September 28, 2015 -
No comments


Pak Sinaga
Hari Jum’at katanya adalah sebaik-baiknya hari. Hari dimana
didalamnya ditabur kebaikan melebihi hari-hari lain. Waktu dimana tesurat dalam
sabda Nabi bahwa mengucapkan shalawat pada beliau pada hari Jum’at merupakan
sebuah kesitimewaan yang lebih dibanding waktu-waktu lain.
Begitu dengan saya. Jum’at adalah waktu yang ditenggatkan
oleh pihak kampus untuk mahasiswanya agar menyetor hafalan kepada instruktur
tahfizh. Karena Jum’at, sebagian besar mahasiswa bekerja lebih keras untuk
membaca sekaligus menghafal ayat suci al-Qur’an. Memantapkan hafalan sebelum
berhadapan dengan sang guru yang akan dengan sigap menyimak tuangan memori
hafalan. Siapa yang lalai maka akan mendapat buruk nilai. Siapa yang berbekal maka
akan mendapat pujian tebal. Begitulah. Selalu ada ganjaran untuk mereka yang
berjuang hingga berpeluh keringat.
Sungguh amat disayangkan. Instruktur tahfizh saya, Pak
Hasanuddin Sinaga, Imam Istiqlal, Kubah Mas, dan lain-lain, berhalangan untuk hadir
lantaran sehabis berobat. Dengan hati kecewa yang dipaksa untuk berlapang dada,
saya pulang ke asrama tanpa penyetoran hafalan satu huruf pun. Ini sudah minggu
ke 3, belum satu ayatpun saya setor ke isntruktur, khawatir terbengkalai dan tidak
tercapai target semesteran.
Kitaran jam setengah sebelas, saya dan kawan saya, Hasbi,
pergi berangkat menuju Masjid Kubah Mas, untuk menyampaikan proposal permohonan
distribusi Qurban untuk pesantren Darus-Sunnah, yang kebetulan pada Idul Adha
1437 H ini angkatan kami bertindak sebagai panitia penyelenggara.
Tiba disana sebelum shalat Jum’at tiba. Dan memang, kami
sengaja ingin menunaikan ibdadah mingguan tersebut di masjid yang kubahnya
konon terbuat dari lapisan emas murni. Dibawah terik matahari yang menyengat,
kami masuk ke dalam, disambut dengan aroma sejuk ruang masjid yang sudah
diteduhi dengan atap megah, karpet beludru yang sejuk, serta Air Conditioner
yang berembus perlahan. Mendingingkan suasana.
Kira-kira lima belas menit sebelum adzan dikumandangkan. Muncul
dari ruang takmir menuju mimbar seorang berpakaian gamis dengan kepala
dibungkus kain putih seperti kerudung, lalu membaca sekian ayat pada permulaan
surat al-Kahfi. Betapa terkejutnya saya tatkala mendapati bahwa yang bertindak
sebagai pelantun kalam Ilahi tersebut adalah instruktur tahfizh yang saya tunggu
di kampus barusan, Pak Sinaga. Sosok yang kerap menjadi imam di masjid Istiqlal
saat penyelenggaraan Shalat Idul Adha dan Idul Fitri. Sosok yang dijuluki
kembaran dari Imam Sudais al-Makki, imam besar shalat rawatib di masjidil
Haram, Mekkah. Instuktur Tahfizh saya di kampus.
Seusai khutbah diperdengarkan, waktu shalat tiba. Pak Sinaga
maju ke mihrab sebagai pemimpin barisan. Kita akan menuju Tuhan, maka
khusyukkanlah jiwa, tundukkanlah segala macam sifat kecongkakan dalam hati. kira-kira
demikian tafsiran bebas dari kalimat “luruskan shaf dan tenangkan suasana,” yang
dihimbaukan.
Tidak usah menunggu lama. Seluruh jama’ah dibuat terlena
dengan lantunan ayat suci yang dikumandangkan oleh Pak Sinaga. Dengan nada yang
mendayu-dayu, disepak segala macam pikiran keduniaan dari kalbu. Kekhusyu’an
memang sukar untuk didapat. Namun, kelembutan suara sang imam dalam mengepalai
pasukan jama’ah adalah faktor pendukung pencapaian yang harus diperhitungkan.
Rampung dengan asyik-masyuk bersama ustadz Sinaga, kami
menyampaikan proposal dan melanjutkan pengembaraan menuju masjid Raya Cinere.
Usai dari sana, kami pulang ke tempat asal, Pisangan Barat, Ciputat.
Sore, saya kembali keluar menebar proposal ke masjid
terdekat. Dalam satu perjalanan, kembali saya berpapasan dengan Pak Sinaga
bersama istrinya, tengah berjalan di depan ASPI (Asrama Putri) Fak. Kedokteran.
Dengan tangkas, saya yang tengah mengendarai Vixion membungkukkan badan sambil
menyapa beliau. “Paak,?” sambil disuguhi senyum pemanis yang orisinil, bukan
buatan.
Demikian. Saya tidak berjumpa dengan beliau di kampus. Namun
Tuhan mempertemukan saya dengan beliau dua kali di tempat yang berbeda. Bertemu
dengan orang yang hebat itu menghadirkan cita rasa unik tersendiri. Melihat
wajah yang alim apalagi hafal al-Qur’an adalah kesempatan yang indah tak
terlupakan.
Sekian.
Pos Jaga Darus-Sunnah, 18 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar