Juli 23, 2016 -
Motivasi
No comments


Mari Belajar Dari Pria Berkaki Enam
![]() |
www.nonaina.wordpress.com |
Seharusnya kita iri kepada pria berkaki enam tersebut. Lewat
penuturannya, soal ia mesti berjalan selama setengah jam ke musholla demi
melangsungkan shalat berjama’ah, tentu itu amat menyentak kita sebagai sosok yang
mempunyai anggota tubuh sempurna namun enggan mensyukurinya. Tertampar kita
olehnya.
Sebut saja Mas Ipung. Ia pria paruh baya yang mengalami
tunas daksa. Kaki dan tangannya yang tak memenuhi standar kebanyakan manusia,
membuat dirinya terpaksa harus menggunakan tongkat pemapah berkaki 4. Dengannya
ia menjalani kehidupan sehari-hari, dikawani tongkat yang sudah menjadi bagian
hidupnya.
Ia bertempat tinggal di Parung Panjang, Banten. Kemarin, tanggal
23 Juli 2016, baru saja ia bertandang ke rumah, bersilaturahmi dengan ayahanda
dan keluarga. Sukar dilukiskan bagaimana sukarnya ia menempuh perjalanan yang
kian jauh tersebut. Kendati demikian, alhamdulillah tuturnya, banyak orang
selama perjalanan yang setia membantunya.
Di dalam rumah, ditemani sesuguhan ala kadarnya, ia
mengisahkan soal geliat kehidupannya di rumah. Ia tinggal bersama mamak yang
sudah sepuh berumur delapan puluhan. Sikapnya yang pikun membuat Mas Ipung
harus waspada mendampinginya. Jangan biarkan sang Mamak memanaskan sayuran di
dapur, tukasnya, karena ia nanti akan lupa memadamkan percik jago merah.
Pernah sesekali ia pergi ke mushallah, dengan anggapan bahwa
mamaknya tak akan memanaskan sayur. Namun nahas, sang mamak malah
memanaskannya. Pulang pulang, Mas Ipung kemudian dikejutkan dengan panci yang
sudah menggosong dan kepulan asap yang pekat. Untung saja tidak merambat ke
selang gas yang kemudian akan meramat menuju ledakan tak terhingga, serta
untung saja atap langit rumahnya terbuat dari semen, karena kalau tidak, akan
ludes rumah sekomplek, ujarnya.
Adzan Isya dikumandangkan dan kita menyudahkan pembicaraan. Di
bawah kepungan gerimis kita melanjutkan aktivitas shalat berjama’ah bersama di
Mushalla depan rumah. 10 meter jaraknya.
Pria berkaki 6 bangkit dari kursi menuju Mushallah. Oleh
karena keterbatasannya, jarak 10 meter baginya adalah jarak yang lumayan
membentang. Kalau dibiarkan berjalan tanpa payung, tentu hujan akan
menertawakannya. Maka, dengan perasaan iba sekaligus terkagum-kagum, saya
meraih payung dan meneduhkan Mas Ipung dari serbuan air langit yang semakin
menderas.
Usai jama’ah Isya bubar, ia pamit, hendak pulang. Dengan
pengiringan do’a agar kelak kita semua diberkahi Allah, senyum
persaudaraan resmi menutup perjumpaan kita dengannya hari itu.
Ada pelajaran berharga yang bisa kita petik dari interaksi
singkat saya dengan Mas Ipung barusan. Tuna Daksa yang ia alami memang agak
mempersukar keseharian hidupnya, namun untuk melakukan kebaikan, ia tetap
konsisten menjalankannya. Silaturahmi dan berjuang menolong orang lain tetap
tidak dia tinggalkan.
Kalau yang seperti Mas Ipung saja bisa melakukannya, mengapa
kita tidak?
0 komentar:
Posting Komentar