Juli 24, 2015 -
No comments


Tiada Hari Tanpa Menulis
Tiada hari tanpa menulis. Sesibuk apapun anda menjalani
aktivitas, tetap curahkan sedikit waktu untuk sekedar menggoreskan pena, untuk
mencipta kata-kata. Kepandaian menulis adalah hal yang menjadi barang primer
buat kaum akademik. Bagaimana setiap harinya akan selalu ada tugas yang
bertautan dengan dunia kepenulisan. Maka akademikus siapapun, yang tidak gemar
untuk menulis, patut dipertanyakan, seberapa serius ia menjajaki bangku
perkuliahan?
Menulis tidak lengkap tanpa membaca. Merangkai kata seperti
tubuh yang bergerak, untuk melahirkan gerakan butuh asupan tenaga berupa
makanan dan lain sebagainya. Maka, dalam hal ini membaca merupakan gzi terbaik
yang wajib dikonsumsi untuk kawula yang merasa memiliki jiwa kepenulisan. Baris
tulisan di buku-buku yang kita baca memberikan penyegaran pola pikir. Untaian
bahasa dan kalimat yang memukau yang kita konsumsi saat membaca amat membantu
kita dalam menggalakkan pengindahan serta pengayaan kata-kata saat menulis.
Beberapa kali saya dapati, bahwa ternyata banyak sekali
penulis yang mahir mengolah kata adalah pernah bekerja sebagai warrtawan di
suatu kabar harian. Sebut saja Ahmad Fuadi, penlis trilogi novel 5 menara,
beliau merupakan seorang wartawan Tempo. Dan banyak lagi. Saya mengiyakan statement
betapa menjadi wartawan amat berpengaruh untuk melanjutkan jenjang karir nya
menuju penulis yang berharga. Seorang wartawan selain dituntut untuk mempunyai
pola pikir yang kritis, juga diwajibkan untuk membaca sekian refrensi yang
banyak, demi memperkaya perbendaharaan kata dalam tempurung kepalanya. Yang
tentunya akan melancarkan kerja kepenulisan.
Kemudian saya berpikir, mungkin ada baiknya jika nanti
setelah lulus melamar ke media harian seperti Republika, Kompas, Jawa Pos dan
lain sebagainya. Hitung-hitung untuk mengasah kepandaian, kelak ketika sudah
mumpuni, bisa pamit dan bersikap independen mnenjadi penulis berhaluan bebas. Saya
berpikir bahwa mnejadi wartawan di harian media merupakan sekolah menulis yang
baik.
Ayah, yang sedang bersama saya ketika membicarakan hal
tersebut berpendapat, bahwa tak usah harus menjadi wartawan dulu untuk mahir
dalam mengurai kata. Anda rajinkan saja membaca, galakkan memburu kalimat
bertuah yang dijajakan di kitab-kitab istimewa, lalu tuangkan dalam bentuk
tulisan, buat refleksi kehidupan anda dalam bentuk aksara. Demikian halnya
dengan kerja wartawan di balik dinding-dinding kantor kerja mereka. Gemar
membaca dan rutin memagut kata.
Belakangan ini rasa malas tampak hinggap menyelimuti tubuh. Inginnya
selalu berkelumun di balik sarung, menutup mata, merajut rangkaian mimpi yang
begitu indah. Puasa terkadang membuat badan lemah dan memotivasi untuk
merebahkan tubuh di atas gundukan kapuk berbalut kain lembut.
Padahal jika mau ditakar dengan kualitas, berselancar di
dunia kata-kata jauh lebih mengasyikkan daripada melanglangbuana di buaian
mimpi. Selain memuaskan juga mencerdaskan.
Mematuti buku-buku dengan pembahasan berat, macam wacana
sekuler dan liberal (ala Adian Husaini yang tegas menyerang kaum “Pemuja
Kebebasan”), membuat dahi berkerut dan otak gerah mneyaksikan debat dan
pertempuran intelektual yang begitu ramai mengisi ruang. Hal itu kadang membuat
deg-degan, sampai juga pada titik yang jenuh membosankan.
Meski ilmu yang didapat jelas lebih akurat dan faktual
dibandung karya-karya fiksi, namun terlalu serius menekuninya juga akan membuat
kita menggaruk kepala. Kesulitan harus diimbangi dengan kemudahan. Masih dalam
petualangan menakjubkan yang sama, yakni menyusuri dunia membaca, maka novel
dengan ulasan ringan dan menariklah yang berpotensi pelipur lara.
Kemarin saya berkunjung ke Gramedia. Betapa senang hati jika
diberi waktu menysuri selangkah demi selangkah rak buku yang tersedia. Tenggelam
dalam lembar-lembar kertas yang memukau. Hanyut dalam kumpulan ilmu-ilmu baru
yang dijajakan dengan sistematis dan tertata. Dalam sebuah toko cerah, ditemani
karyawati yang jelita, dingin oleh AC pula. Indah dan membuat saya terkesima.
Pada satu rak khusus dipajang puluuhan buku dengan judul yang
sama, ditata dengan rapi dikemas dengan tampilan yang menawan, sebuah novel
berjudul Ayah karya penulis yang melegenda namanya, Andrea Hirata,
nongkrong disana.
Menurut hasil penelusuran yang ditemukan, buku ini dubuat
oleh penulisnya dalam krurun waktu 6 tahun. Bisa dibayangkan jika penulis Laskar
Pelangi yang mumpuni membuat satu karya hingga 6 tahun lamanya, maka akan
seranum apa buah yang dituai?
Ayah adalah sosok yang amat istimewa. Darinya kita banyak
belajar tentang falsafah kehidupan. Semua
gerak-gerik yang kita punya adalah replika dari guru pertama, Ayah. Tokoh
yang banyak berkorban demi sambungnya kehidupan. Kehidupan dalam arti bukan
hanya membuat dapur mengepul karena tungku yang menyala, lebih dari itu semua,
beliau-beliaulah yang telah membuka semesta pengetahuan, cakrawala hikmah yang
luas nan menakjubkan.
Maka atas semua itu, sebagai dedikasi dan apresiasasi atas
perjuangan yang kaum ayah berikan kepada anaknya, maka dibuatlah sebuah novel
yang menarasikan sosok terhebat yang pernah ada, yang pernah kita jumpai di
dunia-dan semoga di akhirat- nanti.
Dan insya Allah,lebaran yang diprediksikan akan turun dana
dari saudara dan handa taulan yang berbaik hati akan menjadi momen yang cukup
menggembirakan. Karena dengan lembaran uang yang saya punya, saya mampu membwa
pulang novel Ayah yang saya idam-idamkan itu. Atau syukur2 jika sebelum
masa itu tiba, saya bisa menikmatinya. Biarkan kasih sayang Tuhan menjawab do’a
hamba-Nya yang hina ini, yang tengah berharap kiranya Ayah bisa segera
hadir temani hari Raya Lebaran nan fitri tahun ini. J
J
J
Warung Berkah, Ahad 12 Juli 2015, 15:03
0 komentar:
Posting Komentar