan di depan adalah buah
pelampiasan membaca.
Dan pohon disebut ciamik jika dia menghasilkan buah yang
berbondong-bondong. Membacalah sebanyak-banyaknya, sekaya-kayanya, sekuat-kuatnya,
sebadai-badainya, segila-gilanya, semampus-mampusnya, kemudian orgasmelah di
lubang yang pantas. Kau bisa bersenggama sepuas-puasanya lewat membaca, lalu
alirkan buncah dan gelegaknya lewat tinta yang kemudian luruh di atas pemukaan
kertas.
Menulis untuk kepuasan pribadi itu penting.
Sepenting kehadiranmu untuk hilangkan sepi hidupku...
agar hatiku tak berjelaga lagi, Cinta! (Dian Effect)
Bintaro, Jum’at 22 Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar