Januari 08, 2016 -
Diary Book,Renungan
No comments


Fashbir!
Saat seorang guru tengah khusyuk
mengajari anak didiknya membaca Iqro, beberapa temannya yang duduk tidak jauh
dari keduanya malah ramai bercanda. Perpaduan antara suara anak mengaji yang
kecil dengan bising kawan di sebelahnya memicu tensi amarah pada diri seorang
guru yang tengah mengajar. Otaknya membara karena ia ternyata berdarah muda.
Diiringi kegeraman yang kian
memuncak, sang guru tiba-tiba menghentakkan telapak tangannya kencang-kencang ke
lantai, sambil berucap tegas, “Diam! Ini teman kalian tengah mengaji, jangan
ramai, jadi tidak kedengaran,” lalu anak-anak terdiam. Antara takut dan segan
pada guru, mulut mereka kunci.
Sang guru mencoba bernalar ketika
ia tengah dalam keadaan marah seperti itu. Dirinya adalah seorang mahasiswa
semester 5 yang cukup berprestasi di kampusnya, mengajar privat ia bisa,
menulis di majalah pun ia mampu melakoninya. Pada dirinya terbersit sebuah
gambaran, bagaimana misalnya nanti, saat ia sudah menapaki s2 atau s3 yang
selama ini ia dambakan, namun masih disibukkan dengan mengajar anak-anak kecil
yang sulit diatur tersebut. Betapa gengsinya ia. Mengajari anak-anak yang sukar
diajak diam, menguras banyak waktu, meminta pengorbanan yang tidak sedikit,
dilengkapi dengan bayaran yang tidak sepadan. Baginya, mending mengajar di SMP,
SMA, atau menjadi dosen sekalian. Tentu, gaji yang didapat pun lebih berharga
dibanding sekadar menjadi guru ngaji di desa tempat ia tinggal. Dirinya kalap.
Ia memang kuasa melakukan semua
itu, meninggalkan profesi mengajar Iqro/al-Qur’an, hijrah menjadi pengajar
sekolahan atau bahkan kampus, lebih tenang dengan bayaran yang mampu membuat
bibir tersenyum.
Kendati demikian, bermunculan
rasa iba dalam hatinya. Siapa kelak yang akan melanjutkan estafeta profesi yang
ia geluti. Pasalnya, pada daerah tersebut hanya ia yang diunggulkan soal
belajar mengajar al-Qur’an. Jika ia pergi meninggalkan anak-anak untuk
memperdalam agama, siapa selanjutnya yang akan membimbing mereka? Siapa yang
akan menunjukkan jalan menuju “Surga”.
Ia berpikir dan terus berpikir. Sambil
mengurai kisahnya ini ia tercenung begitu dalam. Mengais pencerahan lewat
do’a-do’a yang dipanjatkan. J
Melakukan sesuatu dan mendapat
ganjaran uang yang setimpal adalah hal yang diimpi-impikan. Ia bukti
kemakmuran. Tetapi, mengabdi tulus tanpa bayaran bahkan tetap tegar meski mendapat
perlakuan tidak baik oleh masyarakat adalah lebih istimewa dari segalanya, in
kuntum ta’lamuun. Jika saja kita mampu memahaminya. Demikian, Allah selalu
menaruh rahasia tersembunyi pada lokasi yang tidak diduga-duga. Sang Guru
berargumentasi.
Semoga pengajar anak-anak itu diberikan
pilihan yang terbaik.
Bintaro, 08 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar