Rabu, 08 Juli 2020

Juli 08, 2020 - No comments

Usaha + Privilege = Sukses (?)


Berawal dari thread menarik di Twitter tentang formulasi kesuksesan yang anti mainstream, saya merenung sejenak mempertanyakan hal tesebut serta menautkannya dalam konteks kepribadian saya sendiri. Dalam Thread Dhico tersebut diketemukan sebuah formulasi menarik terkait kesuksesan, bahwa, berdasar temuannya, kesuksesan adalah hasil dari kombinasi antara kerja keras dan privilege (hak istimewa).

Dalam pemaparannya disebutkan bahwa kerja keras saja tidak cukup. Untuk mencapai kesuksesan seseorang perlu memiliki karakter dan sudut pandang yang proporsional untuk mencapai hal tersebut. Sedang karakter dan sudut pandang seseorang itu lahir dari lingkungan tempat di mana dia hidup. Hal ini pula yang kemudian menentukan fasilitas kehidupan dan pendidikan yang menopang masa depan seseorang.

Fasilitas kehidupan seperti keluarga yang mendukung cita-cita sang anak serta akses mengenyam pendidikan terbaik merupakan kunci seseorang meraih karakter dan sudut pandang yang kuat dan siap mengahntam badai persaingan menuju kesuksesan. Yang dengan modal karakter dan sudut pandang tersebutlah ia mampu menjadi yang terbaik.

Dhico berbicara soal circle kehidupan. Orang yang dilatih untuk memandang hal2 baik, diberi yang baik2, maka kesempatan baginya menjadi yang terbaik bukanlah hal yang sulit. Berbalikan dengan itu adalah mereka yang sejak kecil lahir dari keluarga kurang baik (dalam hal ini ekonomi yang morat-marit), kesehariannya dipenuhi dengan gambaran bahwa contoh orang "baik" adalah orang2 di sekitarnya yang kita ketahui "kurang baik." Hal ini yang tumbuh dalam pikirannya, ditambah dengan fasilitas pendidikan yang juga kurang baik, jadilah mereka berputar dalam circle orang "kurang baik." Hal tersebut yang mengantarkan ia menuju sisa kehidupannya.

Sebagai contoh Dhico mengambil kisah Maudy Ayunda dan Nadiem Makarim. Keduanya tokoh publik dengan kondisi yang baik. Namun, selain kerja keras yang tentunya mereka lakukan, ada perang "privilege" lingkungan mereka juga yang mendukung. Nadiem Makarim misalnya, beliau merupakan seorang pengacara terkenal Anwa Makarim, yang pengacara sekelas Hotman Paris saja pernah kerja di bawahnya. Kemudian Maudy Ayunda, yang merupakan seorang anak kaya dengan fasilitas pendidikan yang ciamik. Dhico menyebutkan bahwa Maudy Ayunda dahulu mengenyam sekolah mahal seperti Mentari School dan British School. Maka tidak heran jika Maudy dan Nadim makarim mampu menjadi orang-orang hebat. Ini hanya soal Circle. Dan masih banyak tokoh2 lain yang setali tiga uang dengan kasus tersebut. 

Demikian Kata Dhico. Kita boleh percaya boleh tidak. 


Bahwa Teori Tidak Seluruhnya Benar

Teori tersebut tidak sepenuhnya salah meski tidak semuanya benar. Bahwa ternyata lingkungan dan fasilitas sangat mempengaruhi pola pikir kita itu benar. Namun sejauh mana usaha dan tekad kita untuk berpikir waras dan menyadari adanya ketidakberesan dalam sirkulasi kehidupan kita, itulah sebenarnya yang bisa kita negosiasikan. Selain dua tokoh di atas, memang ada tokoh2 lain yang saya temui sendiri dalam kehidupan nyata yang memang secara lingkungan keluarga dan akses fasilitas pendidikan mereka terbiasa mendapatkan yang terbaik. 

Namun, ada juga kisah2 lain yang saya rangkum dari bacaan saya yang menunjukkan bahwa ada juga orang-orang biasa yang dididik di lingkungan biasa dengan akses pendidikan tidak terlalu mahal dan terkenal, namun mampu merawat kewarasan serta mempertajam kepekaan kondisinya, dan kemudian beliau menjadi orang luar biasa.

Sebagai contoh adalah kisah pak Oman Fathurrahman seorang filologi keislaman yang namanya diperhitungkan dalam dunia akademis. Kisah beliau saya baca di buku Dari Pesantren Untuk Dunia. 

Dilahirkan dari keluarga yang tidak terlalu mapan beliau dipondokkan di sebuah pondok di Jawa Barat. Usai mondok ia bersikeras untuk bisa melanjutkan perkuliahan, namun keluarga lebih memilihnya untuk memondokkan Oman di pondok lain. Boleh kuliah asal memakai biaya sendiri, demikian kata ayahnya.

Hingga akhirnya beliau nekat ke Jakarta dan kuliah di UIN seraya menjadi Pedagang Asongan! itu harga konsekuensi yang harus diterima, bahwa untuk menyambung kehidupan di jakarta ia harus tetap dapat penghasilan, dan saat itu yang menjadi pilihan adalah dengan menjadi pedagang asongan.

Namun seiring berjalannya waktu ia mampu tumbuh berkembang dalam satu nuansa akademis yang kental, yang kemudian mengantarkannya menjadi guru besar dalam bidang filologi dan menjadi pembicara di berbagai seminar dalam dan luar negeri. Apa yang dicapai oleh Oman adalah pengejawantahan kerja keras tanpa Previlege.Yang dimiliki Oman adalah kerja keras, kerja keras, daya kemauan yang tinggi serta kesadaran posisi dia saat itu. Bahwa ia harus bekerjas keras menggapai yang dicita-citakan,agar bisa berhijrah dari kondisinya yang "kurang baik" menuju "sangat baik".


Apakah hanya pembenaran saja?

Mencuat pula dalam benak saya bahwa meyakini teori Dhico sama saja meragukan makna kerja keras, ikhtiar serta mengikis kerja sunnatullah. Bahwa kesuksesan, bagaimanapun, adalah buah dari kerja keras yang selama ini kita upayakan dengan sungguh-sungguh, rapi dan terencana. 

Lagi-lagi, bermalas-malasan dalam hal ini menemukan momentum pembenarannya. Rasa malas yang mengakar dan berkarakter kuat dalam diri mendukung penuh paradigma bahwa kesuksesan memang benar sebagian besar diwarisi, sebagian kecil saja yang lahir dari usaha kerja keras. Respek rasa malas sama lo! (Bintang Emon)


Teori Alternatif

Teori alternatif dari tesis bahwa Sukses = Kerja keras + Privilege adalah sebagai berikut : Sukses = kerja keras + kesadaran + taktik

Bahwa yang bisa mengantarkan kita kepada kesuksesan adalah kesadaran. Kesadaran bahwa hidup yang kita lalui mesti lebih baik dari hari kemarin. Kesadaran bahwa menghadapi masa tua dengan modal minim adalah sesuatu yang mengerikan (Seno Gumira). Kesadaran bahwa hidup hanya sekali maka hiduplah yang berarti (anonim).

Dengan demikian kita terpacu untuk kerja keras tak kenal lelah. Namun, kerja keras saja tidak cukup, butuh kerja cerdas pula yang mengiringinya (Komaruddin Hidayat). Kerja cerdsas berarti paham taktik dan strategi yang harus dilaksanakan. Bahwa untuk mencapai target seseorang harus melewati protokol yang ketat dan tak jarang beresiko. Untuk itu kita perlu menganalisa, mencari tahu mana jalan yang harus kita lalu. Biar lari kita benar sesuai tujuan, tidak malah membuat kita semakin jauh dari garis finish. (Pepatah Arab, "Man Saro Ala Darbi Washola")

Demikian. Semoga bisa dimaklumi dan diiinternalisasi. Khususnya untuk saya pribadi.

Darussunnah kamar 6 MDS, Kamis 09 Juli 2020, jam 06.25 Sore WIB


0 komentar:

Posting Komentar

Back to top