CERAMAH MALALA YOUSUFZAI SAAT PENERIMAAN NOBEL PERDAMAIAN TAHUN 2014
CERAMAH MALALA YOUSUFZAI SAAT PENERIMAAN NOBEL PERDAMAIAN TAHUN
2014
Bismillah hir
rahman ir rahim. In the name of God, the most merciful, the most beneficent.
Your Majesties, Your royal highnesses, distinguished members of the Norweigan
Nobel Committee. Dear sisters and brothers, today is a day of great happiness
for me. I am humbled that the Nobel Committee has selected me for this precious
award. Thank you to everyone for your continued support and love. Thank you for
the letters and cards that I still receive from all around the world. Your kind
(kebaikan) and encouraging (dorongan) words strengthen (memperkuat) and inspire
me.
Bismillahirrahmanirrohiem.
Dengan menyebut
nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang terhormat dan mulia,
Komite Nobel Norwegia. Yang terhormat para pendengar, hari ini adalah hari yang
paling Bahagia dalam hidup saya. Saya merasa tidak pantas (humble) ketika dewan
Nobel menetapkan saya untuk mendapatkan penghargaan keren ini. Terimakasih bagi
semua atas dukungan dan cinta yang tiada habisnya. Terimakasih bagi setiap
kiriman surat dan kartu dari berbagai penjuru dunia yang masih saya terima
hingga kini. Kebaikan kalian serta dorongan kata-kata yang ada di dalamnya
memperkuat dan menginspirasi saya.
I would like to
thank my parents for their unconditional love. Thank you to my father for not
clipping my wings and for letting me fly. Thank you to my mother for inspiring
me to be patient and to always speak the truth - which we (yang mana) strongly
believe is the true message of Islam. And also thank you to all my wonderful
teachers, who inspired me to believe in myself and be brave (berani). I am
proud, well, in fact, I am very proud to be the first Pashtun, the first
Pakistani, and the youngest person to receive this award.
Saya
mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua saya atas cinta tanpa syaratnya.
Terimakasih untuk ayah yang tidak menggunting sayap saya dan bebas membiarkan
saya terbang. Terimakasih kepada Ibuku atas inspirasi yang membuatku sabar dan
senantiasa menyampaikan kebenaran, yang mana ia percaya bahwa bahwa hal
tersebut adalah pesan kebenaran Islam. Dan saya juga berterimakasih kepada
seluruh guru-guruku yang luar biasa, yang menginspirasiku untuk pervaya diri
dan menjadi pemberani. Saya bangga, dan saya sangat bangga untuk menjadi
Pashtun pertama, orang Pakistan pertama dan menjadi yang termuda yang meraih
penghargaan ini.
Along with
that, along with that,(bersamaan dengan itu) I am pretty certain (cukup yakin) that
I am also the first recipient (penerima) of the Nobel Peace Prize who still
fights with her younger brothers. I want there to be peace everywhere, but my
brothers and I are still working on that. I am also honored (terhormat) to
receive this award together with Kailash Satyarthi, who has been a champion for
children's rights (hak anak) for a long time. Twice as long (dua kali lipat),
in fact, than I have been alive. I am proud that we can work together, we can
work together and show the world that an Indian and a Pakistani, they can work
together and achieve (meraih) their goals of children's rights (hak anak)
Bersamaan
dengan itu, saya juga cukup yakin bahwa saya juga penerima nobel pertama yang
masih aktif berkelahi dengan saudara lelakinya. Saya mengharapkan perdamaian
diterapkan dimanapun, akan tetapi saya dan saudara saya masih tetap
melakukannya. Saya juga merasa terhormat karena menerima penghargaan ini
bersama dengan Kailash Satyarthi, seseorang yang juar dalam menjaga hak
anak-anak dalam waktu yang lama. Berdua, faktanya, membuat saya merasa masih
hidup. Saya bangga kita bisa bekerjasama, kita bisa bekerja bersama dan
menunjukkan kepada dunia bahwa India dan Pakistan mereka bisa bekerja bersama
dan meraih pencapain menjaga hak anak-anak.
Dear brothers
and sisters, I was named after the inspirational Malalai of Maiwand who is the
Pashtun Joan of Arc. The word Malala means grief-stricken", sad"
(berduka, kesedihan), but in order to lend (meminjamkan) some happiness to it,
my grandfather would always call me Malala – The happiest girl in the
world" and today I am very happy that we are together fighting for an
important cause (sebab)
Yang terhormat
para pendengar, saya diberi nama Malalai of Maiwand, sosok Pasthun Joan Arc. Nama
Malala berarti sedih dan berduka, akan tetapi ia dimaksudkan dengan makna
kebahagiaan, kakekku selalu memanggil Malala (aku) sebagai gadis yang paling
bahagia, dan sekarang saya sangat bahagia karena kita bersama tengah berjuang
mewujudkan hal penting.
This award is not
just for me. It is for those forgotten (terlupakan) children who want an
education. It is for those frightened (ketakutan) children who want peace. It
is for those voiceless children who want change. I am here to stand up for
their rights (hak), to raise (mengangkat) their voice… it is not time to pity
(mengasihani) them. It is not time to pity them. It is time to take action so
it becomes the last time, the last time, so it becomes the last time that we
see a child deprived (dirampas) of education.
Penghargaan ini
tidak untuk saja. Ini untuk mereka anak-anak yang terlupakan dalam haknya
mendapatkan hak edukasi. Ini untuk mereka anak-anak yang ketakutan yang
menginginkan kedamaian. Ini untuk mereka anak-anak yang memiliki sedikit suara
namun menginginkan perubahan. Saya di sini berdiri untuk menuntut pemenuhan
hak-hak mereka para anak-anak agar mereka bisa mengangkat suara mereka. Ini
bukan waktunya lagi merasa kasihan terhadap mereka, ini adalah waktu untuk
emngambil tindakan. Maka ini adalah kesempatan terakhir kita melihat hak
pendidikan anak-anak dirampas.
I have found (menemukan)
that people describe me in many different ways. Some people call me the girl
who was shot by the Taliban. And some, the girl who fought (berjuang) for her
rights. Some people, call me a "Nobel Laureate" (Pemenang hadiah)
now. However, my brothers still call me that annoying bossy (menjengkelkan dan
suka memerintah) sister. As far as I know, I am just a committed and even
stubborn (keras kepala) person who wants to see every child getting a quality
education, who wants to see women having equal rights (hak kesetaraan) and who
wants peace in every corner of the world. Education is one of the blessings
(berkah) of life—and one of its necessities (kebutuhan). That has been my
experience during the 17 years of my life. In my paradise home, Swat, I always
loved learning and discovering (menemukan) new things.
Saya mendapati
keragaman orang menilai saya. Beberapa orang mengenalku sebagai gadis yang
pernah ditembak oleh Taliban. Sebagian melihatku sebagai sosok yang tengah
berjuang memperjuangkan haknya. Sebagian memanggilku sosok yang meraih hadiah
nobel. Dan, bagaimanapun, adikku masih saja memanggilku sebagai sosok yang
menjengkelkan suka memerintah. Sejauh yang saya kenal, saya adalah sosok yang
berkomitmen dan bahkan keras kepala yang menginginkan melihat setiap anak
mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sosok yang menginginkan perempuan
memiliki hak keseteraan (dalam hak pendidikan) dan sosok yang menginginkan
perdamaian di muka bumi. Pendidikan adalah berkah kehidupan dan ini merupakan
sebuah kebutuhan. Itu yang saya alami sepanjang saya hidup selama 17 tahun. Di
rumah surgaku di Swar, saya selalu mencintai proses belajar dan proses
menemukan sesuatu yang baru.
I remember when
my friends and I would decorate our hands with henna on special occasions. And
instead (sebagai ganti) of drawing flowers and patterns we would paint our
hands with mathematical formulas and equations. We had a thirst for education,
we had a thirst (haus) for education because our future was right there in that
classroom. We would (akan) sit and learn and read together. We loved to wear
neat and tidy (rapi) school uniforms and we would sit there with big dreams in
our eyes. We wanted to make our parents proud and prove (membuktikan) that we
could also excel (unggul) in our studies and achieve (mencapai) those goals,
which (yang) some people think only boys can.
Saya mengingat
ketika teman saya ingin mendekorasi tangan kita menggunakan henna. Dan, sebagai
gantinya, kita menggambar bunga dan pola, kami menggambar tangan kita dengan
formula matematika. Kamis haus akan pendidikan, kami haus akan pendidikan
karena masa depan kami ditentukan dari ruang kelas tersebut. Kami akan duduk
bersama dan membaca bersama. Kami menyukai memakai seragam sekolah yang rapi
dan kami duduk di sana dengan sejumlah mimpi yang menggantung di mata. Kami
mencari cara agar orangtua kami bangga dan kami juga akan membuktikan bahwa
kami unggul di pelajaran kami dan mampu mencapai gol, yang temanteman laki kami
bisa capai.
But things did
not remain (tetap) the same. When I was in Swat, which was a place of tourism
and beauty, suddenly changed into a place of terrorism. I was just ten that
more than 400 schools were destroyed. Women were flogged (dicambuk). People
were killed. And our beautiful dreams turned into nightmares (mimpi buruk).
Education went (pergi) from being a right to being a crime. Girls were stopped
from going to school.
Namun hal
tersebut tidak sama. Ketika saya di Swat, sebuah tempat yang menjadi surga yang
indah bagi para turis, tiba-tiba berubah menjadi tempat terorisme. Saya berumur
10 kala itu ketika ada 400 sekolah yang dihancurkan. Perempuan dicambuk.
Orang-orang dibunuh. Dan mimpi indah kami berakhir menjadi mimpi buruk. Hak
pendidikan telah tiada, dari yang awalnya sebuah hak berakhir menjadi laku
kriminal. Perempuan-perempuan dilarang untuk pergi ke sekolah. (Ciputat, 17 Juli 2021)
When my world suddenly changed, my priorities changed too. I had two options.
One was to remain silent and wait to be killed. And the second was to speak up
and then be killed. I chose the second one. I decided to speak up. We could not
just stand by and see those injustices of the terrorists denying our rights,
ruthlessly killing people and misusing the name of Islam.
Ketika duniaku tiba-tiba berubah, prioritas
dalam hidupku juga berubah. Saya jadi mempunyai dua opsi dalam hidup. Satu,
saya tetap dia dan menunggu dibunuh. Kedua, saya memilih berbicara dan kemudian
saya terbunuh. Saya memilih opsi yang kedua. Saya memutuskan untuk berbicara.
Kita tidak bisa hanya berdiam dan melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh
para teroris di mana mereka merampas (denying) hak kami, dengan kejam membunuh
manusia dengan mempersalahgunakan nama islam.
We decided to raise our voice and tell them: Have you not learned, have you not
learned that in the Holy Quran Allah says: if you kill one person it is as if
you kill the whole humanity? Do you not know that Mohammad, peace be upon him,
the prophet of mercy, he says, do not harm yourself or others". And do you
not know that the very first word of the Holy Quran is the word Iqra",
which means read"?
Kami memtuuskan untuk mengangkat suara kami
dan memberitahukan kepada mereka : Apakah kalian tidak belajar, bahwa di dalam
al-Qur’an Allah berfirman “Barangsiapa yang membunuh 1 orang maka itu sama dengan membunuh seluruh kehidupan”? Tidakkah
kamu tahu bahwa Muhammad Saw, mengatakan, “Janganlah membahayakan dirimu atau
membahayakan orang lain”? Dan apakah kalian tidak tahu bahwa kata pertama yang
diturunkan oleh dalam Al-Qur’an adalah Iqra, yang berarti membaca?
The terrorists tried to stop us and attacked me and my friends who are here
today, on our school bus in 2012, but neither their ideas nor their bullets
could win. We survived. And since that day, our voices have grown louder and
louder. I tell my story, not because it is unique, but because it is not. It is
the story of many girls. Today, I tell their stories too. I have brought with
me some of my sisters from Pakistan, from Nigeria and from Syria, who share
this story.
Sejumlah
teroris berusaha memberhentikan kami dan menyerang saya dan teman saya, mereka
ada di sini hari ini, ketika kami berada di bus sekolah kami pada tahun 2012,
akan tetapi ideologi mereka dan peluru yang mereka muntahkan tidak menang. Kami
bertahan dan sejak itu suara kami malah semakin besar dan menggelegar. Saya
menceritakan kisah ini, bukan karena ini unik, tapi karena hal ini merupakan
yang wajar terjadi di dunia kami. Ini adalah cerita yang mewakili banyak
perempuan. Hari ini, saya sampaikan kisah mereka juga. Saya telah menghadirkan
beberapa saudara saya dari Pakistan, dari Nigeria, dari Syiria, yang darinya
terungkap kisah-kisah menarik.
My brave sisters Shazia and Kainat who were also shot that day on our school
bus. But they have not stopped learning. And my brave sister Kainat Soomro who
went through severe abuse and extreme violence, even her brother was killed,
but she did not succumb. Also my sisters here, whom I have met during my Malala
Fund campaign.
Saudara saya
yang pemberani, Shazia, dan Kainat yang juga saat itu tertembak di bus sekolah
kami. Tetapi mereka tidak berhenti belajar. Dan saudara pemberaniku Kainat
Soomro yang telah mengalami ujian berat dan kekerasan yang begitu ekstrem,
bahkan saudara laki-lakinya terbunuh, akan tetapi dia tidak menyerah. Juha
saudara saya di sini, yang saya temui selama kampanye Malala Fund.
My 16-year-old courageous sister, Mezon from Syria, who now lives in Jordan as
a refugee and goes from tent to tent encouraging girls and boys to learn. And
my sister Amina, from the North of Nigeria, where Boko Haram threatens, and
stops girls and even kidnaps girls, just for wanting to go to school.
Saudaraku yang
pemberani Mezon dari Syiria, yang sedang berusia 16 tahun, yang saat ini
menyaksikan dari Jordan sebagai pengungsi dan sekarang tengah pergi ke tenda
yang berisi laki-laki dan perempuan untuk belajar. Dan saudara saya Amnina,
dari Nigeria Utara di tempat di mana Boko Haram kerap mengancam (threatens)
anak-anak bahkan menculik (kidnap) mereka hanya karena ada hasrat untuk bersekolah.
(Bintaro, 20 Juli 2021)
Part 2
Though I appear as one girl, though I appear as one girl, one person, who is 5
foot 2 inches tall if you include my high heels. (It means I am 5 foot only) I
am not a lone voice, I am not a lone voice, I am many. I am Malala. But I am
also Shazia. I am Kainat. I am Kainat Soomro. I am Mezon. I am Amina. I am
those 66 million girls who are deprived of education.
Kendati saya berpenampilan seperti seorang
gadis saja, kendati saya berpenampilan seperti seorang gadis saja, saya yang
hanya memiliki tinggi 5 kaki saja (termasuk sepatu hak saya), namun saya
bukanlah orang yang memiliki suara yang sunyi dan sepi, saya adalah banyak.
Saya adalah Malala. Tapi saya juga Shazia. Saya Kainat. Saya Kainat Soomro.
Saya Mezon. Saya Amnina. Saya adalah 66 juta perempuan yang kehilangan
(depriped) dunia Pendidikan.
And today I am not raising my voice, it is the voice of those 66 million girls.
Sometimes people like to ask me why should girls go to school, why is it
important to them. But I think the more important question is why shouldn't
they, why shouldn't they have this right to go to school.
Dan hari ini saya tidak menggaungkan suara
saya, ini adalah suara dari 66 juta perempuan. Terkadang, seseorang bertanya
kepadaku mengapa perempuan harus pergi ke sekolah, ini pertanyaan yang tidak
penting bagi mereka. Bagiku, yang terpenting adalah pertanyaan, mengapa sekolah
tidak menjadi penting bagi mereka para perempuan? Mengapa mereka tidak memiliki
hak untuk pergi ke sekolah.
Dear sisters and brothers, today, in half of the world, we see rapid progress
and development. However, there are many countries where millions still suffer from
the very old problems of war, poverty, and injustice. We still see conflicts in
which innocent people lose their lives and children become orphans. We see many
people becoming refugees in Syria, Gaza, and Iraq. In Afghanistan, we see
families being killed in suicide attacks and bomb blasts. Many children in
Africa do not have access to education because of poverty.
Wahai pendengar yang berbahagia. Saat ini
setengah dari dunia kita menyaksikan pesatnya perkemvangan dan progress di
sana. Bagaimanapun, di sana banyak negara yang masing berjuang (suffer)
melepaskan diri dari problem seperti peperangan, kemiskinan (poverty), dan
ketidakadilan. Kita masih melihat konflik di mana banyak orang tidak bersalah
(innocent people) kehilangan hidup mereka dan anak-anak mereka menjadi yatim. Kita
melihat banyak sekali para pengungsi di Syria, Gaza, dan Iraq. Di Afghanistan
kita menyaksikan banyak keluarga yang terbunuh dalam kasuh bunuh diri dan
ledakan bom. Banyak anak di Afrika yang tidak memiliki akses Pendidikan
lantaran mereka miskin.
And as I said, we still see, we still see girls who have no freedom to go to
school in the north of Nigeria. Many children in countries like Pakistan and
India, as Kailash Satyarthi mentioned, many children, especially in India and
Pakistan are deprived of their right to education because of social taboos, or
they have been forced into child marriage or into child labor. One of my very
good school friends, the same age as me, who had always been a bold and
confident girl, dreamed of becoming a doctor. But her dream remained a dream.
Sebagaimana yang saya katakana, kita masih
menyaksikan banyak perempuan yang tidak memiliki kemerdekaan untuk berangkat
menuju sekolah di Nigeria Utara. Banyak anak-anak di beberapa negara seperti
Pakistan dan India, sebagaimana disebutkan oleh Kailash Satyasrthi, banyak
anak-anak khususnya di India dan Pakistan yang kehilangan hak untuk Pendidikan
dikarenakan ketabuan sosial, atau karena mereka dipaksa untuk menikah, atau
karena mereka dipaksa untuk menjadi tenaga kerja disini. Di antara teman
terbaikku di sekolah, umurnya sama denganku, dia merupakan pemberani dan
percaya diri, bermimpi untuk menjadi seorang doctor. Tapi mimpi hanyalah
tinggal mimpi.
At the age of 12, she was forced to get married. And then soon she had a son,
she had a child when she herself was still a child – only 14. I know that she
could have been a very good doctor. But she couldn't ... because she was a girl. Her story is why I
dedicate the Nobel Peace Prize money to the Malala Fund, to help give girls
quality education, everywhere, anywhere in the world and to raise their voices.
Pada umur 12, ia sudah dipaksa untuk menikah. Dan kemudian ia memiliki anak, (bayangkan!) dia sudah mempunyai anak padahal ia masih anak-anak, sekitar 14 tahun umurnya. Saya tahu bahwa dia sangat ingin menjadi doctor terbaik. Tapi ia tidak bisa, karena ia perempuan. Cerita tersebut adalah alasan yang melatarbelakangi mengapa saya rela mendedikasikan uang hasil meraih nobel ini kepada Malala Fund, untuk membantu perempuan mendapatkan Pendidikan yang berkualitas, dimanapun, dan bagaimanapun di muka bumi ini dan untu menggaungkan aspirasi mereka. (Ciputat, 21 Juli 2021)
The first place this funding will go to is where my heart is, to build schools
in Pakistan—especially in my home of Swat and Shangla. In my own village, there
is still no secondary school for girls. And it is my wish and my commitment,
and now my challenge to build one so that my friends and my sisters can go
there to school and get a quality education and to get this opportunity to
fulfill their dreams.
Tempat pertama yang akan saya donasikan
pendanaan ini adalah tempat di mana hatku ada di dalamnya, saya ingin
mendirikan sekolah di Pakistan, khususnya di daerah rumah saya di Swat dan
Shangla. Di desa saya, di sana tidak ada sekolah menengah untuk perempuan. Dan
ini adalah harapan dan komitmenku, dan sekarang tantangan bagiku untuk
membangunnya, maka nanti teman dan saudaraku bisa menuju ke sekolah tersebut dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan
inilah kesempatan bagi mereka untuk memenuhi mimpinya.
This is where I will begin, but it is not where I will stop. I will continue
this fight until I see every child, every child in school. Dear brothers and
sisters, great people, who brought change, like Martin Luther King and Nelson
Mandela, Mother Teresa and Aung San Suu Kyi, once stood here on this stage. I
hope the steps that Kailash Satyarthi and I have taken so far and will take on
this journey will also bring change – lasting change.
Ini adalah
tempat di mana saya akan memulai namun bukan tempat saya akan berhenti. Saya
akan melanjutkan pertarungan ini sampai melihat bahwa setiap anak mampu
sekolah. Wahai pendengar yang terhormat, orang hebat yang membawa perubahan,
seperti Martin Luther King dan Nelson Mandela, Ibu Terersa dan Aung San Suu Kyi
pernah berdiri di panggung ini. Saya berharap langkah yang saya dan Kailash
Satyarthi ambil ini jauh dan mampu membawa perubahan yang abadi (lasting change).
My great hope is that this will be the last time, this will be the last time we
must fight for education. Let's solve this once and for all. We have already
taken many steps. Now it is time to take a leap. It is not time to tell the
world leaders to realize how important education is - they already know it -
their own children are in good schools. Now it is time to call them to take
action for the rest of the world's children.
Harapan terbaikku
adalah menyaksikan bahwa ini adalah terakhir kalinya kita harus bertarung untuk
pendidikan. Mari kita tuntaskan semua masalah ini. Kita sudah siap mengambil
banyak langkah. Sekarang adalah waktu untuk melompat. Ini bukan waktu untuk
memberi kabar kepada pemimpin dunia tentang pentingnya pendidikan – bagaimanapun
mereka sudah tahu hal ini – agar anak-anak mampu berada di sekolah yang baik. Sekarang
adalah waktu untuk memanggil mereka untuk mengambil langkah untuk seluruh dunia
pendidikan anak (rest of the world childern)
We ask the world leaders to unite and make education their top priority.
Fifteen years ago, the world leaders decided on a set of global goals, the
Millennium Development Goals. In the years that have followed, we have seen
some progress. The number of children out of school has been halved, as Kailash
Satyarthi said.
Kita minta kepada para pemimpin dunia agar bersatu dan menjadikan pendidikan
mereka sebagai program prioritas. 15 tahun lalu, pemimpin dunia sudah
memutuskan untuk merancang pencapaian global, yakni program pencapaian
pengembangan era milenium. Dalam tahun yang kita ikuti, kita melihat banyak
sekali program. Jumlah anak-anak yang keluar sekolah mengalami penyusutan,
sebagaimana dikatakan oleh Kailash Satyarthi.
However, the world focused only on primary education, and progress did not
reach everyone. In the year 2015, representatives from all around the world
will meet in the United Nations to set the next set of goals, the Sustainable
Development Goals. This will set the world's ambition for the next generations.
Bagaimanapun,
dunia kini tengah fokus pada pendidikan utama, dan progresnya tidak menjangkau
(reach) setiap individu. Pada tahun 2015, perwakilan dari berbagai negara dunia
berkumpul di United Station untuk merancang pencapaian berikutnya, Program
Pencapaian Pengembangan Berkelanjutan. Ini merupakan langkah untuk merancang
ambisi dunia untuk generasi berikutnya. (Ciputat, 22 Juli
2021)
The world can no longer accept, the world can no longer accept that basic education is enough. Why do leaders accept that for children in developing countries, only basic literacy is sufficient, when their own children do homework in Algebra, Mathematics, Science, and Physics? Leaders must seize this opportunity to guarantee a free, quality, primary and secondary education for every child.
Some will say this is impractical, or too expensive, or too hard. Or maybe even impossible. But it is time the world thinks bigger.
Dear sisters and brothers, the so-called world of adults may understand it, but we children don't. Why is it that countries which we call strong" are so powerful in creating wars but are so weak in bringing peace? Why is it that giving guns is so easy but giving books is so hard? Why is it, why is it that making tanks is so easy, but building schools are so hard? We are living in the modern age and we believe that nothing is impossible.
We have reached the moon 45 years ago and maybe will soon land on Mars. Then, in this 21st century, we must be able to give every child quality education. Dear sisters and brothers, dear fellow children, we must work… not wait. Not just the politicians and the world leaders, we all need to contribute. Me. You. We. It is our duty. Let us become the first generation to decide to be the last, let us become the first generation that decides to be the last that sees empty classrooms, lost childhoods, and wasted potentials.
Let this be the last time that a girl or a boy spend their childhood in a factory. Let this be the last time that a girl is forced into early child marriage. Let this be the last time that a child loses life in war. Let this be the last time that we see a child out of school. Let this end with us. Let's begin this ending ... together ... today ... right here, right now. Let's begin this ending now. Thank you so much.
Dunia akan cepat untuk menerima, menerima pendidikan dasar adalah cukup. Mengapa para pemimpin harus memperjuangkan pendidikan di negara berkembang, hanya literasi dasar itu sudah memadai, sementara anak mereka belajar di rumah diajari Aljabar, Matematika, Sains dan Psikologi. Segenap pemimpin harus jeli menangkap (seize) kesempatan ini untuk menjamin pendidikan gratis untuk mereka, berkualitas, pendidikan primer atau sekunder untuk setiap anak.
Beberapa orang mengatakan bahwa hal ini susah untuk dipraktikkan, atau terlalu mahal, terlalu susah. Atau mungkin bahkan mustahil. Sebenarnya, inilah waktunya bagi dunia untuk berpikir lebih besar!
Para pendengar terhormat, orang dewasa mungkin memahami ini, tapi anak-anak tidak. Mengapa negara yang mendaku sebagai negara adidaya sangat mampu untuk menciptakan peperangan akan tetapi lemah dalam menciptakan perdamaian? Mengapa memberikan senjata terasa mudah tapi memberi buku amatlah susah? Mengapa membuat tank terasa mudah tapi membangun sekolah amatlah susah? Kita hidup di era modern dan kita percaya bahwa itu semua tidak mustahil untuk diwujudkan
Kita telah mencapai bulan pada 45 tahun lalu, bahkan kita akan mencapai mars. Kemudian, ini adalah abad 21, kita harus mampu mewujudkan pendidikan berkualitas untuk setiap anak.
Wahai para pendengar yang terhormat, wahai sesama pelajar, kita harus bergerak, jangan menunggu. Jangan hanya politikus dan pemimpin dunia yang bergerak, kita semua harus berkontribusi. Saya. Anda. Kita. Ini tugas kita. Mari kita putuskan untuk jadi generasi pertama yang terakhir melihat kelas kosong, anak2 kehilangan masa kecilnya, dan potensi yang terbuang.
Mari kita jadikan ini yang terakhir kalinya seorang laki-laki dan perempuan menghabiskan masa kecilnya di pabrik. Mari jadikan ini yang terakhir untuk seorang perempuan yang dipaksa menikah dini. Mari jadikan ini yang terakhir kalinya bagi seorang anak yang kehilangan nyawa saat peperangan. Mari jadikan ini yang terakhir kalinya kita melihat anak2 keluar dari sekolah. Mari, bersama kami, kita sudahi ini. Kita selesaikan semua... Bersama.... Hari ini.... Di sini dan sekarang juga. Mari kita tuntaskan permasalahan ini semua, sekarang juga!
Terimakasih banyak.
Dituntaskan di Musholla Baitussyifa, RS Puri Cinere pada Jumat, 23 Juli 2021.
Tonton Ceramah Peraihan Nobel Perdamaian oleh Malala di Sini Ceramah Nobel Malala
Download Transkip Ceramah Malala di Sini Transkip Ceramah Malala
0 komentar:
Posting Komentar