Februari 17, 2014 -
Agama
2 comments
@102 Riwayah Bil Ma'na Wal Ikhtisor Hadits Fi Aqwalil Ulama'
Riwayah Bil Ma’na Wal Ikhtisor Hadits
Makalah Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits
Dosen Pengampuh :
Andi Rahman, MA
Disusun oleh:
Ja’far Tamam Al-Bantani
Faqieh Mawardi
PROGRAM STUDI ULUMUL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN 2014
BAB I
Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam yang telah
memberikan kita berbagai macam nikmat dan karunia-Nya, shalwat beserta salam
kita tujukan kepada baginda besar Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Baiklah, pada kesempatan kali ini, kami akan membahas masalah
riwayah bil ma’na (periwayatan hadits dengan menggunakan makna) dan ikhtishar
hadits (peringkasan sebuah hadits) sebagai tugas mata kuliah ulumul hadits
kelompok 3, selamat mendengarkan dan menyimak…
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Riwayah Bil Ma’na
a. Pengertian:
Riwayah
bil ma’na atau dalam bahasa Indonesianya “ periwayatan dengan makna” adalah
salah satu jenis periwayatan yang ada dalam khazanah ilmu hadits, yaitu dengan
cara meriwayatkan sebuah hadits hanya dengan maknanya saja, kebalikan dari
riwayah bil ma’na ini adalah riwayah bil lafdzi, yaitu meriwayatkan hadits dengan
lafadz.
b.
Pendapat Ulama Mengenai Riwayat Bil Ma’na
Dalam dunia ilmu hadits, sebuah hadits disampaikan antar
perawi berbmacam-macam, di antara mereka ada yang meriwayatkan hadits secara
sempurna mengikuti bunyi lafadznya dari seorang perawi pendahulunya, namun di
samping itu ada pula seorang perawi yang meriwayatkan hadits hanya dari segi
maknanya saja, dia (perawi) mendengar dari gurunya kemudian dia meriwayatkan
kepada muridnya dengan pelafalan maknanya saja, tidak harus dilakukan segi
lafadznya saja.
Menyikapi fenomena seperti ini, para ulama hadits, fiqih,
ushul dsb.Menyiasatinya dengan mengutarakan beberapa pendapat mengenai hal ini,
ada yang mengatakan bahwa tindakan ini dibolehkan dan ada yang tidak
membolehkan, ada yang melarangnya dalam periwayatan hadits Nabi dan
membolehkannya pada selain hadits nabi, dan lain-lain.
Berikut akan kami paparkan beberapa pendapat dan ijma’ para
ulama salaf mengenai periwayatan hadits dengan mankna ini :
Ø Imam Nawawi dalam Taqrib
Nawawi berkata, “jika seorang perawi tidak mengetahui dengan lafadz-lafadz
(sebuah hadits) dan maksudnya, tidak teliti terhadap apa yang dibawa oleh makna dari lafadz itu, tidak diperbolehkan
meriwayatkan (hadits) dengan makna tanpa ada perselisihan pendapat (ikhtilaful
ulama’), akan tetapi wajib baginya meriwayatkan dengan lafadz yang dia dengar.[1]
Ø Hal ini diperkuat dengan pernyataan ibnu katsir dalam Ikhtishar nya, “para ulama bersepakat
bahwasanya jika seorang perawi tidak memahami dalam sebuah lafadz, tidak
mengetahui makna dan maksudnya, serta tidak teliti terhadap makna yang
terkandung dari lafadz tersebut, maka kami tidak membolehkan periwayatan dari
apa yang didengarnya dengan makna, akan tetapi wajib baginya
menceritakan/meriwayatkan (hadits) dengan lafadz yang dia dengar tanpa perlu
diubah-ubah lagi. Pernytaan ini dinukil oleh Ibnu Shalah dan Nawawi dan selain
mereka berdua yang sepakat atas ini.[2]
Dua pendapat di atas merupakan sebuah pernyataan yang
tak butuh lagi penjelasan, karena itu merupakan ijma’ ulama salaf yang melarang
periwayatan hadits dengan makna tanpa ada kemahiran dan besik dalam bidangnya,
cukuplah dua pendapat ulama besar di
atas mengenai perkara ini. Adapun jika hal ini (periwayatan hadits dengan
makna), dilakukan oleh seorang yang ahli dan mumpuni dalam bidang pelafadzan
maupun maknanya, maka para ulama berbeda pendapat:
Ø Di antara mereka ada yang membatasinya, bahwa periwayatan
hadits dengan makna tidak boleh dilakukan untuk sebuah hadits Nabi yang marfu’
