Maret 10, 2016 -
Darussunnah
No comments


Usrah = Sebilah Pisau (?)
Keputusan ini bagai sebilah
pisau. Bisa digunakan sebagai alat pencacah bahan makanan dan alat mengiris
tubuh seseorang. Semua tergantung seberapa arif kita mengatur kendali sebuah
fasilitas.
Di tangan seorang koki handal, sebilah
pisau berfungsi sebagai pengantar keberhasilan karirnya di dunia kuliner. Di
sisi lain, di tangan seorang pembunuh bayaran nan bengis, pisau meminta banyak
korban berjatuhan.
Kalau mau kita telisik mendalam,
pikiran seseorang begitu berpengah dalam hal ini. Pikiran positif mampu meramu
fasilitas yang tersedia menjadi anugerah yang tak terkira buahnya, sebaliknya,
pikiran negatif hanya akan membuntukan laju pikir kita serta mampu membumihanguskan
sisi kebaikan yang ada dalam diri kita.
Maka,
teruslah beprikir positif, enyahkan jauh-jauh paradigma negatif. Semoga Tuhan
membimbing kita menuju cita-cita kebaikan.
Keputusan yang dipilih oleh Dept.
Pengajaran IMDAR 2016 soal penetapan ketua Usroh pengajian di Darus-Sunnah
teramat mengejutkan. Tanpa diduga, saya termasuk jajaran ketua dari sebuah kelompok
diskusi di Darus-Sunnah tersebut.
Menjadi
ketua usroh berarti mengepalai komunitas belajar yang beranggotakan 11 orang
dan dihelat pada setiap pagi dan malam dengan jangka selama 4 bulan. Berhimpun
di dalamnya mahasantri Darus-Sunnah dari berbagai semester. Mulai dari junior
saya, semester 2, kawan sengakatan saya, semester 4, hingga senior-senior saya,
semester 6 dan 8, semua tergabung di dalamnya.
Usroh
adalah kalimat berbahasa Arab yang berarti keluarga. Tidak mengherankan kalau
istilah demikian yang dikenakan, mengingat bahwa selama kami mondok di
Darus-Sunnah komunitas belajar ini memang kehadirannya mewakili keluarga. Pagi
dan malam kita berkumpul bertukar wawasan. Pagi dan malam kita berhimpun
membuka cakrawala intelektual.
Usroh yang
saya kepalai bernama Bukhari, berjumlah 12 orang. Dengan rincian nama sebagai
berikut : Ja’far Tamam, As’ad Fauzan, Zhafirul Badri, Herli Ramdhani, Enceng
Ahmad Zubaidi, Arinal Haq, Faris Maulana Akbar, Dimas Rahman, Abdul Aziz
Matalih, Diki Ramdhani, Arif Syuhada, Ilham Pamungkas.
Layaknya
dalam keluarga, sang kepala memiliki tugas inti, yakni melestarikan kekamuran
dalam rumah tangga. Yang dalam hal ini mungkin bisa ditafsirkan dengan
terciptanya gairah intelektual yang meletup-letup saat diskusi, antusias saat
mengkuti jalannya pelajaran, kesiapan setiap Penanggung-Jawab (PJ) atas materi
yang hendak disampaikan, kesigapan hadir tepat waktu, dan menepati
disiplin-disiplin lain yang telah ditentukan.
Kembali
menarik analogi yang dikemukakan di awal, keputusan ini bagi saya laksana saya
diberikan sebilah pisau. Terserah saya mau dibagaimanakan. Apakah saya hendak
tampil sebagai pembunuh nan bengis, yang berpikiran negatif dan teramat ceroboh
menyikapi sebilah alat, atau menjadi seperti koki, yang dengan pikiran
positifnya, benda setajam itu mampu ia gunakan untuk menyobek sekat-sekat
penghalang menuju cita-cita yang didambakan.
Pagi tadi
saya mendapat sentilan dari Pak Kyai Mustafa. Biasanya, seorang
mahasantri yang tidak mampu menjawab maka pertanyaan akan dilemparkan ke ketua
Usroh. Diki Ramdani, anggota saya tidak mampu menjawab, maka saya yang harus
menjawab. Entah karena memang tidak tahu, perasaan lupa, dan grogi karena baru
pertama menjadi ketua Usroh dan segan di depan Pak Kyai, maka saya tidak mampu
menjawab. Pertanyaannya mudah, hanya disuruh men-tashrif madda
yamuddu saja. Namun demikianlah, saya tidak mampu memuaskan hati beliau
deengan menjawab jawaban yang tepat. Saya harus banyak belajar ilmu gramatikal
bahasa lebih mendalam lagi, agar selamat.
Genderang peperangan telah
ditabuh. Siapkan nyali dan strategi untuk menyiasati tantangan ini. Semoga
berhasil.
Ciputat, 01
Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar