September 28, 2015 -
No comments


Temanmu Adalah Yang Membuatmu Melahirkan Derai Tawa
Pepatah mengatakan, “Temanmu adalah yang membuatmu berderai
air mata, bukan yang memantik gelak tawa.” Pepatah bukan sekadar kembang gula
susastra, butuh pengalaman pahit untuk memformulasikannya, demikian ungkap DEE,
penulis Filosofi Kopi. Begitupun dengan ungkapan bernas yang saya kutip
dimuka.
Hemat saya, kalimat tersebut dilontarkan oleh seorang yang
mendalami ajaran Islam dengan semangat dan serius. Dalam al-Qur’an, disebutkan
suatu ajaran yang menekankan kepada penganutnya agar menyedikitkan tertawa dan
memperbanyak tangisan. Dalam sebuah hadis, dituturkan dari baginda Rasulullah
Saw., bahwasanya beliau bersabda, “Dan janganlah kalian banyak tertawa, karena
itu akan mematikan hati.” atau sebagaimana dikatakan.
Menyedikitkan tertawa artinya adalah jangan terlalu berasyik
masyuk dengan dunia. Dunia tempat singgah kita yang fana janganlah melenakan
kita, dengannya kita hanya bergumul dengan fatamorgana, meengabaikan
hakikatnya. Kita bungah dengan dosa yang kita perbuat. Kita terus riang bergembira
dengan keburukan moral yang kita lakukan, padahal murka Allah kepada kita
semakin memuncak tingginya.
Memperbanyak air mata artinya agak kita selalu siap siaga. Meningkatkan
kewaspadaan hidup agar tidak terlalu dalam terperosok ke dalam jurang yang
mengancurkan.
Imam Sa’id bin Musayyab, yang juga bisa dipanggil bin
Musayyib, yakni seorang tabi’in senior, matanya buta ketika tua akibat derasnya
bulir air mata yang keluar membasahi pipi lantaran takut akan dosa-dosa yang ia
perbuat. Bayangkan, betapa syahdunya apa yang ia perbuat. Jika kita tanyakan
apa hal ekstase yang paling nikmat disesap dalam hidupnya, sosok Sa’id bin
Musayyib mungkin akan dengan tugas akan berkata, “menangis karena Allah Swt.,
menumpahkan rasa kepada yang Maha Kuasa.” Semoga bisa meneladaninya.
Kembali ke awal, temanmu adalah yang mengingatkanmu pada
Allah, bukan yang menenggelamkanmu pada lautan pesona dunia. Benar dan fakta,
bahwa mengingat-Nya akan mendatangkan ketenangan. Melupakan-Nya, tidak
melibatkan-Nya dalam rinci aktivitas yang kita lakukan akan hadirkan keresahan
dan kegelisahan dalam jiwa. Mungkin demikian. Wallahu A’lam.
‘’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’;’’’’’’’
Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam Misykat hal 244, seorang
penjaga benteng Islam anti liberal, mengatakan, “Dalam Islam, sejauh mana
pemikiran kita berpetualang, wahyu tetap menjadi obornya.”
Sebelumnya saya sedikit membaca pendahuluan dari kitab Polemik
Kitab Suci karya Mun’im Sirry, seorang yang dicap pengusung ide-ide liberal
dan mengambil S3 di salah satu universitas di Chicago. Kitab tersebut berangkat
dari pikiran beliau tentang fakta yang mengatakan bahwa kitab suci agama
memiliki sejarah tersendiri. Mulai dari kitab milik Yahudi, Zabur dan Injil
selalu terbuka dan segar untuk dikaji ulang. Dan dalam pengkajian ulang
diterapkannya tafsir modern dan kekinian, sehinggas akan didapati bahwa dalam kitab suci
tersebut ditemukan keganjilan makna yang dikandung dengan realitias kehidupan.
Al-Qur’an, menurut penulis, yang diklaim sebagai kitab yang
didalamnya dikandung doktrin tentang penganaktirian agama lain serta paradigma
yang mengebiri kebenaran agama-agama lain telah meruntuhkan pondasi-pondasi
kerukunan antarumat beragama. Mun’im Siiry, berusaha mengkaji ulang al-Qur’an
dengan metode penafsiran yang modern disertai refrensi pustaka dan pola pikir
yang terkesan didikte oleh sarjana dan kurikulum Barat hendak memadukan teks
kitab suci al-Qur’an dengan realitas. Jika ditemukan titik perbedaan, maka
dengan terpaksa al-Qur’an harus ditumbangkan keautentikannya.
Pengembaraan intelektual sosok Mun’im Sirry berbeda dari apa
yang dipaparkan oleh Hamid Fahmi Zarkasy bahwa pemikiran akan diam tak
bergerak, canggung untuk menagkah ke depan menyibak kegelapan, melainkan jika
ada wahyu sebagai obor yang membimbingnya. J
Sekian, Wallahu A’lam
Darsun, 26 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar