Maret 10, 2016 -
Renungan
No comments


Suatu Pagi di Hari Lebaran
Pada suatu sore yang cerah. Saat
mega merah mulai menampakkan batang hidungnya. Ditemani tawa ceria kawanan anak
kecil yang larut bermain di pekarangan, bahagia jalani detik demi detik
kehidupan. Angin segar menerpa diriku yang asyik menyaksikan geliat kehidupan
nan menenteramkan.
Lazimnya, pada waktu senggang
seperti sekarang ini, saat semesta seperti menjajakan ketenangan bagi jiwa,
pikiran ku melanglangbuana menuju dunia masa lalu yang penuh nostalgia. Biasanya,
tak lama kemudian, mengalir potongan-potongan masa lalu berkelebat meramaikan
perasaan. Entah kenapa, hampir pada setiap jiwa manusia, tatkala tiba masa yang
tenang dalam hidupnya, kepingan-kepingan hidup yang telah berlalu hadir kembali
mengisi kehidupan. Tak jarang ia kemudian menciptakan sesungging senyum di
pipi.
Kenyataan yang dialami oleh
manusia memang terkadang penuh kepenatan, kejenuhan, bahkan kebusukan. Butuh
penawar yang berfungsi sebagai asupan keseimbangan jiwa. Supaya hidup seimbang,
memang dibutuhkan racikan rasa yang beragam, asam-manis-pedas-pahit-gurih-sedap-maknyus,
dan jutaan formulasi rasa lainnya. Kembali menarik memori masa lalu yang
menggairahkan di momen menenteramkan kehdupan merupakan salah satu varian,
varian yang mempermanis kehidupan.
Menelusup ke dalam bilik kenangan,
berusaha mengais lembar kehidupan yang indah untuk dikenang. Yang pahit biar
saja kita ambil sebagai pelajaran. Semoga tidak terulang di masa mendatang. Gelak
tawa penikmat hari di sekitarku tak mengusik petualangan ku menjamah masa
lalu....
Syahdan, pada sebuah potong
kehidupan yang hampir terlupakan. Jutaan umat Islam hari itu berduyun-duyun
menuju masjid terdekat tempat mereka menunaikan shalat Idul Fitri. Usai
berjuang memenuhi kewajiban berpuasa, kebahagiaan menyambut hati mereka saat
bulan kemenangan tiba. Waktu lebaran, waktu umat Islam memanen keceriaan. Jerih
payah yang mereka semai saat bulan menahan lapar tersebut berbalas guratan
semringah yang berlabuh di jiwa mereka saat hari bermaaf-maafan tiba.
Tak terkecuali aku. Sembari
memacu langkah menuju masjid al-Ikhlas, usai shalat nanti, aku akan bertandang
ke rumah seseorang. Bukan sekadar menjulurkan tangan memohon maaf atas
kesalahan dan kekhilafan yang kulakukan, lebih dari itu, rumah yang akan aku
tuju nanti di dalamnya ada seseorang yang diam-diam aku sudah menaruh hati
padanya. Hmm. Dadaku berdebar. Berdentum-dentum kencang.
Setibanya di Masjid aku mencari
posisi duduk, lalu merebahkan badan, bertasbih membesarkan nama Tuhan,
menenggelamkan diri dalam dzikir di hari kemenangan. Ratusan umat muslim tampak
melimpah, mengentaskan keheningan yang tersisa dari malam-malam bertabur
bintang. Saling tegur dan sapa adalah bahasa keakraban kita semua saat itu. Senyum
satu yang dilontarkan kemudian disambut dengan sungging senyum lain adalah
sajak-sajak sunyi yang mewarnai relung jiwa. Agama kita mengajarkan demikian.
Betapa raut wajah yang berseri jika dipantulkan di hadapan orang lain akan
bernilai kebaikan. J
like this.
Iqamah dikumandangkan,
menggerakkan ratusan hati untuk menyucikan diri, lalu menghadap Tuhan. 7 takbir
di raka’at pertama disusul 5 takbir di raka’at kedua, shalat. Tak menunggu
lama, khutbah Idul Fitri berlangsung dengan saksama. Isinya soal kiat-kiat
cerdas bagaimana kita umat Islam mampu mengimplementasikan nilai idul fitri sebagai
hari kemenangan ini dalam realitas kehidupan. "Kita harus menang dari segala
macam perbudakan!" Lantang Ustadz mengingatkan jama’ahnya.
Kurang lebih 15 menit khatib
mengutarakan materi khutbahnya. Saat kalimat penutup dan salam diucapkan,
beberapa detik kemudian, ratusan jama’ah tumpah ke halaman masjid. Meneruskan
perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Bertemu keluarga dan bersua dengan
tetangga. Bermaaf-maafan. Hampir semua demikian kecuali beberapa orang saja,
salah satunya adalah aku. Aku, yang kemudian lebih memilih ke rumah seseorang
yang diam-diam aku melabuhkan harapan padanya.
Dengan perasaan yang tidak
keruan, percampuran antara senang dan khawatir kian bergema. Langkahku mantap,
tegas dan berani. Sepanjang perjalan degup di dadaku kian berdentam, bayang-bayang
wajahnya berkelebat tak henti-hentinya. Menyisakan senyum yang murni, yang
lahir karena ketulusan mendalam.
