Desember 26, 2015 -
Renungan
No comments


Menimba Ilmu di Pagi Buta
Mencari ilmu adalah kewajiban bagi
setiap manusia. Secara istimewa, umat Islam diperintahkan oleh Nabi-nya, dalam
sebuah hadis shahih, mengenai hal ini. Ilmu-lah yang akan mengantarkan
pemiliknya menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan terarah.
Tuhan Maha Tinggi menyebutkan
dalam al-Qur’an, bahwa manusia dilahirkan dari rahim ibunya tidak mengetahui
sesuatu apapun. Lalu kemudian Allah beri mereka pendengaran, penglihatan, dan
kalbu agar bersyukur.
Tanpa ilmu yang mengendalikan
hidup, manusia ibarat mayat berjalan, atau laksana binatang yang bertebaran. Hendak
melakukan ini tak berilmu, ingin melakukan itu tak memiliki pengetahuan. Apa
nikmatnya hidup?
Hal demikian yang juga saya
tanamkan dalam hati. Belajar tak kenal henti adalah langkah yang harus
dilestarikan hingga kita berkalang tanah. Abdullah ibnul Mubarok, ulama hadis
ternama, mengatakan, kendati telah menjadi ulama besar, dirinya mengaku tetap
berstatus sebagai pencari ilmu, tholibul ilmi. Ilmu tak akan habis
dieksploitasi. Manusia akan selalu bodoh di balik hamparan ilmu yang Allah
pertunjukkan kepada manusia yang padahal, kata Allah, itu hanyalah bagian kecil
dari ilmu yang Allah miliki. Masih sebatas tetesan di antara bentangan samudra
Maka, jika ada yang dengan bangga
memproklamirkan bahwa ia adalah orang pintar, sesungguhnya itu pertanda bahwa
dirinya masih belum menemukan kearifan.
Demi memaksimalkan sarana belajar
mengajar, duduk di bangku perguruan tinggi di PTIQ yang menuntut hafalan
al-Qur’an tidaklah cukup, saya pun mengambil kegiatan ekstra di sebuah
institusi yang berkonsentrasi pada kajian hadis, Darus-Sunnah, yang berlokasi
di Ciputat.
Tatkala Darus-Sunnah libur dan
hanya tersisa Udrus, sambil lalu saya juga mengajar di rumah, mentransfer
ilmu ke murid-murid di TPQ di rumah. Demi menyeimbangi kegiatan saya yang cukup
padat itu, pada setiap pukul setengah empat pagi saya harus berangkat dari
Bintaro rumah saya menuju Ciputat, tempat saya menimba ilmu.
Dengan amat rutin, ayah
membangunkanku pukul setengah empat pagi, agar bersiap-siap menuju
Darus-Sunnah. Mengejar waktu dimana saya harus aktif mengikuti pelajaran di
pagi hari tepat setelah jama’ah subuh berhamburan usai melaksanakan shalat di
Darus-Sunnah.
Memang tidak mudah melakukan semua
itu, bangun di pagi buta, naik motor dan menembus jalanan yang lengah ditemani
pekat serta suhu yang kadang membuat tubuh menggigil kedinginan.
Tapi, berkat gairah dan semangat
untuk mencari ilmu membuat saya tetap melanjutkan langkah. Walau rasa malas
kadang memasung jiwa, saya berusaha untuk mengempasnya jauh-jauh, dengan
harapan penuh, bahwa semua ini tentu akan membuahkan hasil yang manis nan
memuaskan. Itu do’a saya.
Tak lupa, demi meruncingkan nalar
berpikir saya, setiap hari saya usahakan untuk mematuti aksara serta menggurat
kata. Membaca menambah luas cakrawala berpikir, menjadikan paradigma tidak
sempit dan bebal.
Membaca adalah membuka jendela
dunia. Menulis melatih kita untuk peka terhadap peristiwa yang terjadi di
sekeliling kita. Menulis adalah pengejawantahan puisi jiwa ke dalam barisan
kata. Menulis adalah usaha kecil kita untuk merekam kehidupan yang kita alami,
dan sebagai pelajaran buat generas setelah kita.
Bintaro, 20 Desember, menjelang
maghrib.
0 komentar:
Posting Komentar