Jumat, 16 Juli 2021

CERAMAH MALALA YOUSUFZAI SAAT PENERIMAAN NOBEL PERDAMAIAN TAHUN 2014

 



CERAMAH MALALA YOUSUFZAI SAAT PENERIMAAN NOBEL PERDAMAIAN TAHUN 2014

Bismillah hir rahman ir rahim. In the name of God, the most merciful, the most beneficent. Your Majesties, Your royal highnesses, distinguished members of the Norweigan Nobel Committee. Dear sisters and brothers, today is a day of great happiness for me. I am humbled that the Nobel Committee has selected me for this precious award. Thank you to everyone for your continued support and love. Thank you for the letters and cards that I still receive from all around the world. Your kind (kebaikan) and encouraging (dorongan) words strengthen (memperkuat) and inspire me.

Bismillahirrahmanirrohiem.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang terhormat dan mulia, Komite Nobel Norwegia. Yang terhormat para pendengar, hari ini adalah hari yang paling Bahagia dalam hidup saya. Saya merasa tidak pantas (humble) ketika dewan Nobel menetapkan saya untuk mendapatkan penghargaan keren ini. Terimakasih bagi semua atas dukungan dan cinta yang tiada habisnya. Terimakasih bagi setiap kiriman surat dan kartu dari berbagai penjuru dunia yang masih saya terima hingga kini. Kebaikan kalian serta dorongan kata-kata yang ada di dalamnya memperkuat dan menginspirasi saya.

I would like to thank my parents for their unconditional love. Thank you to my father for not clipping my wings and for letting me fly. Thank you to my mother for inspiring me to be patient and to always speak the truth - which we (yang mana) strongly believe is the true message of Islam. And also thank you to all my wonderful teachers, who inspired me to believe in myself and be brave (berani). I am proud, well, in fact, I am very proud to be the first Pashtun, the first Pakistani, and the youngest person to receive this award.

Saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua saya atas cinta tanpa syaratnya. Terimakasih untuk ayah yang tidak menggunting sayap saya dan bebas membiarkan saya terbang. Terimakasih kepada Ibuku atas inspirasi yang membuatku sabar dan senantiasa menyampaikan kebenaran, yang mana ia percaya bahwa bahwa hal tersebut adalah pesan kebenaran Islam. Dan saya juga berterimakasih kepada seluruh guru-guruku yang luar biasa, yang menginspirasiku untuk pervaya diri dan menjadi pemberani. Saya bangga, dan saya sangat bangga untuk menjadi Pashtun pertama, orang Pakistan pertama dan menjadi yang termuda yang meraih penghargaan ini.

Along with that, along with that,(bersamaan dengan itu) I am pretty certain (cukup yakin) that I am also the first recipient (penerima) of the Nobel Peace Prize who still fights with her younger brothers. I want there to be peace everywhere, but my brothers and I are still working on that. I am also honored (terhormat) to receive this award together with Kailash Satyarthi, who has been a champion for children's rights (hak anak) for a long time. Twice as long (dua kali lipat), in fact, than I have been alive. I am proud that we can work together, we can work together and show the world that an Indian and a Pakistani, they can work together and achieve (meraih) their goals of children's rights (hak anak)

Bersamaan dengan itu, saya juga cukup yakin bahwa saya juga penerima nobel pertama yang masih aktif berkelahi dengan saudara lelakinya. Saya mengharapkan perdamaian diterapkan dimanapun, akan tetapi saya dan saudara saya masih tetap melakukannya. Saya juga merasa terhormat karena menerima penghargaan ini bersama dengan Kailash Satyarthi, seseorang yang juar dalam menjaga hak anak-anak dalam waktu yang lama. Berdua, faktanya, membuat saya merasa masih hidup. Saya bangga kita bisa bekerjasama, kita bisa bekerja bersama dan menunjukkan kepada dunia bahwa India dan Pakistan mereka bisa bekerja bersama dan meraih pencapain menjaga hak anak-anak.

Dear brothers and sisters, I was named after the inspirational Malalai of Maiwand who is the Pashtun Joan of Arc. The word Malala means grief-stricken", sad" (berduka, kesedihan), but in order to lend (meminjamkan) some happiness to it, my grandfather would always call me Malala – The happiest girl in the world" and today I am very happy that we are together fighting for an important cause (sebab)

Yang terhormat para pendengar, saya diberi nama Malalai of Maiwand, sosok Pasthun Joan Arc. Nama Malala berarti sedih dan berduka, akan tetapi ia dimaksudkan dengan makna kebahagiaan, kakekku selalu memanggil Malala (aku) sebagai gadis yang paling bahagia, dan sekarang saya sangat bahagia karena kita bersama tengah berjuang mewujudkan hal penting.

This award is not just for me. It is for those forgotten (terlupakan) children who want an education. It is for those frightened (ketakutan) children who want peace. It is for those voiceless children who want change. I am here to stand up for their rights (hak), to raise (mengangkat) their voice… it is not time to pity (mengasihani) them. It is not time to pity them. It is time to take action so it becomes the last time, the last time, so it becomes the last time that we see a child deprived (dirampas) of education.

Penghargaan ini tidak untuk saja. Ini untuk mereka anak-anak yang terlupakan dalam haknya mendapatkan hak edukasi. Ini untuk mereka anak-anak yang ketakutan yang menginginkan kedamaian. Ini untuk mereka anak-anak yang memiliki sedikit suara namun menginginkan perubahan. Saya di sini berdiri untuk menuntut pemenuhan hak-hak mereka para anak-anak agar mereka bisa mengangkat suara mereka. Ini bukan waktunya lagi merasa kasihan terhadap mereka, ini adalah waktu untuk emngambil tindakan. Maka ini adalah kesempatan terakhir kita melihat hak pendidikan anak-anak dirampas.

I have found (menemukan) that people describe me in many different ways. Some people call me the girl who was shot by the Taliban. And some, the girl who fought (berjuang) for her rights. Some people, call me a "Nobel Laureate" (Pemenang hadiah) now. However, my brothers still call me that annoying bossy (menjengkelkan dan suka memerintah) sister. As far as I know, I am just a committed and even stubborn (keras kepala) person who wants to see every child getting a quality education, who wants to see women having equal rights (hak kesetaraan) and who wants peace in every corner of the world. Education is one of the blessings (berkah) of life—and one of its necessities (kebutuhan). That has been my experience during the 17 years of my life. In my paradise home, Swat, I always loved learning and discovering (menemukan) new things.

Saya mendapati keragaman orang menilai saya. Beberapa orang mengenalku sebagai gadis yang pernah ditembak oleh Taliban. Sebagian melihatku sebagai sosok yang tengah berjuang memperjuangkan haknya. Sebagian memanggilku sosok yang meraih hadiah nobel. Dan, bagaimanapun, adikku masih saja memanggilku sebagai sosok yang menjengkelkan suka memerintah. Sejauh yang saya kenal, saya adalah sosok yang berkomitmen dan bahkan keras kepala yang menginginkan melihat setiap anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sosok yang menginginkan perempuan memiliki hak keseteraan (dalam hak pendidikan) dan sosok yang menginginkan perdamaian di muka bumi. Pendidikan adalah berkah kehidupan dan ini merupakan sebuah kebutuhan. Itu yang saya alami sepanjang saya hidup selama 17 tahun. Di rumah surgaku di Swar, saya selalu mencintai proses belajar dan proses menemukan sesuatu yang baru.

I remember when my friends and I would decorate our hands with henna on special occasions. And instead (sebagai ganti) of drawing flowers and patterns we would paint our hands with mathematical formulas and equations. We had a thirst for education, we had a thirst (haus) for education because our future was right there in that classroom. We would (akan) sit and learn and read together. We loved to wear neat and tidy (rapi) school uniforms and we would sit there with big dreams in our eyes. We wanted to make our parents proud and prove (membuktikan) that we could also excel (unggul) in our studies and achieve (mencapai) those goals, which (yang) some people think only boys can.

Saya mengingat ketika teman saya ingin mendekorasi tangan kita menggunakan henna. Dan, sebagai gantinya, kita menggambar bunga dan pola, kami menggambar tangan kita dengan formula matematika. Kamis haus akan pendidikan, kami haus akan pendidikan karena masa depan kami ditentukan dari ruang kelas tersebut. Kami akan duduk bersama dan membaca bersama. Kami menyukai memakai seragam sekolah yang rapi dan kami duduk di sana dengan sejumlah mimpi yang menggantung di mata. Kami mencari cara agar orangtua kami bangga dan kami juga akan membuktikan bahwa kami unggul di pelajaran kami dan mampu mencapai gol, yang temanteman laki kami bisa capai.

But things did not remain (tetap) the same. When I was in Swat, which was a place of tourism and beauty, suddenly changed into a place of terrorism. I was just ten that more than 400 schools were destroyed. Women were flogged (dicambuk). People were killed. And our beautiful dreams turned into nightmares (mimpi buruk). Education went (pergi) from being a right to being a crime. Girls were stopped from going to school.

Namun hal tersebut tidak sama. Ketika saya di Swat, sebuah tempat yang menjadi surga yang indah bagi para turis, tiba-tiba berubah menjadi tempat terorisme. Saya berumur 10 kala itu ketika ada 400 sekolah yang dihancurkan. Perempuan dicambuk. Orang-orang dibunuh. Dan mimpi indah kami berakhir menjadi mimpi buruk. Hak pendidikan telah tiada, dari yang awalnya sebuah hak berakhir menjadi laku kriminal. Perempuan-perempuan dilarang untuk pergi ke sekolah. (Ciputat, 17 Juli 2021)


When my world suddenly changed, my priorities changed too. I had two options. One was to remain silent and wait to be killed. And the second was to speak up and then be killed. I chose the second one. I decided to speak up. We could not just stand by and see those injustices of the terrorists denying our rights, ruthlessly killing people and misusing the name of Islam.

Ketika duniaku tiba-tiba berubah, prioritas dalam hidupku juga berubah. Saya jadi mempunyai dua opsi dalam hidup. Satu, saya tetap dia dan menunggu dibunuh. Kedua, saya memilih berbicara dan kemudian saya terbunuh. Saya memilih opsi yang kedua. Saya memutuskan untuk berbicara. Kita tidak bisa hanya berdiam dan melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh para teroris di mana mereka merampas (denying) hak kami, dengan kejam membunuh manusia dengan mempersalahgunakan nama islam.


We decided to raise our voice and tell them: Have you not learned, have you not learned that in the Holy Quran Allah says: if you kill one person it is as if you kill the whole humanity? Do you not know that Mohammad, peace be upon him, the prophet of mercy, he says, do not harm yourself or others". And do you not know that the very first word of the Holy Quran is the word Iqra", which means read"?

Kami memtuuskan untuk mengangkat suara kami dan memberitahukan kepada mereka : Apakah kalian tidak belajar, bahwa di dalam al-Qur’an Allah berfirman “Barangsiapa yang membunuh 1 orang maka itu sama dengan membunuh seluruh kehidupan”? Tidakkah kamu tahu bahwa Muhammad Saw, mengatakan, “Janganlah membahayakan dirimu atau membahayakan orang lain”? Dan apakah kalian tidak tahu bahwa kata pertama yang diturunkan oleh dalam Al-Qur’an adalah Iqra, yang berarti membaca?



The terrorists tried to stop us and attacked me and my friends who are here today, on our school bus in 2012, but neither their ideas nor their bullets could win. We survived. And since that day, our voices have grown louder and louder. I tell my story, not because it is unique, but because it is not. It is the story of many girls. Today, I tell their stories too. I have brought with me some of my sisters from Pakistan, from Nigeria and from Syria, who share this story.

Sejumlah teroris berusaha memberhentikan kami dan menyerang saya dan teman saya, mereka ada di sini hari ini, ketika kami berada di bus sekolah kami pada tahun 2012, akan tetapi ideologi mereka dan peluru yang mereka muntahkan tidak menang. Kami bertahan dan sejak itu suara kami malah semakin besar dan menggelegar. Saya menceritakan kisah ini, bukan karena ini unik, tapi karena hal ini merupakan yang wajar terjadi di dunia kami. Ini adalah cerita yang mewakili banyak perempuan. Hari ini, saya sampaikan kisah mereka juga. Saya telah menghadirkan beberapa saudara saya dari Pakistan, dari Nigeria, dari Syiria, yang darinya terungkap kisah-kisah menarik.



My brave sisters Shazia and Kainat who were also shot that day on our school bus. But they have not stopped learning. And my brave sister Kainat Soomro who went through severe abuse and extreme violence, even her brother was killed, but she did not succumb. Also my sisters here, whom I have met during my Malala Fund campaign.

Saudara saya yang pemberani, Shazia, dan Kainat yang juga saat itu tertembak di bus sekolah kami. Tetapi mereka tidak berhenti belajar. Dan saudara pemberaniku Kainat Soomro yang telah mengalami ujian berat dan kekerasan yang begitu ekstrem, bahkan saudara laki-lakinya terbunuh, akan tetapi dia tidak menyerah. Juha saudara saya di sini, yang saya temui selama kampanye Malala Fund.


My 16-year-old courageous sister, Mezon from Syria, who now lives in Jordan as a refugee and goes from tent to tent encouraging girls and boys to learn. And my sister Amina, from the North of Nigeria, where Boko Haram threatens, and stops girls and even kidnaps girls, just for wanting to go to school.

Saudaraku yang pemberani Mezon dari Syiria, yang sedang berusia 16 tahun, yang saat ini menyaksikan dari Jordan sebagai pengungsi dan sekarang tengah pergi ke tenda yang berisi laki-laki dan perempuan untuk belajar. Dan saudara saya Amnina, dari Nigeria Utara di tempat di mana Boko Haram kerap mengancam (threatens) anak-anak bahkan menculik (kidnap) mereka hanya karena ada hasrat untuk bersekolah. (Bintaro, 20 Juli 2021)

 

Part 2

Though I appear as one girl, though I appear as one girl, one person, who is 5 foot 2 inches tall if you include my high heels. (It means I am 5 foot only) I am not a lone voice, I am not a lone voice, I am many. I am Malala. But I am also Shazia. I am Kainat. I am Kainat Soomro. I am Mezon. I am Amina. I am those 66 million girls who are deprived of education.

Kendati saya berpenampilan seperti seorang gadis saja, kendati saya berpenampilan seperti seorang gadis saja, saya yang hanya memiliki tinggi 5 kaki saja (termasuk sepatu hak saya), namun saya bukanlah orang yang memiliki suara yang sunyi dan sepi, saya adalah banyak. Saya adalah Malala. Tapi saya juga Shazia. Saya Kainat. Saya Kainat Soomro. Saya Mezon. Saya Amnina. Saya adalah 66 juta perempuan yang kehilangan (depriped) dunia Pendidikan.


And today I am not raising my voice, it is the voice of those 66 million girls. Sometimes people like to ask me why should girls go to school, why is it important to them. But I think the more important question is why shouldn't they, why shouldn't they have this right to go to school.

Dan hari ini saya tidak menggaungkan suara saya, ini adalah suara dari 66 juta perempuan. Terkadang, seseorang bertanya kepadaku mengapa perempuan harus pergi ke sekolah, ini pertanyaan yang tidak penting bagi mereka. Bagiku, yang terpenting adalah pertanyaan, mengapa sekolah tidak menjadi penting bagi mereka para perempuan? Mengapa mereka tidak memiliki hak untuk pergi ke sekolah.


Dear sisters and brothers, today, in half of the world, we see rapid progress and development.
However, there are many countries where millions still suffer from the very old problems of war, poverty, and injustice. We still see conflicts in which innocent people lose their lives and children become orphans. We see many people becoming refugees in Syria, Gaza, and Iraq. In Afghanistan, we see families being killed in suicide attacks and bomb blasts. Many children in Africa do not have access to education because of poverty.

Wahai pendengar yang berbahagia. Saat ini setengah dari dunia kita menyaksikan pesatnya perkemvangan dan progress di sana. Bagaimanapun, di sana banyak negara yang masing berjuang (suffer) melepaskan diri dari problem seperti peperangan, kemiskinan (poverty), dan ketidakadilan. Kita masih melihat konflik di mana banyak orang tidak bersalah (innocent people) kehilangan hidup mereka dan anak-anak mereka menjadi yatim. Kita melihat banyak sekali para pengungsi di Syria, Gaza, dan Iraq. Di Afghanistan kita menyaksikan banyak keluarga yang terbunuh dalam kasuh bunuh diri dan ledakan bom. Banyak anak di Afrika yang tidak memiliki akses Pendidikan lantaran mereka miskin.


And as I said, we still see, we still see girls who have no freedom to go to school in the north of Nigeria. Many children in countries like Pakistan and India, as Kailash Satyarthi mentioned, many children, especially in India and Pakistan are deprived of their right to education because of social taboos, or they have been forced into child marriage or into child labor. One of my very good school friends, the same age as me, who had always been a bold and confident girl, dreamed of becoming a doctor. But her dream remained a dream.

Sebagaimana yang saya katakana, kita masih menyaksikan banyak perempuan yang tidak memiliki kemerdekaan untuk berangkat menuju sekolah di Nigeria Utara. Banyak anak-anak di beberapa negara seperti Pakistan dan India, sebagaimana disebutkan oleh Kailash Satyasrthi, banyak anak-anak khususnya di India dan Pakistan yang kehilangan hak untuk Pendidikan dikarenakan ketabuan sosial, atau karena mereka dipaksa untuk menikah, atau karena mereka dipaksa untuk menjadi tenaga kerja disini. Di antara teman terbaikku di sekolah, umurnya sama denganku, dia merupakan pemberani dan percaya diri, bermimpi untuk menjadi seorang doctor. Tapi mimpi hanyalah tinggal mimpi.


At the age of 12, she was forced to get married. And then soon she had a son, she had a child when she herself was still a child – only 14. I know that she could have been a very good doctor.
But she couldn't ... because she was a girl. Her story is why I dedicate the Nobel Peace Prize money to the Malala Fund, to help give girls quality education, everywhere, anywhere in the world and to raise their voices.

Pada umur 12, ia sudah dipaksa untuk menikah. Dan kemudian ia memiliki anak, (bayangkan!) dia sudah mempunyai anak padahal ia masih anak-anak, sekitar 14 tahun umurnya. Saya tahu bahwa dia sangat ingin menjadi doctor terbaik. Tapi ia tidak bisa, karena ia perempuan. Cerita tersebut adalah alasan yang melatarbelakangi mengapa saya rela mendedikasikan uang hasil meraih nobel ini kepada Malala Fund, untuk membantu perempuan mendapatkan Pendidikan yang berkualitas, dimanapun, dan bagaimanapun di muka bumi ini dan untu menggaungkan aspirasi mereka. (Ciputat, 21 Juli 2021)

The first place this funding will go to is where my heart is, to build schools in Pakistan—especially in my home of Swat and Shangla. In my own village, there is still no secondary school for girls. And it is my wish and my commitment, and now my challenge to build one so that my friends and my sisters can go there to school and get a quality education and to get this opportunity to fulfill their dreams.

Tempat pertama yang akan saya donasikan pendanaan ini adalah tempat di mana hatku ada di dalamnya, saya ingin mendirikan sekolah di Pakistan, khususnya di daerah rumah saya di Swat dan Shangla. Di desa saya, di sana tidak ada sekolah menengah untuk perempuan. Dan ini adalah harapan dan komitmenku, dan sekarang tantangan bagiku untuk membangunnya, maka nanti teman dan saudaraku bisa menuju ke sekolah tersebut dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan inilah kesempatan bagi mereka untuk memenuhi mimpinya.


This is where I will begin, but it is not where I will stop. I will continue this fight until I see every child, every child in school. Dear brothers and sisters, great people, who brought change, like Martin Luther King and Nelson Mandela, Mother Teresa and Aung San Suu Kyi, once stood here on this stage. I hope the steps that Kailash Satyarthi and I have taken so far and will take on this journey will also bring change – lasting change.

Ini adalah tempat di mana saya akan memulai namun bukan tempat saya akan berhenti. Saya akan melanjutkan pertarungan ini sampai melihat bahwa setiap anak mampu sekolah. Wahai pendengar yang terhormat, orang hebat yang membawa perubahan, seperti Martin Luther King dan Nelson Mandela, Ibu Terersa dan Aung San Suu Kyi pernah berdiri di panggung ini. Saya berharap langkah yang saya dan Kailash Satyarthi ambil ini jauh dan mampu membawa perubahan yang abadi (lasting change).


My great hope is that this will be the last time, this will be the last time we must fight for education. Let's solve this once and for all. We have already taken many steps. Now it is time to take a leap. It is not time to tell the world leaders to realize how important education is - they already know it - their own children are in good schools. Now it is time to call them to take action for the rest of the world's children.

Harapan terbaikku adalah menyaksikan bahwa ini adalah terakhir kalinya kita harus bertarung untuk pendidikan. Mari kita tuntaskan semua masalah ini. Kita sudah siap mengambil banyak langkah. Sekarang adalah waktu untuk melompat. Ini bukan waktu untuk memberi kabar kepada pemimpin dunia tentang pentingnya pendidikan – bagaimanapun mereka sudah tahu hal ini – agar anak-anak mampu berada di sekolah yang baik. Sekarang adalah waktu untuk memanggil mereka untuk mengambil langkah untuk seluruh dunia pendidikan anak (rest of the world childern)


We ask the world leaders to unite and make education their top priority. Fifteen years ago, the world leaders decided on a set of global goals, the Millennium Development Goals. In the years that have followed, we have seen some progress. The number of children out of school has been halved, as Kailash Satyarthi said.


Kita minta kepada para pemimpin dunia agar bersatu dan menjadikan pendidikan mereka sebagai program prioritas. 15 tahun lalu, pemimpin dunia sudah memutuskan untuk merancang pencapaian global, yakni program pencapaian pengembangan era milenium. Dalam tahun yang kita ikuti, kita melihat banyak sekali program. Jumlah anak-anak yang keluar sekolah mengalami penyusutan, sebagaimana dikatakan oleh Kailash Satyarthi.


However, the world focused only on primary education, and progress did not reach everyone. In the year 2015, representatives from all around the world will meet in the United Nations to set the next set of goals, the Sustainable Development Goals. This will set the world's ambition for the next generations.

Bagaimanapun, dunia kini tengah fokus pada pendidikan utama, dan progresnya tidak menjangkau (reach) setiap individu. Pada tahun 2015, perwakilan dari berbagai negara dunia berkumpul di United Station untuk merancang pencapaian berikutnya, Program Pencapaian Pengembangan Berkelanjutan. Ini merupakan langkah untuk merancang ambisi dunia untuk generasi berikutnya. (Ciputat, 22 Juli 2021)


The  world  can  no  longer  accept,  the  world  can  no  longer  accept that  basic  education  is  enough. Why  do  leaders  accept that for  children  in  developing countries,  only  basic  literacy  is  sufficient, when  their  own  children  do homework in  Algebra,  Mathematics,  Science,  and  Physics? Leaders  must seize  this  opportunity  to  guarantee  a  free,  quality,  primary  and  secondary  education for  every child. 

Some will say  this  is  impractical,  or  too expensive,  or  too hard.  Or  maybe  even  impossible.  But  it  is time  the  world  thinks  bigger.

Dear  sisters  and  brothers,  the  so-called  world  of adults  may  understand  it,  but we  children  don't. Why is  it that countries  which  we  call  strong"  are  so  powerful  in  creating  wars  but are  so  weak  in bringing peace?  Why  is  it that giving guns  is  so  easy  but giving books  is  so  hard?  Why  is  it,  why  is it  that  making  tanks  is  so  easy,  but  building  schools  are  so hard? We are  living in  the  modern  age  and  we  believe  that nothing  is  impossible.  

We  have  reached  the moon 45  years  ago and  maybe  will soon  land  on  Mars.  Then,  in  this  21st  century,  we  must  be  able to give  every child  quality education. Dear  sisters  and  brothers,  dear  fellow children,  we  must  work… not wait.  Not just  the  politicians and  the  world  leaders,  we  all  need  to  contribute.  Me.  You.  We.  It is  our  duty. Let us  become  the  first generation  to  decide  to  be  the  last,  let us  become  the  first generation  that decides  to  be  the  last  that sees  empty  classrooms,  lost childhoods,  and  wasted  potentials. 

Let this  be  the  last  time  that  a girl or  a boy spend  their  childhood  in  a factory. Let  this  be  the  last  time  that  a girl is  forced  into  early child  marriage. Let this  be  the  last time  that a  child  loses  life  in  war. Let this  be  the  last time  that we  see  a  child  out  of  school. Let this  end  with  us. Let's  begin  this  ending ...  together  ...  today  ...  right  here,  right now.  Let's  begin  this  ending now. Thank you  so much.


Dunia akan cepat untuk menerima, menerima pendidikan dasar adalah cukup. Mengapa para pemimpin harus memperjuangkan pendidikan di negara berkembang, hanya literasi dasar itu sudah memadai, sementara anak mereka belajar di rumah diajari Aljabar, Matematika, Sains dan Psikologi. Segenap pemimpin harus jeli menangkap (seize) kesempatan ini untuk menjamin pendidikan gratis untuk mereka, berkualitas, pendidikan primer atau sekunder untuk setiap anak. 

Beberapa orang mengatakan bahwa hal ini susah untuk dipraktikkan, atau terlalu mahal, terlalu susah. Atau mungkin bahkan mustahil. Sebenarnya, inilah waktunya bagi dunia untuk berpikir lebih besar!

Para pendengar terhormat, orang dewasa mungkin memahami ini, tapi anak-anak tidak. Mengapa negara yang mendaku sebagai negara adidaya sangat mampu untuk menciptakan peperangan akan tetapi lemah dalam menciptakan perdamaian? Mengapa memberikan senjata terasa mudah tapi memberi buku amatlah susah? Mengapa membuat tank terasa mudah tapi membangun sekolah amatlah susah? Kita hidup di era modern dan kita percaya bahwa itu semua tidak mustahil untuk diwujudkan

Kita telah mencapai bulan pada 45 tahun lalu, bahkan kita akan mencapai mars. Kemudian, ini adalah abad 21, kita harus mampu mewujudkan pendidikan berkualitas untuk setiap anak. 

Wahai para pendengar yang terhormat,  wahai sesama pelajar, kita harus bergerak, jangan menunggu. Jangan hanya politikus dan pemimpin dunia yang bergerak, kita semua harus berkontribusi. Saya. Anda. Kita. Ini tugas kita. Mari kita putuskan untuk jadi generasi pertama yang terakhir melihat kelas kosong, anak2 kehilangan masa kecilnya, dan potensi yang terbuang.

Mari kita jadikan ini yang terakhir kalinya seorang laki-laki dan perempuan menghabiskan masa kecilnya di pabrik. Mari jadikan ini yang terakhir untuk seorang perempuan yang dipaksa menikah dini. Mari jadikan ini yang terakhir kalinya bagi seorang anak yang kehilangan nyawa saat peperangan. Mari jadikan ini yang terakhir kalinya kita melihat anak2 keluar dari sekolah. Mari, bersama kami, kita sudahi ini. Kita selesaikan semua... Bersama.... Hari ini.... Di sini dan sekarang juga. Mari kita tuntaskan permasalahan ini semua, sekarang juga! 

Terimakasih banyak.

Dituntaskan di Musholla Baitussyifa, RS Puri Cinere pada Jumat, 23 Juli 2021. 

Tonton Ceramah Peraihan Nobel Perdamaian oleh Malala di Sini Ceramah Nobel Malala

Download Transkip Ceramah Malala di Sini Transkip Ceramah Malala


0 komentar:

Posting Komentar

Back to top