Tak lama, aku tiba di beranda
rumahnya. Memberanikan diri mengatur laju nafas.
“Assalamu’alaikum....”
“Wa’alaikum salam...”
Rahma namanya. Gadis jelita yang
selama ini kudamba. Yang kalau malam-malam sunyi dialah yang mengisi kesenyapan
tersebut menjadi malam-malam yang penuh warna. Hmm. Ia bagaikan bintang yang
mengisi pekat malam. Menyulap sepi menjadi ramai dan berarti.
Ia kini berdiri di hadapanku,
membukakan pintu. Mantra-mantra yang sudah kurapalkan tadi agar tidak goyah
saat berhadapan dengan sosok istimewa ini seakan tidak berguna. Daya magisnya
seolah sirna dihempas wibawa dan kharisma kecantikannya. Waw....
Masih terpaku di posisi dimana
aku berdiri. Antara terpukau dan terkesima. Tak menyangka kalau peristiwa ini
memang terjadi di kehidupan nyata. Seperti mimpi yang mencuat berlompat ke
alam nyata, menawarkan kenyamanan yang sukar dilukiskan. Aku seperti terbang,
menjajal kebebasan angkasa, menukik dan manuver sepuas jiwa.
Dari dalam terdengar sayup
panggilan orang tua Rahma, menyuruh agar masuk ke dalam. Kami berdua masuk, di
dalam ada ibunya Rahma dan kakak lelaki nya yang ternyata juga teman dekatku. Anang
namanya. Aku menyapa ramah kepada semuanya. Merayakan maaf-maafan dengan
bersalam-salaman. Menanyakan bagaimana kabar dan lain sebagainya.
Kami duduk lesehan. Tuan rumah
menyediakan jamuan kecil-kecilan. Sekedar mengeluarkan kue-kue lebaran serta
sirup-sirup marjan dipadukan dengan es. Menyegarkan. Kami mengobrol hangat.
Dan,,, beginilah aku. Selalu tidak siap untuk memandang sosok yang karenanya hatiku bergetar-getar kencang.
Tatkala kami sudah dalam satu perkumpulan,
menjadikan aku dan dirinya duduk bersebrangan, mata ku malah mengalihkan
pandangan. Sebaliknya, ia biasa saja menatap ku, seperti tidak ada apa-apa,
dan, memang nyatanya tidak ada apa-apa. Aku saja yang mencintainya dalam diam. Sebenarnya,
naluriku mengatakan bahwa ia juga memiliki rasa denganku, hanya saja ia butuh
keterangan lebih dalam dariku soal ini.
Perempuan, menurut sebuah teori, ia
malu untuk mengungkap rasa, harus lelaki dahulu yang mengungkapnya. Pada
peristiwa ini, perempuan malu mengungkap rasa, lalu disambut dengan laki-laki
yang meski ia mencintainya namun toh ia malu pula untuk sekadar menyatakan
rasa. Nah, Loh? Jadilah seperti seorang berteriak memanggil seorang lain yang
hendak dimintai bantuan, namun lidahnya kelu, angin yang begitu kencang menyapu
teriakan sang lelaki yang kurang lantang. Whussss. Laksana debu dihempas
beliung.
Meski demikian kami tetap
mengangatkan suasana. Menanyakan bagaimana perkembangan sekolah, keluarga, dan
yang bertalian dengan keduanya. Aku tidak cukup berani untuk menanyakan sesuatu
yang sebenarnya pertanyaan tersebutlah yang membuatku melangkah ringan ke
tempat ini.
Kami bernostalgia bercanda
bersama. Mengingat masa lalu yang pantas diperbincangkan. Hmm. Pembicaraan
mengalir halus dan terkendali, tanpa ada yang sadar satupun, selain Aku dan
Tuhan, bahwa selama kunjungan ini berlangsung sebuah jiwa dan seperangkat hati
meletup-letup memancarkan kerinduan yang indah dan menteramkan.
Kira-kira satu jam berlalu kami
mengakhiri pembicaraan. Aku mengucapkan terima kasih atas jamuan yang
diberikan, sambutan hangat yang dihatukan, dan, atas senyuman yang diberikan
“tuan rumah” yang hingga kini masih sering terbetik dalam jiwa. Menghadirkan nostalgia-nostalgia
pemantik kebahagiaan. J
Aku pamit dan pulang ke rumah. Setibanya
di Rumah, seluruh isi keluarga bertanya, “Kamu darimana saja? Kok shalat lama
banget?”
Hmm. Aku hanya tersenyum simpul.
Menjawab sekenanya saja. Yang penting, di hari di mana semua orang mampu
membahagiakan hati mereka, saya telah memuaskan dahaga yang selama ini
menghantui diriku. Perjumpaan yang darinya lahir seribu macam keriangan telah
ku tunaikan. J
Selamat hari Lebaran, hari
jiwa-jiwa menemukan peraduan.
Ciputat-10 Maret 2016
0 komentar:
Posting Komentar