Empat Pesan Ali bin Abi Thalib
Empat Pesan Ali bin Abi Thalib
Sahabat Nabi Muhammad Saw merupakan satu
generasi yang memiliki banyak keistimewaan. Mereka adalah sekumpulan masyarakat
yang pola kehidupannya banyak dipandu dan diarahkan langsung oleh sosok yang
dijamin kredibilitasnya oleh Allah langsung, yakni Nabi Muhammad Saw.
Dalam tradisi literasi periwayatan hadis, perawi
pada jenjang sahabat diberikan gelar istimewa berupa penyematan redaksi radiyallahu
anhu (doa yang bermakna semoga Allah meridhainya) di belakang nama mereka. Imam
al-Syathibi menjelaskan hal tersebut….
(Jurnal Soal Radiyallahu Anhu)
Di antara sahabat yang unggul, yang dikenang
sejarah sebagai pribadi yang penuh hikmah dan kerap membersamai kehidupan
Rasulullah Saw secara langsung adalah sahabat Sayyiduna Ali Karramallahu
Wajhahu (w.40 H). Beliau merupakan sosok sahabat sekaligus menantu Rasululllah
Saw. Kedekatannya dengan Rasulullah dan didukung oleh kearifannya menjadikan
Sayyiduna Ali sebagai pribadi penuh hikmah, bahkan oleh Nabi langsung beliau
dijuluki sebagai pintu pengetahuan…
(Hadis Ana Madinatul Ilmi)
Rasulullah Saw bersabda
Bahkan secara khusus ungapan-ungkapan hikmah beliau
dihimpun dalam sebuah kitab khusus berjudul Nahjul Balaghah. Napolen
menilai bahwa buku ini adalah…..
(Studi Atas Nahjul Balaghah)
Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menukil
ungkapan Sayyiduna Ali Karromallahu Wajhahu dalam al-Munabbihat ala
Isti’dad Li Yaum al-Miad sebagai berikut,
Kasih Teks Arab
“Barangsiapa yang rindu kepada surga maka akan bersegera
menunaikan kebaikan. Barangsiapa yang khawatir dan takut akan siksa neraka, ia
akan menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Barangsiapa yang menyadari
datangnya kematian ia akan menggap rendah segala malam kelesatan dunia, barangsiapa
yang sadar nilai dunia, ia akan menganggap rendah segala musibah di dunia.”
Untuk menghadirkan keutuhan makna ungkapan-ungkapan
di atas, mari kita bedah satu persatu.
“Barangsiapa yang rindu akan surga, ia akan menyegerakan
diri melakukan kebaikan”
Hampir dipastikan bahwa semua umat muslim, atau
bahkan seluruh manusia, ingin masuk ke dalam surga setelah tuntas menjalankan
kehidupan di dunia ini. Surga tak ubahnya stasiun permberhentian terakhir yang
dinanti-nanti, di sanalah kehidupan abadi yang nikmat diwujudkan.
Sayyiduna Ali menegaskan bahwa jika seorang mendambakan surga yang dirindukan, maka baginya untuk melakukan kebaikan, sesegera mungkin. Hal ini selaras dengan peirntah Allah dalam surat Ali Imran ayat 133, di mana Allah Swt berfirman,
Bahkan, secara khusus Imam al-Nawawi (w. 800 H) membuat bab Pentingnya Menyegerakan Diri Melaksanakan Kebaikan dalam kitabnya Riyadh al-Solihin, dalam bab ini ditampilkan berbagai dalil ayat dan hadis yang menekankan perlunya menyegerakan diri dalam kebaikan.
“Barangsiapa yang takut dan khawatir akan siksa
neraka, maka ia akan menjauhi syahawat”
Siksa neraka yang dikabarkan
melebihi siksa manapun di dunia, ditambah durasi waktu akhirat yang jauh lebih
lama dibanding dunia, membuat siapapun bergidik dan berupaya semampu mungkin
untuk menjauhinya.
Jika demikian, maka anjurannya
adalah agar berhenti mengikuti syahwat. Syahwat adalah hal yang diidentikkan
dengan naluri manusia yang mengarahkan seseorang untuk melakukan keburukan.
Syahwat, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir, seorang mufassir kenamaan,
adalah...
Seseorang yang mampu menahan hawa nafsu dijamin oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam surga dan dijauhkan dari neraka. Allah Swt berfirman,
Menurut al-Baghawi yang dimaksud
dengan menahan hawa nafsu (naha al-nafsa) adalah...
Tafsir Baghawi Atas Nahan Nafsa
“Barangsiapa yang menyadari kematian, maka ia akan
menganggap kelezatan dunia sebagai hal rendah”
Allah menciptakan kehidupan di
dunia salah satunya adalah untuk menguji kita. Dalam kehidupan dunia, kita akan
mendapati bahwa terdapat banyak sekali kelezatan dunia yang memiliki daya pikat
sempurna. Tidak semua kelezatan dunia dilarang untuk dikonsumsi, hanya saja ada
beberapa kenikmatan yang bersifat fatamorgana. Kelezatan jenis terakhir ini
menawarkan kebahagiaan semu lantaran subtansinya yang bertentangan dengan nilai
agama.
Orang yang menyadari betul
hadirnya kematian ia bisa menjadikannya sebagai pelajaran. Ia akan memahami
betul hadis Nabi yang mejelaskan bahwa setiap yang kita lakukan di dunia akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt
Rasulullah Saw bersabda, “” (Hadis
Riwayat Thabrani dan al-Hakim)
Hadis I'mal Ma Syita
Untuk itu ia mawas diri
menjauhkan kelezatan-kelezatan yang bersifat fatamorgana, yang menawarkan kenikmatan
semu saja. Dan sesungguhnya kenikmatan dunia, bagi sang arif, tidak lain adalah
kenikmatan yang menipu.
Wamalhayatuddunya...
Ayat Wamalhayatuddunya...
“Barangsiapa yang mengetahui kadar dunia, maka ia
akan menggap segala musibah yang terjadi di dunia sebagai hal yang rendah”
Tidak ada manusia yang tidak
diberikan musibah atau ujian. Hidup tak ubahnya arena pertandingan yang mengandaikan
setiap atlit di dalamnya mendapatkan tantangan demi memenangkan kompetisi. Bagi
yang tangkas merespon tantangan ia akan keluar arena sebagai pemenang, dan
sebaliknya, bagi yang tidak ada bekal persiapan maka ia akan keluar dengan
wajah tertunduk lesu menanggung kekalahan.
Dalam menyikapi ujian yang ada,
mental pemenang perlu dibangun dalam diri. Sayyiduna Ali Karramallahu
Wajhahu memberikan alternatif jawaban bahwa, dia natara cara-cara tersebut,
adalah dengan menjadikan musibah bukan sebagai akhir dari segalanya.
Seorang muslim yang yang arif
sadar bahwa ada Allah sebaik-baiknya penolong kita di kala kesusahan melanda,
dan bahwa segala jenis ujian yang Allah berikan adalah bukan karena Dia benci
kepada kita semua, melainkan ada rahasia yang ingin disampaikan, baik itu
sebagai penegur kita, peluruh dosa kita atau sebagai upaya menaikkan derajat
kita di sisi Allah Swt.
Mengenai hal ini, Imam al-Syafi’i
berkata, “
Syair Wala Tajza' Lihaditsati Layali
0 komentar:
Posting Komentar