(sampai kepada Nabi), dan membolehkan selainnya ini adalah perkataan Malik[3]
Ø Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa boleh mengganti
sebuah kalimat/lafadz (sebuah hadits) hanya dengan sinonimnya saja.[4]
Ø Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hal itu boleh
dilakukan jika sang perawi lupa terhadap lafadz dan mengingat maknanya saja,
dikarenakan wajib baginya untuk “tablig” menyampaikan sebuah hadits.[5]
Ø Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa diperbolehkan
bagi yang hafal lafadznya, dan memungkinkan baginya merubah hadits tersebut,
tanpa harus melupakan lafadz aslinya.[6]
Ibnu Katsir menambahkan “untuk pernyataan yang terakhir ini terasa ganjil dan
aneh dalam pandanganku.[7]
Ø Dan pula ada yang mengatakan bahwa yang bisa dan berhak
melakukan riwayah bil ma’na tersebut adalah para sahabat saja, dan tidak
diperbolehkan untuk selain mereka mengganti sebuah lafadz dengan makna, semua
ini lantaran mereka para sahabat mempunyai dua alas an yang kuat; (1) adalah
kelebihan mereka dalam fasohah dan balaghoh, dan bahasa mereka yang masih arab
murni (karena lingkungan bahasa mereka masih sama dengan lingkungan bahasa Nabi
dalam hal keaslian dan fasohah serta balaghohnya, pen), (2) bahwasanya mereka
menyaksikan langsung perkataan dan perbuatan Rasulullah saw., mereka mampu
menjadikan “persaksian” itu dengan berbentuk makna, yang mana maksud makna
tersebut tepat dan mencakup seluruhnya”, apakah kamu tidak melihat (mendapati
dalam berbagai teks hadits) mereka para sahabat mengatakan “Rasulullah saw.
menyuruh untuk melakukan ini…” dan “Rasulullah Saw. melarang untuk melakukan
ini…”, dan mereka tidak menyebutkan lafadznya? Sesungguhnya itu merupakan
khabar yang shohih, dan penukilan yang bagus, dan tidak seyogyanya bagi
siapapun untuk ragu terhadapnya”[8]
Ø Di antara mereka ada yang membolehkan asalkan maknanya
mencakup keseluruhan, di antara mereka adalah imam yang empat. Dan ini sesuai
dengan dalil yang ditunjukkan oleh imam Syafi’I yaitu hadits : “Al-Qur’an itu
diturunkan atas tujuh huruf, maka bicalah apa yang mudah bigimu (dari salah
satunya) (HR. Bukhori Muslim)
Kemdudian
imam Syafi’I menambihkan, “dan ketika Allah menurunkan al-Qur’an itu dengan
tujuh huruf, kita mengetahui darinya bahwasanya kitab (al-Qur’an) itu
diturunkan untuk memudahkan cara qiraatnya, yang seandainya jika mereka
berbeda2 dalam masalah pelafazhan/qiraah al-Qur’an, maka sesungguhnya mereka
tidak saling berbeda dalam hal makna, adapun selain kitabullah (hadits) maka
boleh-boleh saja dalam masalah ikhtilaf lafadz, asalkan tidak pada segi
maknanya” [9]
Ø Az-Zuhri berkata, “sesungguhnya ini (periwayatan dengan
makna) adalah boleh di dalam al-Qur’an, bigiamana jika di dalam hadits ? jika
engkau memahami (dengan jelas) makna sebuah hadits, tidak kau halalkan apa yang
sudah haram dan tidak pula kau haramkan hal yang halal, maka itu tidak apa-apa”
[10]
Ø Al-Khotib berkata “boleh diganti dengan sinonimnya” [11]
Itulah rentetan pernyataan yang digagas oleh ulama-ulama
salaf kita, di antara mereka ada membolehkan dan di antara mereka ada pula yang
melarang dsb. Inti dari kesemuanya adalah seandainya hal itu (riwayah bil
ma’na) di bolehkan maka periwayatan ini haruslah dilakukan oleh orang yang
ahli, maknanya mencakup keseluruhan isi hadits, dan pula, supaya hal ini bisa
dikenali cirri-cirinya, Imam As-Suyuthi mengatakan, “Dan seyogyanya bagi
seorang perawi dengan makna untuk mengatakan setelah hadits tersebut, aw kama
qoola, aw nahwahu, aw syibhahu, aw ma asybaha hadza minal lafdzi” dan terbukti,
para sahabat melakukan tindakan demikian, dan mereka itu adalah ‘golongan ynag
paling mengerti dengan makna sebuah kalam dan paling takut terhadap
ketergelinciran dalam pemahaman mereka” [12]
2.
Ikhtishar Hadits
a.
Pengertian :Ikhtisharul Hadits atau penyingkatan hadits adalah
sebuah hal yang sangat hal yang familiar di kalangan ulama hadits fiqih, ushul
dsb., maksudnya adalah bahwa seorang perawi tidak mencamtumkan seluruh hadits
yang ada guna menyesuaikan dengan tema pembahasan pada kitabnya, meninggalkan
isi yang keluar dan tidak terkait dengan tema pembahasan.
b.
Hukum Ikhtisharul hadits :apakah dibolehkan ikhtishar hadits,
menghapus sebagiannya, jika hal yang dihapus itu tak berkaitan dengan tema
pembahasan? Maka ada dua perkataan ;
1) Sedangkan Abu Abdillah Al-Bukhari (Imam Bukhori) melakukannya
(ikhtishar hadits) dalam banyak tempat (dalam shahihnya, penj).
2) Sedangkan imam Muslim jika meriwayatkan hadits ia ungkapkan
secara keseluruhan tanpa ada ikhtishar (pemendekkan), dan ini menjadikan
rujukan pelengkap bagi shahih bukhari.
Dan dari sini bisa disimpulkan bahwa ini adalah jumhur ulama’
, salaf dan kholaf[13]
Ibnu Hajib berkata dalam Mukhtasharnya,
”menghapus sebagian khabar (hadits) diperbolehkan menurut Ijma’ , kecuali jika penghapusan (sebagian khabar) itu terjadi pada
maksud tujuan hadits ataupun pada pengecualiannya.”[14]
BAB III
KESIMPULAN
Dari isi makalah di atas bisa diambil kesimpulan bahwa
periwayatan hadits dengan makna yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli dalam
bidangnya maka menurut jumhur ulama’ hukumnya tidak boleh, sedangkan jika hal
itu dilakukan oleh seorang yang ahli dan mumpuni dalam bidang tersebut maka
banyak terjadi ikhtilaf (perbedaan). Sedangkan masalah ikhtisharul hadits
(pemendekkan hadits), itu adalah sah dan dibolehkan menurut jumhur, dan itu
sendiri dilakukan oleh seorang Muhaddits besar
Imam Bukhori, akan tetapi ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan
mengenai di terimanya ikhtishar ini, pertama adalah bahwa ikhtisar ini tidak
terjadi pada tujuan dan pengecualian, kedua bahwa ikhtishar baru boleh
dilakukan jika sebuah khabar (hadits) telah tercatat secara sempurna dalam
riwayat lain, sedangkan jika hadist itu belum tercatat secara sempurna di jalur
manapun maka hukumnya itu adalah tidak boleh, karena tindakan ini merupakan bagian
dari “kitman” ‘anil Haq (menyembunyikan kebenaran yang seharusnya disampaikan).
BAB IV
PENUTUP
Puji syukur
ke hadirat Allah swt.Yang telah mengizinkan kami untuk menyelesaikan masalah
ini, jika ada kebaikan di dalamnya maka itu datangnya dari Allah semata, dan
jika ada cela dan kekurangan semata-mata itu datangnya dari kami selaku manusia
yang bergelimang dosa.
Terima
kasih atas segala perhatian, mohon maaf bilamana ada kesalahan,
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
v As-Suyuthi, Tadrib
Ar-Rowi, Kairo: Daarul Hadits, 2004
v Abul Fida’, al-ba’its
al-hatsits ikhtishar fi ‘ulumil hadits, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2004
[1]As-Suyuthi, Tadrib Ar-Rowi, Kairo: Daarul Hadits,
2004, hal. 381
[2]
Abul Fida’, al-ba’its al-hatsits, ikhtishar
fi ulumil hadits, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2004, hal. 136
[3]
Ibid.
[4]Ibid,
hal. 137
[5]
Ibid.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]Abu
Bakar al-A’roby, Ahkamul Qur’an, I,
hal. 10
[9]As-Suyuthi,
Tadrib Ar-Rowi, Kairo: Daarul Hadits, 2004, hal. 382
[10]
Ibid. hal.383
[11]Ibid.
hal. 384
[12]Ibid. hal. 384
[13]
Yaitu pada pembolehan ikhtishar hadits, dan ini telah dilakukan oleh para imam,
ikhtishar hadits boleh dilakukan jika halnya sebuah hadits sudah tercatat
secara sempurna di riwayat lain, sedangkan jika belum tercatat secara sempurna
di jalur lain, maka hukumnya tidak boleh, karena hal itu merupakan tindakan “penyembunyian
terhadap sesuatu yang seharusnya
disampaikan (yaitu hadits, penj)”
[14]Abul
Fida’, al-ba’its al-hatsits, ikhtishar fi
ulumil hadits, Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2004, hal. 139
2 komentar:
Masya Allah baarokallahu fiikum...
wa iyyakum ya Muhammad Suhaimi...
Posting Komentar